Sabtu, 18 Juni 2011

Reposisi Spiritualitas dalam Birokrasi



Dalam kehidupan berbagai negara di berbagai belahan dunia, birokrasi merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government) dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governce). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan. Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang perlu diperhitungkan adalah koplitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara - baik unsur aparatur negara maupun warga Negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa. Yang perlu diingat adalah bahwa semuanya itu berada dan berlangsung dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan, Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing memiliki tanggung jawab dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan NKRl. Pertanyaannya, dapatkah kita memikul tanggung jawab tersebut? dimana sistem birokrasi kita sedang berada dalam kondisi kritis dan mengidap penyakit yang sudah akut?.

Pendahuluan
Topik yang dibahas dalam artikel ini adalah “Reposisi spiritualitas dalam Birokrasi”. Topik tersebut rasanya memiliki konotasi bahwa daya spiriualitas adalah obat yang bisa mengobati penyakit akut yang diderita birokrasi di Negara kita, birokrasi dan sistemnya yang merupakan faktor ataupun aktor utama baik dalam terjadinya KKN maupun dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan KKN; meskipun kita mengetahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-Iembaga dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan “spiritualitas dalam birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi permasalah dalam lingkup “urusan-urusan publik yang ditangani birokrasi”; namun secara aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Dalam
hubungan “interaksi dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah penyakit KKN bisa berkembang pada kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan jenjang yang panjang dan menyeluruh.
Sebab itu, usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan dalam rangka “reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan. Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah : terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN; peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara; berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari etika, semangat pelayanan dan pertanggung jawaban publik, serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.

Spiritualitas dalam Birokrasi
Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan tapi juga menghancurkan martabat bangsa kita dimata dunia yang konon terkenal dengan etika ketimurannya. Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan penyebab dari bobroknya birokrasi serta penanggulangannya. Dalam diri aparatur birokrasi dan pada warga negara kita pada umumnya telah mengidap “penyakit jiwa” yang penulis bagi dalam tiga misal. Pertama, penyakit spiritual. Kedua, penyakit mental. Ketiga penyakit intelektual. Produk dari ketiga penyakit tersebut adalah penyakit yang keempat, yakni penyakit moral.
Maka dari itu sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa penyakit akut yang sedang kita derita ini harus diobati dengan “pencerahan jiwa”; yang nantinya akan menghasilkan produk “ketercerahan moral”. Dalam hal ini hubungan antara tiga faktor yang tersebut diatas sangatlah signifikan. Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan. Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa “mandul”, ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.
Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak mampu menuntunnya. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pintar bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah akan memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik. (naudzu billah)
Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian berjuang. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi tetap saja tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer (dangkal) untuk meladeni kompleksitas keadaan. Langkahnya keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis ekstremis - justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu. Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensi keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.
Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadahnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya. Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Dari contoh yang diuraikan diatas, untuk memperbaiki sistem birokrasi kita diperlukan tiga hal secara bersamaan. Tidak boleh hanya cerah intelektual saja atau cerah mental tanpa dibarengi dengan pencerahan spiritual. Bangsa kita memerlukan aparatur negara yang tidak sepertiga, tetapi utuh satu, yang dalam dirinya tergabung ketiga-tiganya. Yang pasti, dari birokrat yang sepertiga, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi pelayanan masyarakat dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa.
Dalam kasus kebobrokan birokrasi di Indonesia, secara umum kita tidak meragukan lagi tingkat kecerahan intelektualitas birokrat kita, banyak sekali ide-ide cemerlang, rumusan-rumusan brilian yang mereka lontarkan untuk perubahan dan perbaikan sistem birokrasi, namun kita belum bisa melihat perubahan signifikan dalam pelaksanaannya, ini berkenaan dengan belum munculnya pencerahan dalam sisi mental-spiritual para birokrat kita. Maka sangat diperlukan sekali sisi pencerahan mental spiritualitas dalam merekontruksi birokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimanakah mencerahkan moral spiritual dalam diri masyarakat kita?

Reformasi Birokrasi dengan Pencerahan Spiritual
Meskipun Indonesia adalah negara yang multikultural dan multireligius, tidak bisa dipungkiri bahwa Islam adalah agama mayoritas penduduknya, secara otomatis para pelaku pemerintahan adalah muslim secara mayoritas. maka menurut hemat penulis merupakan suatu kewajaran dalam topik ini penulis mengajukan solusi Islam yang rahmatan lil’alamin dan selalu merujuk pada Al-qur’an untuk melakukan perubahan-perubahan untuk menuju perbaikan. Dalam Islam, syarat utama untuk mencapai perbaikan adalah adanya tekad dan keyakinan bersama untuk berubah. Secara qauliyah Allah menegaskan, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka (QS. 13: 11). Demikian halnya, Allah telah mengajarkan melalui ayat-ayat kauniahNya tentang keyakinan dan tekad perubahan.
Mari kita ambil contoh proses metamorphose ulat menjadi satu dari sekian banyak ayat-ayat kauniah Allah yang bisa dijadikan contoh. Ulat dengan anatomi fisiknya yang cenderung dijauhi orang (biasanya karena jijik melihat dan menyentuhnya) melakukan ’uzlah untuk mereformasi dirinya menjadi kupu-kupu yang cantik yang disukai banyak orang. Proses perubahannya dilalui tidak dengan cara instan. Ulat melakukan metamorphose karena secara biologis telah mematuhi “aturan main” bermetamorfose. Ulat mampu melakukan ‘uzlah untuk mereformasi dirinya ke bentuk yang lebih baik dan menarik. Ulat berhasil mereformasi dirinya karena telah memenuhi dua syarat pokok, pertama, tekad untuk mau berubah yang ditunjukkan dengan ‘uzlah dan kedua, menaati “aturan main” metamorphose yang ditunjukkan dengan dilaluinya tahapan berubah bentuk dari menjadi kepompong sampai akhirnya dapat terbang karena berubah lagi menjadi kupu-kupu yang cantik.
Merujuk analogi tersebut, proses perubahan dapat dimulai dari dua arah. Pertama, secara individual tentu harus dimulai dari diri sendiri. Formula 3 M (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil, Mulai sekarang juga) yang ditawarkan AA Gym sangat relevan untuk perubahan individual ini. Kedua, secara sosial (kemasyarakatan) harus diawali dari para pemimpinnya sebagai uswah hasanah. Mengapa harus dimulai dari pemimipin? Gambaran yang paling sederhana adalah menganalogikan keteladanan layaknya benda dengan bayang-bayangnya ketika disinari cahaya. Ketika benda miring, tentu bayang-bayang akan ikut pula miring. Demikian halnya ketika benda tegak, maka tegak pula bayang-bayangnya. Demikianlah penjelasan sederhana tentang keteladanan. Rakyat akan bisa bertindak lurus, jujur, adil, manakalah pemimpinnya juga memiliki sifat-sifat terpuji, seperti jujur, adil, ramah, dll.
Kembali kepada al-qur’an bukan berarti sekedar membaca secara rutin (meskipun baik). Menjadi jauh lebih baik, ketika penghayatan terhadap Alquran dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari mampu mengantarkan menuju masyarakat Islami, masyarakat anti korupsi yang tidak menuhankan uang, sebagaimana yang telah terjadi di Negara kita.
Allah menurunkan ajaranNya yang termaktub dalam al-quran adalah untuk mengEsakan Allah, menuhankan Allah, bukan uang, jabatan, pangkat, istri, anak, atau hal lain selain Allah. Diutusnya Rasululah Muhammad Saw dengan membawa ajaran al-quran adalah untuk rahmat bagi seluruh alam.
Oleh karenanya perlu dan wajib diyakini bahwa konsepsi solutifnya adalah konsepsi yang mengantarkan para birokrat pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya untuk kembali kepada ajaran Alquran. Ajaran fundamental yang menyandarkan seluruh aspek kehidupannya dengan sandaran tauhid yang kuat, "berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah". Disaat sudah bersandar pada tauhid yang benar, maka para birokrat yang bertugas melayani masyarakat akan menjalankan tugasnya secara komprehensif; sebagai mana yang sudah tertera dalam kode etik birokrasi, dan dia akan selalu melihat tugas sebagai amanat bukannya sarana untuk menumpuk harta dan merampas hak masyarakat yang harus dilayaninya.


Penutup
Di dalam menghadapi berbagai tindak korupsi dan kebobrokan yang timbul dalam birokrasi di Indonesia sebagai akibat dari tidak segera diatasinya krisis multi dimensi yang saat ini sedang kita hadapi, pertama-tama sangat diperlukan adanya kemampuan untuk dapat melihat keterkaitan dari setiap permasalahan yang sedang dihadapi.
Dengan dimilikinya kemampuan untuk melihat permasalahan secara holistik, diharapkan kita dapat menjadi lebih fleksibel dalam menentukan etika baru yang akan kita pergunakan untuk menggantikan etika lama yang cenderung penuh dengan kepentingan suatu golongan. Diperlukan pula adanya seseorang pemimpin yang penuh dengan pengabdian, mampu untuk melepaskan dirinya dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok, aliran atau partai politik yang dianutnya dan kemudian menjadikan kepentingan mayoritas dari bangsa ini sebagai acuan sikapnya.
Kita harus dapat melepaskan diri dari pengaruh budaya masyarakat modern yang saat ini sangat dipengaruhi oleh humanisme barat, yang menurut Danah Zohar dan Ian Marshall memiliki daya spiritual kolektif yang rendah. Manusianya berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, kelayakan, egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Oleh karena itu ajaran Islam (al-qur’an) akan sangat membantu kita untuk dapat menuju pencerahan moral-spiritual agar dapat menjadi tinggi dan dapat keluar dari konflik sosial yang saat ini telah sampai pada ujung tanduk.

Sudah saatnya kita sebagai masyarakat Indonesia memperbaiki sistem birokrasi dan pelaksanaannya dengan menggabungkan tiga pencerahan; pencerahan intelektual, pencerahan mental dan pencerahan spiritual, untuk mencapai masyarakat yang aman tentram dan sejahtera.wallahu a’lam.(albi).


Referensi
Prof, Dr, Mustopadidjaja AR, Reformasi birokrasi sebagai syarat pemberantasan KKN, seminar pembangunan nasional VIII, denpasar, bali 14-18 juli 2003

Wahidin halim, Manajemen Spiritual, tanpa tahun Dr, Muzaffar Iqbal, Political Implications of Tawheed, the News, 2&9 february 2007 Danah Zohar & Ian Marshall , SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, Great Britain: Blomsbury, 2000 Tim Pusdiklat Pegawai, Materi Pokok Etika Birokrasi, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Departemen Keuangan, 2006

Muhamad Ali, KKN dan Masa Depan Birokrasi Agama, KOMPAS kunjungi www.albi4ever.blogspot.com
Pendidikan Dalam Kepungan Liberalisasi
MEMASUKI usia kemerdekaan ke-63, bangsa ini dipaksa oleh sejarah untuk terus mengarungi samudra liberalisasi. Tidak tersedia ruang untuk menawar, hanya saja kita harus lebih cerdas dalam menempatkan diri. Sebab, seumpama sebuah biduk, Indonesia sangat kecil lagi rapuh. Karena itu, jangan dibawa ke tengah lautan, cukup bermain di pinggir sehingga tidak mencelakakan diri sendiri.
Begitulah benang merah dari diskusi tentang Liberalisasi Indonesia yang digelar Media, pekan lalu. Diskusi digelar dalam rangka memotret Republik yang besok tepat berusia 60 tahun ini. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu, yakni pendidikan, agama, sosial budaya, ekonomi, dan politik tampil sebagai narasumber.
Di bidang agama, Yunahar Ilyas dan Ulil Abshar Abdalla memaparkan pendapat mereka. ''Pada dasarnya Islam sangat terbuka dengan perubahan,'' ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia Yunahar Ilyas. Sedangkan Ulil Abshar Abdalla dari Jaringan Islam Liberal yang belakangan ini sangat keras mengkritik fatwa MUI mengatakan, ''Islam tidak boleh menjadi faktor penghambat berkembangnya paham demokrasi, pluralisme, dan liberalisme.''
Di bidang ekonomi, Didiek J Rachbini berpendapat bahwa liberalisasi akan mendorong pertumbuhan sebagaimana terjadi di China. Bahkan Raden Pardede mengidentifikasi saat ini tinggal Korea Utara, Burma, dan Kuba yang masih kukuh untuk menutup diri. ''Risiko yang mereka tanggung sangat jelas mengalami ketertinggalan di hampir segala bidang kehidupan,'' katanya.

Sosiolog Ignas Kleden dan pakar pendidikan Vincent Didiek Wiet Aryanto juga mengatakan hal yang senada, ''Mau tidak mau, disadari atau tidak, saat ini kita tidak bisa melepaskan diri dari liberalisme,'' ujar Ignas Kleden.
Liberalisasi memang sebuah keniscayaan, ujar Ulil Abshar Abdalla. ''Jauh hari Bung Karno telah melemparkan istilah api Islam, sebagai harapan muslim membuka akal dan budi agar tidak terkungkung pada teks formal,'' ujarnya.
Menurut Ulil, liberalisme dalam pemikiran agama intinya adalah gagasan tentang pentingnya penghargaan atas perbedaan pendapat, yang berkembang dalam masyarakat berkenaan pemahaman keagamaan mereka. Jadi, perbedaan-perbedaan itu sebisa mungkin diakomodasi.

Yunahar Ilyas tidak menampik spirit kebebasan yang ditegaskan Ulil tersebut. Katanya, ''Islam tidak antikebebasan. Bahkan Alquran menyebutkan siapa yang menghendaki beriman, silakan beriman. Sebaliknya siapa yang ingin kufur, silakan kufur.''
Fatwa MUI (yang di antaranya mengharamkan pluralisme dan liberalisme dalam akidah) tidak diarahkan untuk membunuh kebebasan. ''Sebagai konsekuensi iman, kita harus akui bahwa memang ada yang bisa diubah, tetapi ada bagian lain yang hanya bisa diimani. Karena itu, fatwa tersebut harus diletakkan dalam konteks yang benar, yaitu melindungi iman,'' ujarnya.

Pendapat Yunahar tersebut menyuntikkan energi bagi peserta diskusi, untuk mencari batas seberapa jauh biduk Indonesia itu harus diluncurkan ke tengah-tengah samudra liberalisasi.

Sebab, dalam kacamata Jaleswari Pramodhawardhani, Benny Susetyo, dan Rico Marbun yang hadir sebagai penanggap dalam diskusi itu, liberalisasi adalah produk asing yang justru menjungkirbalikkan peradaban. ''Indonesia telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, kita semua terperosok alam nilai-nilai materialistik,'' ujar budayawan Benny Susetyo.

Senada dengan itu, aktivis perempuan Jaleswari Pramodhawardhani menuding liberalisasi sebagai biang kerok terjadinya dehumanisasi. ''Dunia hanya dimaknai dengan kekuatan yang melahirkan ritus penindasan dan kekerasan baru. Hak-hak perempuan dilanggar, hedonisme menjadi gaya hidup,'' ujarnya.
Mantan aktivis mahasiswa Rico Marbun secara lebih tegas mengatakan bahwa liberalisasi harus bertanggung jawab atas olengnya perekonomian Indonesia, menumpuknya jumlah penganggur, bertambahnya orang miskin dan menurunnya kualitas hidup rakyat kecil. ''Liberalisasi di sektor perdagangan harus kita kritisi,'' tegas dia.
Mendapatkan kecaman seperti itu, pengamat politik Rizal Mallarangeng mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang tanpa batas, termasuk juga liberalisasi. ''Di Amerika saja, yang dikenal sebagai kakek moyangnya kebebasan, masyarakat tetap diikat oleh konstitusi,'' ujarnya.

Menurut Direktur Freedom Institute ini, liberalisasi membutuhkan aturan dan pemerintahan yang kuat. Negara harus hadir tetapi tidak untuk mengurusi semuanya, lebih sebagai mediator dan hakim agung yang bertugas sebagai pemutus terakhir jika terjadi persoalan di masyarakat, termasuk distribusi dalam aset-aset masyarakat. ''Memang akan terjadi pararelisasi ketika negara sangat kuat, tetapi dengan itu masyarakat menjadi sangat bebas dan berkembang,'' ujarnya.

Dalam konteks demi kesejahteraan rakyat itulah, Didiek J Rachbini setuju bila negara melakukan proteksi terhadap bidang-bidang yang akan merugikan rakyat. ''Ini ibarat bermain kartu, apakah semua kartu akan kita buka. Jawabnya kan tidak,'' ujarnya.
Ia mengaku sebagai salah seorang pendorong agar pemerintah melakukan proteksi terhadap komoditas beras. Sikap itu bukan balas dendam atas kebijakan Amerika yang juga memproteksi sektor pertaniannya, ''Ekonomi rakyat akan hancur bila keran impor beras dibuka. Petani kita tidak siap, '' ujarnya.
Rizal Mallarangeng memotong pembicaraan dengan mengingatkan bahwa mekanisme proteksi tersebut tidak bisa dipertahankan, karena memakan biaya yang tinggi yaitu ketidakmandirian di salah satu sektor produksi. ''Bisa saja kali ini benar, tetapi mungkin nanti keliru. Intinya proteksi dalam jangka panjang bukan menjadi sumber kekuatan, tetapi sumber kelemahan,'' katanya.

Meski demikian, Didiek J Racbhini tetap yakin bahwa gelombang liberalisasi itu harus diwaspadai, karena sering membawa penumpang gelap yaitu pasar gelap, perburuan rente, dan kartel. ''Kita jangan mengulangi kesalahan para teknokrat yang membawa biduk Indonesia ke tengah lautan dan oleng, yang akibatnya sampai saat ini masih kita rasakan, yaitu krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kita tidak boleh mati konyol hanya karena terlalu bersemangat menyambut liberalisasi,'' ujarnya dengan nada keras.
Senada dengan itu, pengamat pendidikan Vincent Didiek Wiet Aryanto mengatakan bahwa dunia pendidikan pun sedang pusing menghadapi serbuan liberalisasi. Masuknya lembaga pendidikan asing ke Indonesia, cukup menohok. ''Sebagian anak orang berduit lebih memilih sekolah internasional, padahal lapisan itulah yang selama ini menghidupi dunia pendidikan swasta,'' ujarnya. Alhasil, sekolah swasta mulai menjaring anak-anak dari level menengah yang selama ini menjadi porsi bagi sekolah negeri. ''Secara teknis memang tidak merugikan,'' katanya.

Persoalan justru akan muncul dalam tataran kebudayaan, karena pendidikan asing itu datang dengan kerangka berpikir yang berbeda. Contoh kecil saja, beberapa tahun lalu di Surabaya ada heboh karena sebuah sekolah internasional tidak mengharuskan anak didiknya untuk menghormat bendera Merah Putih.
Menurut Ulil Abshar Abdala menghadapi masuknya pendidikan asing itu kita harus bersikap hati-hati. ''Ini bukan berarti saya melawan tesis kebebasan yang selama ini saya hayati,'' katanya.

Menurut Ignas Kleden pintu saringan itu memang bisa diciptakan, namun persoalannya apakah cukup kuat untuk menghadapi tekanan globalisasi. ''Benteng pertahanan kita mudah jebol,'' ujarnya.

Karena itu andalan terakhir yang diusulkan Ignas Kleden adalah mendorong dunia pendidikan agar lebih mengutamakan penguatan individu anak didik itu sendiri. Selama ini dunia pendidikan masih berorientasi mengarahkan anak didik untuk taat kepada kekuasaan, sebagaimana dikembangkan selama Orde Baru. ''Anak didik harus dirangsang untuk berpikir sendiri, menggunakan pemikirannya sendiri dan bertanggung jawab atas pikirannya sendiri,'' ujarnya.

Menurut Ignas, sebagai sebuah bangsa, kita membutuhkan individu-individu yang kuat, berani berpikir dan menggunakan pemikirannya sendiri, sehingga tidak lagi bisa didikte kekuatan asing. Bagaimanapun juga, kita telah kehilangan hak bermimpi untuk bisa menghindari dari serbuan liberalisasi itu.
Dalam konteks itulah, kata Yunhar Ilias, MUI mengeluarkan fatwa yang dimaksudkan untuk membentengi umat Islam dari pengaruh buruk liberalisasi. ''Kepentingan kita hanya satu, yaitu menghadang globalisasi yang mendatangkan dampak negatif,'' ujarnya. Ia mengakui bahwa upaya pembendungan pengaruh buruk itu telah menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat, bahkan di antara sesama muslim.
Liberalisasi tidak bisa dibendung, karena hal itu sama seperti manusia menghadapi pertambahan umur. Umur tidak bisa ditolak, yang bisa dilakukan adalah bersikap arif agar seperti kata Ulil Abshar Abdala, berkembang suasana dialogis agar kita tidak salah dalam menempatkan biduk Indonesia di tengah-tengah samudra liberalisasi.
“ Lelang Anak Asuh “ Menyelamatkan Pendidikan Anak Anak Miskin
Problem pemerataan akses pendidikan nampaknya masih menjadi persoalan bagi pendidikan di Surabaya, terbukti berdasar data yang dirilis oleh Bappemas Surabaya beberapa waktu yang lalu masih ada sekitar 32.000 anak usia sekolah yang terancam putus sekolah. Akar utama dari ancaman tersebut disebabkan oleh adanya kemiskinan.
Bagi kalangan miskin biaya pendidikan merupakan hal utama demi keberlangsungan pendidikan mereka. Memang, pemerintah telah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan diikutui dengan bantuan pendidikan berupa BOS baik yang bersumber dari APBN maupun APBD seperti kota Surabaya, tapi yang jadi persoalan adalah dengan adanya BOS, jarang sekali sekarang kita temui sekolah “ murah “, biaya sekolah menjadi semakin “ mahal “, terlebih lagi tidak ada kontrol yang jelas bagi penggunaan dana tersebut. Akibatnya, meski ada bantuan dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tetap saja anak anak dari keluarga miskin terancam untuk bisa melanjutkan pendidikannya.
Sungguh sangat ironis dan memprihatinkan kondisi semacam ini, betapa tidak ditengah perdebatan tentang besaran anggaran pendidikan yang ada, ternyata ditingkat lapis paling bawah, sekolah, belum juga bisa menghitung berapa sesungguhnya kebutuhan “ riil “ bagi operasional sekolah dalam satu tahun proses pembelajaran.Akibatnya kita sebagai masyarakat tidak pernah tahu berapa investasi pendidikan sesungguhnya yang harus kita keluarkan untuk satu tahun proses pembelajaran. Yang lebih parah lagi adalah kita juga tidak bisa mengukur capaian keberhasilan yang dilakukan oleh sekolah selama satu tahun pembelajaran, padahal kucuran dana baik yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat telah didapatkan oleh sekolah demi kebutuhan tersebut.
Tentu bagi kita sebagai masyarakat, terutama yang menaruh perhatian terhadap persoalan pendidikan, hal semacam ini, memprihatinkan dan meminta kepada pemerintah daerah untuk segera bisa menghitung besaran investasi yang dibutuhkan untuk sebuah proses pembelajaran tiap anak tiap jenjang pendidikan tiap tahun. Dengan tahu besaran kita jadi semakin bisa mengetahui dan sekaligus peduli seberapa besar tanggung jawab kita sebagai masyarakat untuk membantu pemerintah memenuhi kekurangan investasi pendidikan yang telah dikeluarkan.
Beberapa waktu yang lalu, Dewan Pendidikan Surabaya pernah merilis besaran investasi yang dibutuhkan tiap anak selama setahun dalam jenjang pendidikan yang berbeda, tapi sampai saat ini kita juga tidak pernah tahu kelanjutan dari masukan tersebut untuk ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah ataupun DPRD kota Surabaya. Ya memang mungkin masukan itu dianggap belum sempurna, tapi setidaknya sebagai bagian dari partisipasi masyarakat, tentu masukan itu perlu “ diapresiasi “. Sudah lama masyarakat kita menunggu untuk mengetahui besaran investasi pendidikan sebagai standard layanan minimal pendidikan bermutu.
Terlepas dari apa yang sudah dan belum dilakukan oleh pemerintah maupun sekolah, investasi pendidikan bagi keluarga miskin tetap harus jalan, kerena tidak satupun bagi keluarga miskin yang bercita cita mempertahankan kemiskinannya dengan tidak menyekolahkan anaknya, bagi mereka meski berat, mereka harus terima dan usahakan untuk mengatasinya.Mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali berusaha untuk mengatasinya, meski mereka harus mengajukan bantuan kepada pihak pihak lain.

“ Lelang Anak Asuh “ Sebuah Alternative
Keterbatasan akses yang dimiliki oleh keluarga miskin, tentu tidak bisa dibiarkan tanpa kepedulian kelompok masyarakat yang lain, setidaknya bagi keluarga miskin, mereka perlu “ teman “ berbagi untuk mengatasi masalah investasi pendidikan yang mereka hadapi.
Adanya lembaga lembaga masyarakat yang peduli bagi pendidikan keluarga miskin, bisa menjadi sebuah harapan bagi keluarga miskin untuk dapat berbagi, yang terpenting sebetulnya adalah sikap pemerintah untuk mengakomodir lembaga lembaga ini agar bisa dijadikan “ partner “ untuk menyelamatkan pendidikan anak anak dari keluarga miskin.
Sesuatu yang unik barangkali telah ditawarkan oleh Baitul Maal Hidayatullah ( BMH ) Surabaya, didalam membantu menyelamatkan pendidikan anak anak dari keluarga miskin, Lembaga tersebut menawarkan lelang anak asuh sebagai sebuah program penyelamatan pendidikan anak anak miskin. Mereka melakukan pendataan terhadap anak anak yang terkategori berasal dari keluarga miskin, setelah itu mereka menghitung besaran investasi yang dibutuhkan,besaran investasi yang dihitung itu meliputi biaya kebutuhan langsung yang harus dikeluarkan oleh masyarakat seperti baju seragam, sepatu, dan lain lain. Baru setelah itu besaran investasi yang sudah dihitung ditawarkan kepada masyarakat umum yang peduli. Berdasar data yang dihimpun, sampai saat ini BMH telah menghitung kebutuhan 1000 anak dan siap untuk “ dilelang “.
Nampaknya gayung bersambut, ketika program itu pertama kali diluncurkan setahun yang lalu, berdasar data yang ada, mereka mampu “ menjual “ sekitar 431 anak, dengan kata lain masih ada ratusan anak yang menunggu partisipasi masyarakat untuk bisa terselamatkan.
Hal lain yang juga dilakukan oleh kawan kawan Wartawan Peduli Pendidikan ( WPP ) Surabaya, mereka menghimpun dana “ jimpitan “ seribuan dari kalangan mereka setiap bulan, dan dari dana tersebut kelompok WPP bisa membantu beberapa anak usia sekolah untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya diluar SPP mulai dari SD sampai SMA.
Beberapa lembaga lain tentu juga banyak yang menawarkan program penyelamatan pendidikan anak anak dari kalangan keluarga miskin, mereka tawarkan pembiayaan pendidikan dengan pemberian beasiswa atau sejenisnya. Partisipasi publik seperti ini, sekecil apapun perlu untuk diakomodir dan ditindak lanjuti program programnya. Pemerintah daerah tentu sangat berkepentingan terhadap kelompok masyarakat seperti ini. Hal yang paling bisa dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap kelompok kelompok masyarakat seperti ini adalah mengajak mereka untuk berbagi dalam penanganan masalah yang ada.
Diperlukan Pemetaan Partisipasi Publik
Sepertinya tidak ada jeleknya , kalau kita sebagai masyarakat Surabaya menengok kota Semarang , dalam rangka menggalang partisipasi publik, pemerintah kota meluncurkan program Semarang Pesona Asia ( SPA ). Program itu digelar selama 5 hari pada akhir bulanAgustus 2007 sampai dengan awal September 2007 mendatang. Program yang diluncurkan sebagaimana informasi yang dirilis adalah untuk mengenalkan kota Semarang pada dunia luar, Semarang adalah kota yang menarik untuk dikunjungi dan untuk berinvestasi. Tentu ujung dari semua itu adalah program SPA bisa memberi nilai tambah bagi Semarang yang pada akhirnya bisa mensejahterakan masyarakatnya. Pemerintah kota tersebut sadar bahwa program itu tidak bisa dilakukan sendirian, mereka perlu menggalang partisipasi warganya. Akhirnya dengan berbagi peran, pemerintah membagi wilayah peran masyarakatnya untuk berbagi partisipasi.
Surabaya sebagai kota besar tentu punya kepentingan yang sama seperti kota Semarang . Beban yang dihadapi pemerintah kota begitu komplek, oleh karenanya kita juga tidak yakin pemerintah kota mampu menyelesaikan persoalannya, partisipasi warga perlu ditumbuhkan. Oleh karenanya berbagi persoalan dan cara penyelesaiannya perlu ditawarkan kepada warganya. Dengan berbagi, kita berharap bahwa masyarakat Surabaya akan merasa memiliki kotanya, karena mereka merasa telah “ diapresiasi “ sebagai warga kota. Tentu perlu keberanian dan kemauan bagi pemerintah kota untuk terbuka dan berbagi.
Begitu juga dalam menghadapi persoalan pendidikan, untuk menghindari pembiayaan ganda bagi anak anak miskin , perlu diatur bagaimana berbagi dalam penanganan. Hal itu perlu dilakukan, mengingat besaran persoalan yang dihadapi, tidak mungkin hanya bisa dilakukan oleh satu kelompok saja, oleh karenanya, pemetaan partisipasai publik mendesak untuk dilakukan.
Ilustrasi sederhana dari pemetaan partisipasi publik untuk membantu pemerintah mengatasi investasi pendidikan bagi anak anak dari kalangan keluarga miskin adalah, bila diasumsikan warga Surabaya sebesar 3 juta jiwa dan 20 persennya adalah dari kalangan mampu, maka akan ada 600 ribu jiwa. Kalau mereka diminta partisipasinya 1000 rupiah setiap bulan , maka akan terkumpul 600 juta setiap bulan, 1 tahun akan tersedia dana 7.2 milyard. Luar biasa, dengan dana sebesar itu kita semua yakin akan bisa membantu pemerintah kota dalam mengatasi persoalan pendidikannya. Selanjutnya biarlah dengan dibagi perannya oleh pemerintah, para donatur tersebut ditangani oleh lembaga lembaga yang kompeten dan ditunjuk oleh pemerintah kota.
Ya, kita sedang menunggu sebuah kemauan baik pemerintah kota untuk berbagi, setidaknya sebagai warga kota, tanpa harus menunggu dan meminta kepada pemerintah kota, marilah kita memberi, sekecil apaun yang kita berikan, mungkin akan bermanfaat bagi orang lain, lebih lebih masyarakat Surabaya yang sudah lama terkenal dengan gotong royongnya. Semoga jiwa solider dan gotong royongnya masih terpupuk tebal. Akhirnya buat Surabayaku “ Selamat berulang tahun “ .
BOS, Seharusnya Tidak Menciptakan Ketergantungan
Setelah berjalan kurang lebih sekitar tiga tahunan, Pemerintah mengucurkan dana bantuan operasional sekolah yang lebih dikenal dengan BOS. Upaya tersebut dimaksudkan untuk membantu penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dengan kata lain bahwa bantuan tersebut diharapkan dapat meringankan beban masyarakat didalam mengalokasikan dananya untuk kebutuhan pendidikan putra putrinya yang menempuh jenjang pendidikan dasar dari mulai SD sampai dengan SMP. Bahkan dibeberapa daerah sudah mulai mendedikasikan APBD nya unuk wajib belajar 12 tahun, seperti Gresik dan nampaknya juga Pemerintah Propinsi Jawa Timur juga akan menjadikan wajib belajar 12 tahun sebagai salah satu programnya.
Sebagai sebuah program bantuan, BOS tentu tidak bisa diharapkan akan menjadi program pemerintah yang terus menerus dilakukan, karena hal itu tidak mendidik dan menciptakan ketergantungan pihak sekolah dan masyarakat. Sebagai akibatnya sekolah menjadi tidak berdaya kalau dana BOS terlambat turun, disamping itu tanggung jawab orang tua sebagai bagian masyarakat juga menjadi lemah , sebagai contoh ungkapan dari beberapa guru dibeberapa sekolah yang mengatakan, ” Setelah dana BOS diturunkan, sebagian walimurid disekolah sekolah tertentu seolah melepaskan tanggung jawabnya dan memasrahkan kepada sekolah, kalau dana BOS terlambat turunnya, sekolah yang repot, tidak ada biaya dan anggapan orang tua, kan sudah dibantu pemerintah ”.
Tentu anggapan semacam itu adalah tidak benar, karena bagaimanapun pendidikan itu pelu beaya investasi dan beaya itu tidak sedikit. Persoalannya adalah siapakah yang harus menanamkan investasi tersebut. Dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah, salah satu dintaranya adalah hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu, dilain pihak kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana demi mewujudkan pendidikan yang bemutu tersebut. Tapi pada kenyataanya kemampuan pemerintah sangat terbatas sementara pada sisi yang lain tuntutan untuk mendapatkan layanan pendidikan bermutu sangat tinggi, disisnilah kemudian peran masyarakat stakeholder pendidikan sangat diperlukan.
Lemahnya Pelibatan Partisipasi Publik
Sebagaimanan hasil penelitian Dewan Pendidikan Surabaya, tentang beberapa pokok persoalan pendidikan di Surabaya, ada lima hal setidaknya yang bisa dihimpun, yaitu, pertama , Masih belum meratanya kualitas pendidikan, termasuk didalamnya akses pendidikan dan sarana prasarananya, sehingga masih sering dijumpai adanya disparitas pendidikan antara sekolah pinggiran dan sekolah non pinggiran. Kedua, Tidak meratanya mutu pendidikan antara wilayah satu dengan wilayah yang lain, ketiga, Belum adanya standard biaya pendidikan minimal bermutu, sehingga masyarakat tidak tahu berapa sebenarnya investasi yang harus mereka keluarkan untuk sebuah pendidikan yang layak didapatkan, hal ini berakibat capaian hasil pendidikan tidak bisa diukur, apakah sudah sesuai dengan investasi yang dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat terhadap hasil yang telah dicapai. Keempat , Pemberdayaan lingkungan pendidikan, serta yang kelima, Masih lemahnya pelibatan partisipasi publik.
BOS sebagai salah satu sumber pendanaan kegiatan sekolah tentu pada saat ini menjadi tumpuan bagi berjalannya kegiatan sekolah, sehingga tanpa adanya BOS seolah olah kegiatan sekolah tidak bisa berjalan, oleh karenanya keterlambatan turunnya dana Bos akan menjadi persoalan bagi berlangsungnya kegiatan program sekolah, apalagi kalau sampai dihapuskan.
Tentu, tidak berlangsungnya kegiatan sekolah hanya karena dana BOS terlambat apalagi dihapuskan adalah sebuah gambaran yang tidak kita harapkan, karena kita tahu keterbatasan anggaran yang pemerintah miliki, oleh karenanya untuk mengatasi itu diperlukan upaya cerdas untuk mencari alternative lain pendanaan bagi kegiatan sekolah.
Sekolah dalam hal ini kepala sekolah sebagai seorang manajer disekolah beserta para guru mempunyai peran penting didalam menggali alternative pendanaan kegiatan sekolah. Peran penting yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan dukungan stakeholder sekolah diantaranya dukungan dari komite sekolah.
Komite sekolah sebagai salah satu stakeholder merupakan wakil masyarakat yang ada disekolah diharapkan dapat mendukung program program yang sudah dirancang sekaligus sebagai salah satu sumber pendanaan. Selain itu juga komite sekolah diharapkan untuk bisa berperan mencarikan dukungan dana bagi berlangsungnya program program sekolah.
Persoalannya hal ini jarang bisa terjadi , mengapa ? Hal ini tidak bisa terlepas dari anggapan masyarakat selama ini bahwa sekolah ketika mengundang wali murid hanya pada saat membutuhkan dukungan dana untuk program programnya, diluar itu jarang sekali melibatkan peran masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak merasa memiliki program program tersebut , yang pada akhirnya masyarakat enggan untuk bisa diharapkan memberikan dukungan.
Lemahnya pelibatan partisipasi publik yang berakibat lemahnya dukungan harus diatasi dengan melakukan penguatan pelibatan partisipasi . Sekolah bisa mengoptimalkan peran mereka dengan melibatkan mereka dalam merancang program program sekolah. Penguatan itu bisa dimulai dengan melakukan semacam ” kontrak belajar ” antara pihak sekolah dan walimurid.
” Kontrak belajar ” yang dimaksud adalah dengan mencari masukan dan keinginan para wali murid tentang hasil yang diharapkan terhadap putra putrinya selama menempuh proses belajar disekolah tersebut. Selanjutnya dari proses ’ kontrak belajar ” belajar itu masyarakat juga dilibatkan untuk menghitung kebutuhan investasi pendanaannya. Dengan demikian masyarakat akan tahu berapa sebenarnya kebutuhan investasi untuk melaksanakan program program tersebut.
Disamping itu dukungan dana bisa didapatkan dari pihak pihak lain diluar wali murid, semisal dukungan dari perusahaan atau BUMN. Untuk bisa mendapatkan dukungan pendanaan dari perusahaan ataupun BUMN, sekolah juga diharapkan mampu mengemas program program sekolah yang ” unik ” dan mempunyai ” nilai jual ”. Sebab dengan unik dan mempunyai nilai jual, akan memberi nilai tambah bagi perusahaan atau BUMN pendukung. Prinsip saling memberi dalam kerjasama ini harus dikedepankan, artinya perusahaan atau BUMN pendukung akan mendapat manfaat apa dari dana yang dikeluarkan dan sekolah bisa melakukan apa dengan dana tersebut.
Perlu Dibangun Kepercayaan
Kepercayaan, tidak dapat dipungkiri merupakan modal utama bagi siapapun untuk bisa mendapatkan dukungan mewujudkan tujuan tujuannya. Begitu juga dengan sekolah, tentu kepercayaan para stakeholder merupakan modal utama dalam meraih dukungan. Sebuah kepercayaan akan bisa didapatkan bila dibangun dengan keterbukaan. Keterbukaan yang dikamksud adalah kemamuan baik pihak sekolah untuk bisa berbagi peran dengan pihak pihak lain didalam mewujudkan program program sekolah.
Kemauan untuk berbagi dengan pihak lain adalah merupakan poin penting untuk meraih kepercayaan. Mengapa ? karena dengan menyadari bahwa keterbatasan yang ada tentu akan mengundang pihak pihak lain untuk terlibat dalam mewujudkan program program sekolah, sehingga terjadi pembagian peran yang jelas. Dari peran peran yang ada tentu masing masing pihak sudah bisa menghitung kira kira keuntungan apa yang bisa didapatkan dengan keterlibatannya. Tentu, keuntungan yang dimaksud tidak harus berupa keuntungan financial, tetapi bisa juga nerupakan keuntungan keuntungan yang lain, semisal terpublikasinya peran yang diberikan.
Walhasil terbangunnya sebuah kepercayaan merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar bila sekolah ingin mendapatkan dukungan, oleh karenanya diperlukan sebuah keterbukaan dalam menyusun program dan penganggarannya, agar supaya pertanggung jawaban dari penggunaan dana yang ada tidak menimbulkan dugaan dugaan yang tidak baik dan berujung pada ketidakpercayaan.
Kita semua tentu yakin dan berharap bahwa sekolah kita mampu membuat program program yang unik dan punya nilai jual serta mampu mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang ada, sehingga kepercayaan yang berakibat pada dukungan dana bisa didapatkan, kedepan BOS tidak boleh lagi menjadi sebuah ketergantungan.
Menyoal Rayonisasi PSB Surabaya Tahun 2006
Membaca pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya tentang penerimaan siswa baru, sebetulnya tidak ada yang baru dibanding dengan sistim penerimaan dua tahun lalu yang sudah berjalan, yaitu penerimaan siswa baru menggunakan daftar nilai siswa yang didapatkan dari UKM untuk SD dan nilai hasil ebtanas murni untuk SMP, adanya rayonisasi sekolah yang dikelompokkan berdasar kedekatan tempat serta pembatasan siswa dari luar kota.Hanya yang kelihatan “ seolah olah “ baru adalah pola penerimaan siswa baru diluar rayon yang terdekat dengan tempat tinggal siswa, cuma diberi kesempatan untuk memilih satu sekolah diluar sub rayon yang terdekat dengan tempat tinggalnya .( Jawa Pos, 23 Februari 2006 )
Nampak sepintas kebijakan itu cukup bagus untuk mencegah pengelompokkan pilihan siswa terhadap satu sekolah, tapi yang menjadi pertanyaan adalah : “ Apakah dengan model rayonisasi diatas siswa bisa dicegah untuk tidak memilih sekolah pilihannya diluar rayon yang dekat dengan tempat tinggalnya ? Bagaimana dengan siswa yang secara persyaratan diperbolehkan memilih dan bisa diterima lebih dari satu sekolah pilihan diluar rayon yang dekat dengan tempat tinggalnya ?
Tentu apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya dengan rayonisasi diatas dimaksudkan untuk mempercepat ide sekolah kawasan yang secara “ syahwat untuk mewujudkannya “ sedang diupayakan untuk terwujud pada tahun 2006, yang jadi pertanyaan adalah : “ kebutuhan siapa sekolah kawasan itu ?
Paradigma Masyarakat Tentang Sekolah “ Favorit “
Sekolah “ Favorit “ dalam anggapan masyarakat, tentu punya parameter parameter yang menjadi kebutuhan masyarakat, parameter yang paling sederhana adalah sebuah sekolah dianggap “ Favorit “ bila para alumni dari sekolah tersebut bisa melanjutkan pilihan pendidikannya pada sekolah yang dianggap bermutu, sarana prasarana sekolah yang ada memadai untuk proses pembelajaran putra putrinya, dan yang lebih fatal lagi bahwa sekolah favorit adalah sekolah yang ada ditengah kota atau sekolah yang dekat dengan tempat tempat favorit untuk memenuhi kebutuhan rekreatif siswa.
Dengan demikian pilihan masyarakat terhadap suatu sekolah adalah pertimbangan rasional berdasar pada keinginan orang tua agar putra putrinya mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Kalau sudah seperti ini, apakah mungkin pembatasan dengan rayonisasi diatas bisa efektif mencegah keinginan masyarakat utnuk menyekolahkan putra putrinya disekolah sekolah favorit yang nota bene lebih banyak dipusat kota ? dan haruskah “syahwat untuk mewujudkan pemerataan pendidikan di Surabaya “ harus melanggar Undang undang Sisdiknas yang berbunyi : “ Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu “ ( pasal 5 : 1 )
Pemerataan Pendidikan
“ Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan , serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi “ ( pasal 11 : 1 UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 ). Tentu bila mengacu pada ketentuan tersebut tidak boleh siapapun melarang setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu dan pemerintah wajib menyediakannya, tanpa alasan apapun.
Lalu bagaimana melakukan pemerataan mutu pendidikan di Surabaya ? Pemerataan mutu pendidikan tentu bukan hanya kebutuhan pemerintah saja, masyarakat sebagai “ user “ sangat berkepentingan untuk itu. Pemerataan mutu pendidikan diharapkan tidak bertentangan dengan logika masyarakat tentang sekolah “ bermutu “ atau “ favorit “. Kalau logika itu bisa dipenuhi, masyarakat tentu tidak akan mencari sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya.
Adapun upaya upaya konkrit yang bisa dilakukan guna mempercepat proses pemerataan mutu pendidikan ditengah keterbatasan anggaran yang ada tentu bisa dilakukan dengan mengglakkan program sekolah asuh, yaitu sekolah yang dianggap bermutu dan baik melakukan pendampingan proses pembelajaran kepada sekolah yang dianggap perlu ditingkatkan mutunya. Sambil dilakukan pembenahan masalah sarana prasarana penunjangnya.
Jadi, rayonisasi PSB tahun 2006, sesungguhnya tidak akan bisa efektif mencegah berduyun duyunnya masyarakat utnuk menyekolahkan putra putrinya pada sekolah sekolah yang selama ini dianggap “ favorit “, selama belum dilakukan upaya upaya konkrit utnuk memenuhi logika masyarakat pada sekolah sekolah yang sedang dikelompokkan oleh Diknas Kota Surabaya menjadi rayonisasi yang ideal.
Biarkan Mekanisme Pasar Berlaku
Seperti layaknya didunia industri dan dagang, sesuatu bisa terbeli oleh masyarakat, bila sesuatu itu relative murah dan bermutu. Sekolah sebagai sebuah perusahaan “ jasa “ yang mengelola “ input “ berupa siswa dengan kulifikasi yang sudah ditentukan oleh masing masing sekolah , melakukan proses pembelajaran dan kemudian menghasilkan “ output “ berupa lulusan, sudah selayaknya harus menetukan “ harga “dari proses pembelajaran yang dilakukan. “ Harga “ itulah yang harus disebutkan terlebih dahulu oleh sekolah sebelum penerimaan siswa baru disekolah itu dilakukan. Dengan demikian masyarakat bisa menilai, apakah mereka punya kemampuan untuk membayar harga yang ditentukan oleh pihak sekolah atau sudah sesuaikah harga yang dtentukan oleh sekolah dengan “ output “ yang dihasilkan ?
Dengan mekanisme semacam itu tentu pihak sekolah akan lebih berhati hati menentukan “ education cost “ , karena sekolah juga akan mengukur “ education cost “ nya dengan kemampuan daya beli masyarakat terhadap pendidikan putra putrinya. Jadi bukan seperti selama ini, biaya pendidikan ditentukan oleh pihak sekolah setelah siswa diterima pada sekolah pilihan.
Mekanisme semacam ini tentu akan meningkatkan daya tawar masyarakat kepada pihak sekolah, artinya masyarakat mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan terhadap tempat pendidikan bagi putra putrinya. Sekolah yang dianggap mahal atau kurang bermutu akan ditinggalkan. Kalau sudah demikian tentu akan mendorong sekolah melakukan kompetesi meningkatkan mutunya dan layanannya agar menjadi pilihan masyarakat
Peran Dinas Pendidikan Kota
Sebagai lembaga yang mempunyai kebijakan untuk menentukan arah pendidikan di Surabaya, Dinas Pendidikan Kota tentu diharapkan lebih aspiratif menyerap keinginan warga kota tentang idealnya pendidikan di Surabaya dan bagaimana proses rekruitmen siswa barunya, kalau tidak, bukan tidak mungkin akan muncul gejolak masyarakat seperti yang sudah sudah selama ini.
Dalam hal Penerimaan Siswa Baru diharapkan pengambilan kebijakan yang dilakukan lebih banyak berpijak dari hasil evaluasi PSB tahun yang lalu dan menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat, jadi bukan mengambil keputusan sepihak yang tentu akan mengundang banyak kontroversi dimasyarakat.
Disisi lain sejalan dengan otonomi sekolah, tentu diharapkan ada desentralisasi kebijakan pendidikan pada tingkat sekolah, biarlah sekolah yang menentukan standard biaya dan proses penjaringan siswa barunya, Dinas Pendidikan Kota hanya membuat regulasinya saja, tanpa harus intervensi terhadap kebijakan kepala sekolah. Sebagai contoh : Dinas Pendidikan Kota menentukan biaya minimal maksimal pendidikan di Surabaya, selanjutnya Dinas Pendidikan Kota mengupayakan biaya biaya untuk proses minimal maksimalnya, kekurangan dari ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya, biarlah Kepala Sekolah yang mencarinya. Jadi kalau “ Education Cost “ sebuah sekolah sudah diketahui oleh masyarakat, berapa bantuan dari pemerintah dan berapa kekurangan yang harus ditanggung oleh masyarakat tentu masyarakat akan bisa menghitung kemampuannya dan menentukan pilihan pilihannya.
RAPB Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pelaku proses belajar mengajar formal, tentu akan lebih banyak tahu tentang kebutuhan dalam melakukan kegiatan proses belajar mengajarnya, Kebutuhan itu bisa dibaca dalam RAPB sekolah.
RAPBS sebagai “Blue Print “ tentu diharapkan bisa dipublikasikan sejak awal agar bisa diketahui oleh masyarakat. Dari RAPBS itulah masyarakat bisa mengetahui besaran “ Education Cost “ setiap anak setiap tahun, apakah ada sumber pembiayaan lain selain orang tua, apakah sekolah itu kreatif atau tidak dalam mencari terobosan untuk membiayai proses dalam menghasilkan output lulusannya, atau hanya sekedar membebankan semua biaya proses kepada wali murid .
Selanjutnya semua bergantung pada masyarakat untuk menentukan pilihan pilihan dalam menyekolahkan putra putrinya, bukankah sekolah adalah lembaga layanan publik yang harus memberi layanan memuaskan pada masyarakat ?
Jadi biarlah masyarakat memilih sendiri pendidikan bagi putra putrinya tanpa harus dibatasi oleh rayonisasi yang justru bertentangan dengan undang undang. Semoga bisa menjadi masukan bagi Dinas Pendidikan Kota Surabaya.

Sekolah Asuh, Jawaban Untuk Pemerataan Kualitas Pendidikan
Menarik untuk dicermati berita Jawa Pos “ Anggaran Minim, Jumlah Sekolah Kawasan Direvisi “ ( Minggu,19 Pebruari 2006 ). “ Kami terpaksa merevisi jumlah sekolah yang ditunjuk. Hal itu sedang kami kaji ulang. Sebab, kami harus melihat sekolah yang benar benar layak. “ Jelas Kabid Perencanaan dan Pengembangan Pendidikan Diknas Surabaya, Dra Tetty Rachmiwulan. Selanjutnya berkenaan dengan anggaran pelaksanaan gagasan sekolah kawasan, beliau mengatakan,” Masalah anggaran juga masih direvisi .” Dari pernyataan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diurai dan dicarikan jalan keluar atau alternative lain yang dapat menjawab masalah pemerataan mutu pendidikan yang selama ini menjadi sebuah tuntutan mendesak. Pertama, Haruskah sekolah kawasan sebagai sebuah jawaban untuk menjawab tuntutan tersebut ? Kedua, Ditengah keterbatasan anggaran yang ada , strategi apa yang perlu dilakukan agar sekolah itu menjadi “ Favorit “ ?
Peta Sebaran Pendidikan di Surabaya
Berdasar data pokok pendidikan Surabaya tahun 2004/2005, jumlah sekolah yang ada di Surabaya dapat dirinci sebagai berikut, untuk SD/MI berjumlah 1038 sekolah, dengan rincian SD Negeri berjumlah 566 sekolah, SD Swasta 353, MI Negeri berjumlah 2 , MI Swasta 117 . Untuk tingkat SMP/MTs berjumlah 359, rinciannya SMP Negeri 42, SMP swasta 299, MTsN 4, MTs Swasta 18. Tingkat SMA/MA/SMK berjumlah 277 , SMA Negeri 22, SMA Swasta 136, MAN 1, MA Swasta 9, SMKN 11 , SMK Swasta 109.
Dari data itu juga dapat dilihat 5 sebaran sekolah terbanyak dan terkecil dibeberapa kecamatan, Untuk SD sebaran terbanyak berada di wilayah kecamatan Sawahan 76 sekolah, Tambaksari 65, Semampir 54, Gubeng 54, Wonokromo 53, sedang yang terkecil berada diwilayah kecamatan Sambikerep 10 sekolah, Benowo 11, Bulak 12 , Gunung Anyar 12 dan Jambangan 13. Untuk SMP sebaran terbanyak berada diwilayah kecamatan Tambaksari 25, Gubeng 22, Krembangan 19, Sawahan 19 dan Genteng 19, sebaran terkecil berada diwilayah Asemrowo 4 sekolah, Wiyung 4, Benowo 5, Gayungan, Gunung Anyar, Pakal masing masing ada 6 sekolah dan Lakarsantri, Jambangan serta Simokerto 7 sekolah.Untuk SMA sebaran terbanyak berada diwilayah kecamatan Genteng 18 sekolah, Gubeng 13, Sawahan 11, Krembangan 10 dan Tambaksari 10, sebaran terkecil terletak di kecamatan Benowo 1, Lakarsantri, Bulak , Tegalsari, Wiyung masing masing 2, Karangpilang, Sambikerep, Tenggilis Mejoyo, Pabean Cantikan dan Kenjeran masing masing 3, Bubutan, Rungkut, Pakal, Simokerto, Semampir, Dukuh Pakis dan Jambangan masing masing 4, serta Mulyorejo dan Gayungan masing masing 1 sekolah.
Membangun Sekolah Kawasan ?
Sekolah kawasan sebagaimana yang dimaksud oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya, adalah sekolah yang mempunyai keunggulan lokal berada diwilayah wilayah tertentu dikawasan pinggiran kota yang selama ini belum menjadi tujuan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ketempat tersebut, sekolah tersebut harus berada dikawasan penduduk dengan kondisi sosial ekonomi yang lumayan mapan, sekolah tersebut harus berkapasitas banyak, minimal berkapasitas 240 anak, termasuk punya potensi untuk menjadi sekolah favorit.
Mengacu pada kriteria tersebut nampaknya yang perlu dilakukan adalah penempatan sekolah kawasan akan lebih tepat kalau diletakkan pada kawasan kawasan yang memang padat penduduk serta ketersediaan sarana pendidikannya tidak sebanding dengan jumlah penduduk pada kawasan tersebut, bukan sekedar hanya membagi wilayah kota Surabaya dengan beberapa bagian seperti wilayah Surabaya Utara, Selatan, Timur, Barat, Utara dan Pusat, sebab tujuan utama dari sekolah kawasan adalah pemerataan pendidikan diseluruh wilayah kota Surabaya.
Tentu kita semua tidak ingin dengan adanya sekolah kawasan, akan muncul ketidak adilan pendidikan baru ditingkat lokal, sebab bila mengacu pada ketentuan diatas bukan tidak mungkin persoalan persoalan baru diwilayah dimana sekolah kawasan berada, seperti terbatasnya daya tampung sekolah tersebut sementara sekolah disekitarnya belum sempat diberdayakan untuk bisa setara, yang terjadi adalah matinya sekolah sekolah disekitar terutama sekolah sekolah swasta, arus keluar masyarakat dari kawasan tersebut untuk mencari sekolah lain yang dianggap bermutu yang bisa menampung putra putrinya. Belum lagi pemilihan sekolah sekolah kawasan yang nantinya akan dijadikan model bagi pengembangan sekolah disekitarnya, tentu akan muncul dampak dampak psikologis bagi sekolah yang ditunjuk dan sekolah yang tidak ditunjuk.
Meminimalisir Dampak
Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Pendidikan Dinas Pendidikan Kota Surabaya, perlu ada revisi jumlah sekolah yang akan ditunjuk sebagai pilot project sekolah kawasan, hal ini disebabkan keterbatasan dana yang ada.
Melihat dampak dampak yang ada, tentu perlu diupayakan sikap yang arif dan terbuka dalam pemilihan pilot project sekolah tersebut, jangan sampai mengundang “ something negative “, disamping itu, kita juga berharap kepada masyarakat untuk memberi kepercayaan penuh kepada Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Diperlukan sikap yang seimbang, artinya jangan sampai kita melukai perasaan masyarakat dengan sikap sikap yang melawan arus logika masyarakat tentang pemilihan pilot project sekolah kawasan, disisi yang lain kita berharap kepada masyarakat untuk lebih bisa menahan perasaannya, agar Diknas bisa lebih baik dalam mewujudkan pilot projectnya.Hal yang harus dilakukan adalah sosialisasi kepada masyarakat tentang kenapa kawasan tersebut dipilih, mengapa sekolah ini dipilih dan berapa besaran anggaran yang dialokasikan untuk masing masing sekolah.
Sosialisasi yang dilakukan, diharapkan bisa mengundang partisipasi publik untuk terlibat dalam kepemilikan program sekolah kawasan. Dengan demikian bila program tersebut sudah menjadi milik masyarakat, maka masyarakat akan lebih mudah untuk dilibatkan dalam mengembangkan kawasan model sekolah bermutu.
Alternative Ditengah Keterbatasan Dana
Tidak dapat dipungkiri, dana menjadi sumber penting dalam mewujudkan pilot project tersebut, akan sangat disayangkan bila gagasan gagasan peningkatan kualitas pendidikan terhenti hanya karena keterbatasan dana, sementara tuntutan kearah itu sangat mendesak dan ditunggu tunggu oleh masyarakat.
Tentu diperlukan sebuah upaya cerdas tepat dan murah untuk mencari jalan keluar bagi terwujudnya pemerataan kualitas pendidikan ditengah keterbatasan yang ada, salah satu yang bisa saya usulkan adalah dengan melakukan program sekolah asuh.
Mengapa sekolah asuh ? Sebagai bagian dari pendidikan di Surabaya, Dewan Pendidikan tentu berupaya menyerap aspirasi yang berkembang dimasyarakat, berdasar kegiatan monitoring yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan monitoring BOS pada Desember 2005 sampai dengan Januari 2006, dan pertemuan sosialisasi dengan komite sekolah tentang evaluasi program kerja serta masukan dari komite sekolah pada bulan Maret 2006, tercatat dari 10 sekolah dikawasan pinggiran di Surabaya Utara yang dikunjungi secara acak, 7 sekolah tidak mempunyai perpustakaan, padahal bicara kualitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perpustakaan sebagai sumber belajar, serta masukan dari komite sekolah tentang kekurangan sarana prasarana pendidikan yang tersedia disekolah semisal ruang belajar dan laboratorium IPA yang belum ada, bahkan dikawasan sebuah kecamatan didaerah pinggiran Surabaya sebuah unit bangunan ruang belajar terpaksa digunakan oleh tiga Sekolah Dasar Negeri yang berada dalam satu komplek.
Tantangan pendidikan Surabaya kedepan disamping serbuan pendidikan asing, tentu juga daya saing kedepan diharapkan bisa menyamai kualitas pendidikan sebagaimana pendidikan dari negara lain yang membuka investasi pendidikan di Surabaya. Belum lagi keterbatasan lahan sekolah yang tentu menjadi persoalan tersendiri bagi pengembangan sarana prasarana sekolah kedepan.
Sekolah asuh sebagai alternative ditengah keterbatasan tentu diharapkan menjadi pilihan untuk menjawab tuntutan peningkatan kualitas pendidikan. Dengan sekolah asuh diharapkan dua hal bisa dicapai sekaligus, yaitu peningkatan kualitas pendidikan serta pemerataan pendidikan.
Implementasi sekolah asuh yang dimaksud adalah dengan melakukan program “ belajar bersama “ antara sekolah yang dianggap “ bermutu “ dengan sekolah sekolah yang masih “ belum “. Penentuan kategori sekolah sekolah tersebut merupakan hal yang sangat mudah bagi Dinas Pendidikan Kota, mengapa ? karena selama ini tentu Dinas pendidikan Kota sudah mempunyai database tentang jumlah sekolah dan prestasi tiap tiap sekolah baik itu secara akademis maupun yang non akademis. Selanjutnya kemudian bagaimana sekolah sekolah yang berkategori bermutu bisa melakukan “ pengasuhan “ kepada sekolah sekolah “ asuhannya “. Satu sekolah bisa melakukan “ pengasuhan “ lebih dari satu sekolah dengan cara belajar bersama tentang upaya upaya peningkatan kualitas pendidikan berdasar pada kompetensi yang dimiliki oleh masing masing sekolah, tentu capaian targetnya tidak harus sama..
Dari sisi anggaran pembiayaan, biaya yang diperlukan relative lebih murah daripada membangun sekolah kawasan yang justru banyak menciptakan kesenjangan. Biaya yang dibutuhkan dalam “ Pengasuhan “ ini lebih banyak berpusat pada transportasi guru dan sarana penunjang seperti buku. Sedang untuk sarana prasarana , bisa dilakukan dengan meminjam sekolah yang menjadi pengasuhnya, tentu dengan syarat jarak antar sekolah asuh dengan yang diasuh tidak terlalu jauh. Oleh karenanya ,, penentuan sekolah asuh dalam program ini juga harus memperhatikan kedekatan sekolah satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh tentang pelaksanaan sekolah asuh yang sudah berjalan adalah model yang dilakukan oleh SD Integral Luqman Al Hakim , Baitull Maal Hidayatullah dan SDN Wonokusumo V Surabaya. Sebagaimana ujar Eko Prastyoningsih Kepala SDN Wonokusumo V Surabaya , “saya merasakan dampak perubahan disekolah dimana saya berada. SDN wonokusumo V Surabaya yang berada diwilayah pinggiran setelah mendapatkan program “ Sekolah Asuh “ yang dilaksanakan oleh BMH Surabaya, program tersebut dikemas dalam program belajar bersama antara para guru disekolah SDN Wonokusumo V Surabaya dengan SD Integral Luqman Al Hakim. ( SD ini mendapatkan NEM tertinggi Untuk SD di Surabaya tahun 2005 ) .Tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh kedua sekolah tersebut, karena biaya yang ada ditanggung oleh lembaga lain yang peduli tentang pendidikan. Biaya biaya yang dikeluarkan hanya berkisar pada transportasi guru dari kedua sekolah tersebut, biaya konsumsi dan biaya biaya foto copy materi penunjang untuk peningkatan mutu. Tidak diperlukan sarana baru yang mengeluarkan dana yang besar, cukup dengan memanfatkan potensi yang ada dimasing masing sekolah.”
Percik Pendidikan
Kita semua barangkali tercengang , ditengah gencarnya Pemerintah melakukan upaya penyelamtan pendidikan dasar, kita dikejutkan data yang dihimpun oleh Bappemas kota Surabaya tahun 2007, masih ada lebih dari 32.000 anak Surabaya dari keluarga miskin yang tidak bersekolah, tepatnya untuk usia 7 – 12 tahun sejumlah 6.506, usia 13 – 15 tahun 9.157 dan usia 16 – 18 tahun 16.353.
Fakta ini merupakan sebuah jawaban bahwa masih sulitnya masyarakat kita mendapatkan akses pendidikan yang menjadi haknya, apalagi mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan bermutu. Tentu yang menjkadi korban dari itu semua adalah masyarakat dari keluarga miskin. Kita tidak ingin kemudian ada kata kata “ Orang Miskin Dilarang Sekolah “
Memang ada banyak program program pemerintah dalam rangka penyelamatan pendidikan anak anak kita, tetapi menjadi ironi ketika banyak program yang diluncurkan tetapi data mengatakan masih banyak dari kalangan miskin yang harusnya bersekolah ternyata tidak dapat bersekolah.
Dimana letak kekurang tepatannya ? Ibarat seorang dokter, problem problem yang muncul diseputar pendidikan ibarat sebuah penyakit, maka cara mengobatinyapun harus sesuai dengan hasil diagnosa yang dilakukan. Dalam dunia pendidikan kita di Surabaya, yang patut kita tanyakan kepada nurani dan logika sudah sesuaikah cara cara kita menyelesaikan dan mengatasi problem pendidikan di Surabaya ? kita tentu tidak ingin bahwa apa yang kita lakukan didalam mengatasi persoalan pendidikan kita adalah sebuah tindakan yang “ seolah olah menyelesaikan “ padahal masih ada kepentingan lain diluar pendidikan yang kita sembunyikan, akibatnya persoalan pendidikan itu sendiri tidak pernah selesai. Kita masih sering lebih suka menempatkan kepentingan pribadi atau golongan diatas kepentingan publik.
Lalu apa yang harus kita lakukan ! Persoalan pendidikan adalah persoalan bersama, dengan kata lain tidak ada satu lembagapun yang berhak mengatakan dirinya yang palin tahu dan paling bisa, diperlukan kearifan dan keterbukaan, karena kita sadar tidak ada satupun diantara kita yang sempurna, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karenanya menyelesaikan persoalan pendidikan Surabaya, harus dimulai dari problem problem yang sesuai dengan pengamatan kita bersama setelah itu kita coba rumuskan formula penyelesaianya secara bersama.
Ada lima hal proiblem pendidikan Surabaya yang dihimpun Dewan Pendidikan Kota Surabaya, yaitu : 1. Pemerataan akses pendidikan serta sarana prasarananya, 2. Peningkatan mutu pendidikan, 3. Standarisasi biaya minimal pendidikan bermutu, 4. Masih lemahnya pelibatan partisipasi publik, serta 5. Belum maksimalnya pemberdayaan lingkungan pendidikan
Semoga dengan diagnosa serta perumusan formula dan dosis penyelesaian yang tepat bisa segera dilakukan, sekali lagi tentu ini bukan pekerjaan Dinas Pendidikan Surabaya saja, tetapi juga menjadi tugas kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap persoalan pendidikan anak anak kita.Sekali lagi kata kunci dari percepatan penyelesaian persoalan pendidikan di surabaya adalah sanggupkah kita berbagi, mau menerima saran dan masukkan dari pihak manapun tanpa harus merasa kita yang paling bisa.
“ Orang Miskin Dilarang Belajar Di Sekolah Favorit “
Bagi setiap orang, mungkin menjadi suatu keharusan untuk bercita cita mendapatkan layanan pendidikan yang baik dan bermutu, karena dengan pendidikan yang baik dan bermutu diharapkan anak mendapatkan bekal pembelajaran untuk bisa memahami hidup yang bermakna. Namun sayangnya cita cita tersebut kadang harus ditahan terlebih dahulu manakala berbenturan dengan kemampuan untuk mendapatkan layanan tersebut. Seringkali layanan untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan bermutu selalu dikaitkan dengan kemampuan financial yang tidak sedikit, hingga yang terjadi adalah layanan pendidikan yang baik dan bermutu hanya diperuntukkan bagi kalangan yang mampu ” membeli ” layanan tersebut.
Sekolah bermutu atau sering diidentikkan dengan sekolah favorit tentu mempunyai ” kebutuhan lebih ” dibanding dengan sekolah sekolah yang terkategori belum favorit, hal ini disebabkan oleh kebutuhan sarana peningkatan mutu sangat besar sekali, akibatnya bila kemampuan untuk memenuhi kebutuhan itu dari ” pemilik sekolah ” baik itu pemerintah maupun swasta terbatas, maka yang terjadi adalah partisipasi warga sekolah dari kalangan orang tua siswa akan dimaksimalkan, akibatnya sekolah sekolah ” favorit ” tersebut menjadi sekolah yang relative mahal, karena untuk mendapatkan fasilitas seperti itu dibutuhkan ” investasi ” yang tidak sedikit, selanjutnya hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa mendapatkannya.
Orang miskin tidak perlu untuk dikasihani, karena memang mereka tidak berharap untuk dikasihani. Bagi mereka, miskin bukanlah sebuah cita cita, miskin bukan juga pilihan mereka, miskin bagi mereka, karena mereka terpaksa harus menjalaninya. Oleh karenanya yang paling penting bagi mereka adalah pemberian kesempatan yang sama dengan kelompok masyarakat yang lainnya,karena memang itu ” hak ” mereka.
Orang miskin tentu juga punya cita cita, dan cita cita yang paling sederhana bagi mereka adalah tidak ingin mewariskan kemiskinannya kepada anak anaknya.Bagi mereka, saat ini yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa memotong mata rantai kemiskinan yang mereka alami agar tidak diwarisi oleh anak anak mereka. Mereka berupaya semaksimal mungkin guna pemenuhan kebutuhan perut mereka sambil mencoba untuk memberikan pendidikan kepada putra putrinya lewat sekolah, baik itu yang formal maupun non formal.
Pendidikan sebagai upaya ” pendadaran diri ” bagi pemahaman makna hidup agar lebih bermakna, diyakini sebagai salah satu cara untuk memotong mata rantai kemiskinan. Upaya agar dengan pendidikan mampu menjadikan peserta didik dapat memahami hidup lebih bermakna juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk bisa ” sustain ” dalam menghadapi hidup. Oleh karenanya dengan pendidikan, diharapkan anak sebagai peserta didik mampu menghadapi dinamika hidup agar tidak mudah putus asa meski harus mengalami hambatan, kegagalan dan keterbatasan untuk bisa mendapatkan makna hidup yang dicita citakan.
Bagi kalangan miskin mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu merupakan hal yang tidak gampang, hal ini dikarenakan layanan pendidikan semacam itu relatif tidak murah.Selama ini mereka dihadapkan pada pilihan antara makan dan pendidikan putra putrinya yang selalu tarik menarik .Bagi mereka pemberian kesempatan yang sama tanpa harus dikasihani adalah penting, karena dengan demikian mereka akan bisa melakukan aktifitasnya tanpa ada beban.
Kalangan miskin sebagai warga kota, tentu juga harus dipahami sebagai ” kekayaan ” yang dimiliki oleh pemerintah kota. Menempatkan mereka sebagai ”asset ” merupakan sikap yang elok, ketimbang memandang mereka sebagai ” beban ”.Dengan kata lain ketika mereka dianggap sebagai asset kota, maka mereka harus diberdayakan agar mempunyai nilai tambah bagi pemerintah kota maupun diri mereka sendiri.
Memberdayakan mereka mempunyai arti bagaimanana pemerintah kota bisa memberikan layanan kepada kalangan tersebut dengan melahirkan program program kota yang populis untuk kepentingan mereka yang pada akhirnya mereka bisa berdaya dan bisa memberikan kontribusi yang menguntungkan pemerintah kota.
Mengutip sabda Nabi Muhammad S.A.W, ” Sebaik baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat kepada lingkungannya ”, tentu ini bisa menjadi insipirasi dan motivasi agar kita bisa bermanfaat bagi yang lainnya. Sebagai seorang pemimpin bisakah kita memberi manfaat kepemimpinan kita kepada masyarakat yang kita pimpin , bisakah kita tidak menjadi ancaman bagi yang lain dengan kebijakan kebijakan yang kita lahirkan, bisakah dengan kepemimpinan yang kita pegang memberi ketentraman dan keamanan dengan jaminan sosial yang kita berikan.
Sebuah kepemimpinan itu amanah, tentu akan dimintai pertanggung jawaban, dalam dunia pendidikan, Negara lewat Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa : Fakir miskin dan anak anak terlantar menjadi tanggung jawab negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi,Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua,wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Setidaknya ada benang merah yang bisa kita ambil dari rujukan peraturan peraturan tersebut diatas, bahwa ada tanggung jawab kolektif warga negara terhadap warga negara yang lainnya, yang berupa hak dan keajiban dari masing masing yang harus diberikan tanpa harus ” dibarengi ” perasaan belas kasihan.
Pendidikan Butuh ” Kontrak Sosial ”
Kita semua tentu akan bersepakat bahwa pendidikan sebagai sebuah investasi, merupakan alat untuk memotong mata rantai kemisikinan serta pembentukan karakter anak didik agar memahami dirinya sebagai manusia yang bermanfaat. Dalam investasi dibutuhkan biaya , tapi yang paling penting adalah seberapa besar manfaat yang bisa dipetik dari investasi yang ditanamkan. Sebab kalau tidak bisa dihitung manfaat yang bisa diambil dari investasi anggararan yang dikeluarkan, kita tidak akan pernah bisa mengukur sebuah program pendidikan itu berhasil atau tidak Oleh karenanya dalam pendidikan diperlukan ” Kontrak Sosial ”.
Kontrak sosial yang dimaksud adalah sebuah kepastian kepemimpinan untuk bisa mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Tentu pertanggung jawaban itu lebih pada program pendidikan apa yang akan dilaksanakan, untuk siapa dan berapa besaran anggaran yang dibutuhkan, capaiannya apa ,serta darimana didapatkan anggaran tersebut.
Karena pendidikan itu merupakan tanggung jawab kolektif, pemerintah, masyarakat dan sekolah, maka tentu didalam melahirkan program program pendidikan diharapkan memuat harapan harapan semua stake holder , kebutuhan biaya untuk mewujudkan harapan harapan tersebut, serta sumber pendanaan dari semua itu. Diperlukan ” share ” untuk mewujudkannya. Dengan demikian semua anak yang berhak mendapatkan layanan pendidikan yang baik dan bermutu akan bisa diatasi.
Dinas Pendidikan Kota Surabaya mempunyai program ” sekolah kawasan ”, ” SBI ” dan sederet sekolah sekolah dengan label prestisus. Kita yakin bahwa program program tersebut sejatinya dimaksudkan untuk memberikan peningkatan kualitas pendidikan , tapi sayangnya program program tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian masyarakat yang beruntung saja. Simak pernyataan Kepala Sekolah SMAN 5 Surabaya, Suhariono , ” Bahwa untuk mengikuti ujian kelas SBI setiap anak diminta kontribusinya sebesar 1 juta rupiah untuk setiap mata pelajaran, untuk ujian itu diperlukan enam mata pelajaran, jadi untuk mengikuti ujian enam pelajaran disetiap kelas SBI dibutuhkan biaya enam juta rupaiah, belum termasuk biaya biaya yang lainnya ” ( Jawa Pos ). Tentu kita semua menjadi miris, lebih lebih kalangan masyarakat miskin, akan terbayangkan tidak akan pernah bisa menikmati kelas itu dan akibatnya terjadi disparitas yang kemudia berdampak bahwa orang miskin tidak bisa belajar di sekolah favorit ( baca : bermutu ). Yang terbaru adalah Dinas Pendidikan Kota Surabaya juga akan mengirim sejumlah gurunya ke Jakarta dan Australia untuk belajar menajemen sekolah, untuk itu semua tentu dibutuhkan biaya yang cukup besar . Masih segar juga dalam ingatan kita ketika beberapa Kepala sekolah kita berkunjung ke Malaysia, Singapura dan China, kita belum bisa merasakan hasilnya, kecuali pernyataan bahwa, ” untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan di Surabaya dibutuhkan biaya yang memadai ”. Jadi kadang kita juga belum bisa mengukur hasil yang kita dapatkan dari sebuah kegiatan yang kita lakukan dengan besaran biaya yang sudah kita keluarkan.
Diperlukan Kebijakan ” Pro Poor ” Dalam Pendidikan
Pendidikan milik semua sebagaimana amanat undang undang, oleh karenanya tanggung jawab semua pihak untuk itu membangun kemauan bersama. Dinas pendidikan sebagai pihak yang paling berkepentingan untuk mewujudkannya, diharapkan mampu menjalin kemitraan dengan kelompok masyarakat baik perorangan ataupun lembaga. Partsisipasi publik pada dasarnya sudah ada, lihat saja program program dari Lembaga Zakat sepert BMH Surabaya yang pro penyelamatan pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan sekolah pinggiran, Program DBE 3 Usaid yang memberi bantuan tehnis dan hibah kepada sekolah sekolah dan lembaga mitra untuk peningkatan kualitas pembelajaran dan sederet lembaga lembaga lain yang ada di Surabaya, belum lagi perusahaan yang sudah banyak melakukan batuan pendidikan seperti Sampoerna Fondation, membantu peningkatan kualitas baca masyarakat dengan batuan perpustakaan dan mobil perpustakaan kelilingnya, Pelindo dengan bea siswanya serta bantuan rehab sekolah rusak, Telkom dan Indosat dengan program peduli pendidikannya.
Kebijakan kebijakan populis yang ” pro poor ” merupakan isu pendidikan yang sangat seksi yang akan menarik semua pihak untuk terlibat dan peduli, masalahnya adalah apakah program program Dinas Pendidikan Kota dirancang seseksi program program yang dirancang oleh lembaga lembaga tersebut ? Kalau tidak Dinas Pendidikan akan bekerja sendiri. Sudah saatnya semua komponen yang peduli terhadap pendidikan untuk duduk bersama merancang pendidikan, bukankah hasil dari pendidikan yang baik akan kita nikmati bersama ?
Pendidikan Menuju Titik Nol
Dalam sebuah diskusi kecil pagi , penulis terlibat diskusi dengan beberapa kawan yang peduli terhadap persoalan pendidikan. Dalam diskusi sengit nan santai, digambarkan tentang mengapa kualitas manusia Indonesia jauh tertinggal dari negara negara tetangga kita di Asia Tenggara. Dalam data HDI tahun 2005 disebutkan bahwa peringkat kualitas manusia Indonesia berada diperingkat 107 dari 177 negara negara dunia , di Asia Tenggara kita berada dibawah Singapura ( 25 ), Malaysia ( 63 ), Thailand ( 77 ) serta Vietnam ( 105 ). Tentu gambaran seperti ini tidak bisa dipisahkan dengan potret pendidikan kita didalam menghasilkan kualitas sumber daya manusia.
Pendidikan yang mempunyai tujuan membangun manusia Indonesia yang utuh dan sanggup memaknai hidup kini menjadi bias, karena tujuan mulia dari pendidikan itu telah kehilangan makna dan jati dirinya. Pendidikan kita lebih senang diukur dengan angka angka kuantitative, kualitas hanya menjadi slogan tanpa bisa dibuktikan ukuran keberhasilannya, sebagai contoh RAPBS kita banyak memunculkan kegiatan sekolah dengan biaya biaya yang keberhasilannya tidak pernah bisa diukur secara kualitatif. Akibatnya yang terjadi adalah hasil lebih penting daripada proses. Akibat dari itu semua kita dapati anak anak yang cenderung instant untuk mencapai sesuatu yang di inginkan, dan lebih mengerikan lagi bila pendidikan yang sedang kita lakukan ini menghasilkan sumber daya manusia yang cenderung meminta daripada memberi, kurang kreatif karena tingginya ketergantungan terhadap faktor faktor lain, pelaku pendidikan kita lebih banyak mengeluh ditengah keterbatasan yang ada, tidak mampu memaksimalkan peran ditengah keterbatasan, ukurannya selalu pada sarana yang harus tersedia terlebih dahulu baru bisa menjalankan peran, berapa anggaran yang disediakan baru bisa menjalankan program. Kita sering jumpai banyaknya tuntutan tuntutan yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan kita pada hal hal yang sesungguhnya ukurannya tidak jelas, seperti tuntutan kesejahteraan yang harus dipenuhi, meski kalau ditanya berapa sebenarnya kebutuhan layak sejahtera yang harus dipenuhi, mereka juga tidak tahu. Akibatnya banyak yang meragukan apabila tuntutan tuntutan yang ada dipenuhi, apakah kemudian ada jaminan bahwa para pelaku pendidikan kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak anak ? Jawabnya belum tentu, karena faktor mendasarnya bukan pada ketersediaan yang harus dipenuhi, tetapi lebih pada faktor manusia yang memang tidak bisa memaksimalkan peran. Kesejahteraan memang sangat perlu, tetapi itu adalah dampak dari sebuah kualitas diri yang kita lakukan.
Mengapa bisa begitu ? Membangun pendidikan sejatinya adalah membangun karakter anak bangsa.Dalam membangun karakter yang berujung “ National Character Building “ harus dipahami sebagai sebuah pekerjaan mulia nan besar yang tidak semua orang bisa melakukannya, Pekerjaan ini menuntut untuk bisa memadukan keseimbangan antara kecerdasan intelektual anak didik dengan kecerdasan spiritualnya. Disinilah sebetulnya letak strategisnya pendidikan untuk melakukan perubahan dan menanamkan karakter anak bangsa. Tentu ini bukan pekerjaan yang sembarangan, hanya orang orang yang berjiwa besar dan tak kenal lelah yang bisa melakukan itu, dibutuhkan stamina yang sangat tinggi untuk bisa menjalankannya terlebih ditengah keterbatasan yang ada. Diibaratkan ini adalah pekerjaan “ para nabi “ mengajak peserta didik untuk “ to create “ bukan “ to be “. Selain itu biaya yang dikeluarkan tidak selayaknya juga dipandang sebagai sesuatu yang hilang.
Proses pendidikan kita sekarang ini sebetulnya mengalami perubahan yang cukup mendasar, dari kurikulum 1994 yang terpusat menuju kekurikulum 2004 dan 2006 yang lebih mengedepankan pendidikan berbasis kebutuhan peserta didik. Tetapi persoalannya justru pada kemampuan menterjemahkan perubahan kurikulum itu yang tidak semua guru dan pemegang kebijakan mampu memahami. Akibatnya pendidikan anak anak kita menjadi tidak terarah dan tidak berkarakter, cenderung menuruti tafsir sepihak.
Pendidikan Tanpa Desain
Ibarat sebuah produksi, pendidikan selayaknya harus menentukan dahulu sesuatu yang ingin dicapai sebelum melakukan proses. Dalam industri ,ketentuan ketentuan yang diinginkan itu tertuang didalam cetak biru produksi yang berisi detail pelaksanaan mulai dari awal sampai akhir produksi serta hasil yang diinginkan. Disamping itu juga, cetak biru juga berisi perhitungan biaya produksinya sampai dengan bahan baku yang dibutuhkan serta spesifikasinya, semua dilakukan secara cermat dan detail, agar didapatkan hasil yang maksimal dengan meminimalkan penggunaan ketersediaan bahan baku produksi. Cetak biru itu merupakan grand desain dari sebuah produksi yang diinginkan. Dalam dunia pendidikan mestinya juga dilakukan hal yang sama sebagaimana sebuah produksi dilakukan, perlu dilakukan perhitungan secara cermat terhadap apapun yang berhubungan dengan proses belajar mengajar, kompetensi para siswa serta lingkungannya, pendekatan seperti apa yang akan digunakan agar didapatkan hasil lulusan yang berkualitas. Perhitungan seperti itu dimaksudkan agar capaian hasil yang dicapai bisa diukur.
Baru baru ini kita mendengar bahwa Surabaya dan Jawa Timur sedang menyusun ” Grand Desain Pendidikan ”, Surabaya mungkin sudah terlebih dahulu dan cukup lama proses penyusunannnya, tapi kita tidak pernah tahu kejelasan nasib grand desain tersebut, ketidak jelasan nasib grand desain pendidikan tersebut bisa juga berarti bahwa selama ini pendidikan di Surabaya dilakukan tanpa arah dan desain yang jelas, ujung ujungnya bisa ditebak bahwa pendidikan Surabaya dikembangkan tanpa karakter dan tujuan yang jelas serta tidak akan pernah ada pertanggung jawaban dari hasil proses pendidikan itu meski sudah cukup banyak biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Masyarakat juga tidak tahu apakah memang grand desain yang disusun itu sudah menampung apa yang menjadi kebutuhannya, jangan sampai sebuah grand desain pendidikan yang disusun yang seharusnya melayani kepentingan publik menjadi bias hanya melayani ” kepentingan tertentu ” yang justru akan merugikan kita semua.
Sangat mengejutkan kita ketika dikatakan oleh kepala Dinas Kota Surabaya, Sahudi, bahwa pembangunan pendidikan Surabaya harus dimulai dengan peningkatan mutu yang diartikan dengan standard pembangunan fisik gedung sebuah sekolah, akibatnya kemudian terjadi penyeragaman bentuk fisik sebuah sekolah yang diangagap bermutu. Dampaknyapun sudah bisa ditebak, bahwa akan terjadi peningkatan beban masyarakat terhadap pendidikan serta ribuan anak dari 500 ribu KK terancam untuk tidak bisa sekolah. ( hasil verivikasi Bappemas di 163 kelurahan surabaya tahun 2007 )
Masyarakat sebagai stake holder pendidikan, tidak seharusnya diabaikan aspirasinya, apalagi kalau kemudian terbesit ” rasa takut ” jika masyarakat dilibatkan dalam penyusunan desain pendidikan akan ” mengganggu ” kepentingan tertentu. Seharusnya pihak pihak yang terlibat dalam membangun pendidikan Surabaya berterima kasih, karena tanpa dibayar masyarakat rela untuk ikut memberi sumbangan pemikiran bagi perbaikan pendidikan di Surabaya. Masyarakat ini tidak punya kepentingan apa apa, kecuali hanya ingin membantu bagaimana sebuah peningkatan mutu pendidikan bisa dilakukan.
Harus Bisa Diukur Return Of The Investment nya
Tahun 2007, anggaran pendidikan Surabaya disebutkan sebesar 12.1 %, dari angka itu muncul besaran anggaran sebesar 148 M, dan kabarnya pada tahun 2008 terjadi peningkatan anggaran pendidikan kita. Belum lagi anggaran yang dikucurkan oleh Pemerintah pusat melalui dana BOS, serta pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan pembiayaan pendidikan anak anaknya. Dalam hitungan Dewan Pendidikan Surabaya, ada sekitar 60 % pengeluaran yang dilakukan oleh masyarakat dari total jumlah seluruh kebutuhan pendidikan anak anaknya selama 1 tahun. Adapun total pengeluaran selama 1 tahun untuk SD/MI sebesar Rp. 2.187.000,00, SMP/MTs Rp. 2.602.000,00, SMA/MA/ SMK Rp. 2.902.000,00. Bisa dibayangkan betapa besar sebenarnya investasi pendidikan yang sudah dikeluarkan baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat, pertanyaannya adalah apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan besaran investasi yang dikeluarkan ?
Masyarakat sebagai pengguna hasil pendidikan sekaligus “ investor “, tidak selayaknya kalau kemudian membiarkan investasi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan, kalau ini dibiarkan, akan terjadi banyak kerugian didalam pembangunan SDM anak anak kita. Masyarakat sebagai investor sudah selayaknya harus meminta pertanggung jawaban terhadap seluruh proses pendidikan serta hasil hasilnya, karena dengan begitu kita akan mengajak siapapun yang terlibat untuk lebih bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan dan terukur penggunaan biayanya.
Masyarakat harus memulai melakukan “ kontrak belajar “ terhadap sekolah dan Dinas Pendidikan, kontrak itu berisi harapan yang diinginkan terhadap proses pembelajaran dan hasilnya, jangan sampai kemudian masyarakat membiarkan investasi yang ditanamkan hilang untuk sesuatu yang tidak terarah dan tidak berkarakter bagi pendidikan putra putrinya.
Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah hasil proses pendidikan yang dihasilkan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya sudah sesuai dengan investasi yang kita keluarkan atau belum, ada baiknya kalau kita semua bisa memberikan masukan atas hasil yang didapatkan. Sebagai pengingat hasil ketidaklulusan siswa pada tahun pelajarn 2006/2007, SMA 629 siswa ( 10.8 % dari jumlah total 6575 siswa Jawa Timur yang belum lulus ), SMK 334 siswa ( 10.7 % dari jumlah total 3598 siswa Jawa Timur yang belum lulus ), SMP 1171 siswa ( 5.85 % dari 20.000 siswa Jatim yang belum lulus ). Ini belum termasuk hasil nilai yang dicapai serta kualitas pengembangan kompetensi siswa dari aspek akademis, sosial, personal maupun vocationalnya, sebagaimana amanat kurikulum 2006. Lalu kemanakah anak anak kita ini akan dibawah ?
SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU: dimensi
Untuk mencegah kita terjebak dalam perangkap-perangkap teoretik, kita akan mencoba mendiskusikan dimensi-dimensi ilmu sosial. Pada dasarnya, dikenal empat jenis dimensi dalam pendekatan teori sosial.

1. Dimensi kognitif.
Dalam dimensi ini, ilmuwan sosial akan selalu berbicara mengenai teori sosial sebagai cara untuk membangun pengetahuan tentang dunia sosial. Di sini terletak epistemologi yang membangun berbagai metodologi penelitian sosial.
2. Dimensi afektif.
Merupakan sebuah kondisi di mana teori yang dibangun memuat pengalaman dan perasaan dari teoretisi yang bersangkutan. Dimensi ini mempengaruhi keinginan untuk mengetahui (to know) dan menjadi benar (to be right) – kedua hal ini bertitik berat kepada kejadian tertentu dan realitas eksternal.
3. Dimensi reflektif.
Di sini, teori sosial harus menjadi bagian dari dunia sebagaimana ia menjadi cara untuk memahami dunia. Dengan kata lain, teori sosial harus mencerminkan apa yang terjadi di luar sana dan apa yang terjadi pada kita sebagai salah satu elemen dari sistem sosial yang ada.
4. Dimensi normatif, yang memperluas dimensi ketiga.
Dalam dimensi ini, teori sosial sepantasnya memuat secara implisit ataupun eksplisit tentang bagaimana seharusnya dunia yang direfleksikannya itu. Keempat dimensi ini membangun seluruh pendekatan dalam proses kostruksi teori-teori sosial yang ada.
Universalitas Ilmu-ilmu Sosial
Sebuah Persoalan yang Terlupakan*
Oleh:
Iwan Awaludin Yusuf**
"Kita adalah para penjelajah yang berpandangan ke belakang, dan parodi adalah ungkapan kita yang utama."
(Dwight MacDonnald, dalam Linda Hutcheon, A Theory of Parody, Methuen,1986, hlm.1)
Alkisah seorang siswa kelas dua SMU sedang dihinggapi kebingungan saat harus memilih penjurusan di kelas III antara IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Kebetulan siswa tersebut-sebutlah namanya Bejo-memiliki rapor yang bagus dengan nilai rata-rata tujuh koma. Setelah konsultasi ke sana kemari, termasuk dengan orang tua dan guru BK(Bimbingan Konseling)-nya, dengan mantap ia menentukan pilihan: bergabung di Jurusan IPS, jurusan yang memang difavoritkannya sejak dulu. Walaupun untuk nilai matematika, fisika, atau kimia, Bejo tak pernah mendapat nilai di bawah tujuh, keinginan mengelaborasi fenomena-fenomena sosial, seperti yang sering dilakukannya saat mengkritik atau mendebat gurunya semakin memantapkan tekadnya untuk menekuni ilmu-ilmu sosial.
Sayang, ketika pilihannya (atau lebih tepat idealismenya) pada jurusan sosial itu hampir diputuskan dengan menandatangani surat pernyataan, mendadak pikirannya goyah. Bejo dibayangi ketakutan masa depan. Benaknya dipenuhi absurditas, ketidakjelasan tentang wacana keilmuan sosial yang akan digelutinya.
Menggunakan pola pikir pragmatis, sebagaimana lazimnya logika yang dipakai anak SMU, Bejo dihinggapai kekhawatiran akan prospek ilmu sosial. Sebutlah premis tentang ilmu sosial sebagai ilmu kelas dua, jurusan anak buangan dari IPA, sulit mencari kerja, NATO (sering omong tanpa gerak), banyak hafalan dan seterusnya.
Kekecewaan Bejo bertambah saat teman-temannya menyayangkan pilihannya dalam menentukan jurusan. Banyak dari mereka yang berkomentar :"Ah, sayang pintar-pintar kok masuk IPS" ada juga yang berkata " Mau jadi apa, kamu ?" Dan yang mungkin paling lucu, Bejo sempat mendengar isu bahwa siswa yang berasal jurusan IPS jarang yang diterima di PTN. Kalah bersaing dengan anak-anak IPA. Dengan perasaan frustrasi mendalam, akhirnya Bejo meninggalkan pilihan pertamanya, berpindah ke Jurusan IPA.
Uniknya, ketika masuk di perguruan tinggi. Bejo malah masuk di Jurusan Sosiologi. Sekejap kekecewaan atas gagalnya realisasi "idealisme-sosial" di SMU-nya terlampiaskan. Sayang absurditas kembali membayangi Bejo. Dari kacamata image/citra, Bejo dikenal teman-temannya, bahkan dosennya sebagai aktivis gerakan mahasiswa yang pandai berargumentasi dengan dialektika dan wacana sosial, baik "klasik" maupun "kontemporer", "kiri" maupun "kanan" Kerap kali ia menertawakan kerapuhan marxian atas determenisme ekonomi, positivisme, hingga ketidaksepakatannya terhadap teori tiga gelombang peradaban Alfin Toffler.
Namun dalam hatinya, Bejo selalu mempertanyakan kembali kontribusi ilmu sosial terhadap realitas masyarakat saat ini. Bagaimana ilmu-ilmu sosial dalam jangka pendek mampu menjawab persoalan-persoalan struktural maupun kultural bangsa Indonesia yang ruwet dan sangat kompleks. Apalagi ketidakjelasan ilmunya untuk menjawab tantangan kehidupan mendatang.
Sekali lagi Bejo bertanya dalam hati; apakah ilmu sosial hanya mampu mengetalasekan ide-ide para pemikir yang membentuk faksi-faksi intelektual dengan teori-teori sosialnya? Pemaksaan terhadap penerimaan atas perspektif dan paradigma tertentu? Kemudian ia melihat, lansekap moralitas bangsa Indonesia telah didominasi unsur-unsur kebobrokan yang kronis. Predikat buruk bahkan telah mencapai nomor satu untuk banyak hal. Sebutlah rankingisasi korupsi, kolusi, pelanggaran hak cipta hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), semuanya memperlihatkan angka-angka yang memprihatinkan.
Lepas dari perdebatan tentang parameter atau indikator apa saja yang digunakan untuk mengukur proposisi di atas, fakta demikian tentu sangat mencoreng muka bangsa Indonesia, termasuk Bejo yang selama ini selalu mengklaim dirinya sebagai bangsa berbudaya tinggi dan berbudi pekerti luhur. Ironisnya, perusak tatanan Republik ini dahulu juga orang-orang yang senantiasa bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Orang-orang kampus yang gemar bersuara toh akhirnya menyerah jika terjerat dalam kebobrokan struktural.
Bejo membayangkan, ketika pendidikan lebih cenderung memenuhi permintaan industri, ilmu-ilmu sosial ternyata semakin kerdil. Bahkan nyaris tak dapat berkembang, jika tidak ingin dikatakan dormansi (berhenti tumbuh alias mati!). Perdebatan batinnya saat ini tidak lagi menggugat kesetaraan antara ilmu alam maupun sosial, tetapi justru lebih pada dikotomi label-label percabangan ilmu yang sangat kaku membatasi geraknya dalam mendalami lintas disiplin ilmu sosial yang menurutnya sangat luas. Bejo yang kritis ternyata hanya menggigit jari melihat realitas.
Bejo, bahan Perenungan
Kisah semacam itu hingga saat ini pasti banyak dialami mahasiswa, tak hanya Bejo seorang, jika menilik peran strategis ilmu-ilmu sosial dengan konteks wacana keilmuan kontemporer. Sebenarnya kisah semacam itu boleh dikatakan sisa-sisa warisan dari apa yang terjadi di Eropa pada paruh kedua abad XIX, yakni gugatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang kemudian meniadakan pembedaan ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam labelisasi disiplin ilmu-ilmu tertentu.
Awalnya kajian ekonomi-politik, sosiologi politik, sosiologi historis misalnya, ditolak sebagai disiplin ilmu, dengan argumentasi bahwa negara dan pasar beroperasi dengan logikanya sendiri-sendiri yang memang berbeda dan tidak dapat dipertemukan secara konseptual karena perbedaan frame perspektif.
Untunglah, keadaan tersebut hanya bertahan hingga kurun waktu 45-an. Seiring dengan adanya berbagai perubahan-perubahan masyarakat secara mondial, ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang tersekat-sekat itu semakin kurang mampu menjelaskan berbagai gejala yang ada. Muncullah kajian-kajian yang bukan sekadar melibatkan berbagai disiplin ilmu/multidisipliner, tetapi juga lintas disiplin/interdisipliner, sebutlah kajian wilayah (area studies), kajian perempuan (women studies), kajian kebudayaan (cultural studies), kajian hak asasi manusia (human rights stuidies) dan sebagainya. Pendeknya, jika sebelum tahun 1945 terjadi divergensi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kini terjadi konvergensi.
Tentunya munculnya disiplin ilmu-ilmu yang pernah tersekat-sekat secara kaku, namun semakin bersinggungan satu-sama lain dalam bentuk kajian atas subject matter tertentu, tidaklah lepas dari berbagai fenomena yang ada di dalam masyarakat yang terus berubah.
Tiga Garis Perpecahan
Kembali lagi pada konstruksi historis, walaupun universalitas sudah dibangkitkan, pada dasarnya ilmu-ilmu sosial sudah telanjur dibedakan ke dalam tiga garis perpecahan, yang dilakukan pada akhir abad kesembilan belas. Hal tersebut konon digunakan untuk menyusun secara sistematis hubungan antar ilmu-ilmu sosial. Pertama, garis antara kajian tehadap dunia modern/beradab (ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial nomotetis), dengan kajian terhadap dunia non-modern (antropologi, plus studi-studi oriental); di dalam kajian terhadap dunia modern. Kedua, garis antara masa lalu (ilmu sejarah) dengan masa kini (ilmu-ilmu sosial nomotetis); di dalam ilmu-ilmu sosial nomotetis. Ketiga, garis-garis tajam antara kajian tentang pasar (ilmu ekonomi), negara (ilmu politik), dan masyarakat warga (civil society) (Wallerstein,1997:55)
Tumpang tindih yang semakin membesar di antara ketiga ilmu-ilmu sosial nomotetis tradisional-ekonomi, politik, dan sosiologi-kurang mengandung kontroversi. Para sosiologlah yang tampil di depan, dengan membuat "sosiologi politik" maupun "sosiologi ekonomi" menjadi sub-sub bidang penting dan baku di dalam disiplin bersangkutan sejak awal dasawarsa 1950-an. Para ilmuwan ilmu politik menyusul di belakangnya. Mereka memperluas perhatian melampaui institusi-institusi pemerintahan yang formal. Mereka mendefinisikan kembali materi kajian mereka dengan memasukkan semua proses sosial yang mempunyai implikasi atau tujuan politik. Hasilnya, kajian tentang kelompok-kelompok penekan, gerakan protes, organisasi komunitas, dan sebagainya.
Universalisme disiplin atau pengelompokan disiplin ilmu lebih bersandar pada percampuran antara klaim-klaim intelektual dan praktik-praktik sosial tertentu yang berubah-ubah. Klaim-klaim dan praktik ini saling mendukung dan pada gilirannya, ditingkatkan oleh reproduksi institusional dari disiplin ilmu atau divisi yang bersangkutan.
Perubahan seringkali terjadi dalam bentuk adaptasi, di mana penyesuaian terus terjadi baik pelajaran-pelajaran universal yang diduga ditransmisikan dengan cara-cara khusus untuk mentransmisikannya. Secara historis, ini berarti sebuah disiplin telah dilembagakan, melalui klaim-klaim universalisme.
Lalu apa keuntungannya? Bukankah itu justru semakin menyuburkan absurditas tentang ilmu sosial seperti yang dialami Bejo? Ada ambivalensi satu teori dengan teori yang lain?
Memang benar jika pemahaman fatalistik cenderung dikedepankan. Walaupun universalisme keilmuan (terutama ilmu sosial) bisa melahirkan suatu penjelmaan terhadap "ideologi", hal tak akan terjadi jika "dikontrol" dengan "kritik" yang tak sekadar teori kritik tetapi lebih pada kritik yang tidak terfalsifikasi. Intinya, perlu semacam counter critics atas kritik yang lain, termasuk kritik terhadap universalisme.
Kembali lagi ke ranah persoalan universalisme ilmu-ilmu sosial. Bidang tersebut perlu mendapat perhatian karena berkaitan langsung dengan pengembangan ilmu sosial dalam menatap masa depan. Cabang ilmu sosial tertentu tak akan mampu berdiri tegak tanpa melirik disiplin keilmuan yang lain.
Dialog tentang universalisme keilmuan di ranah pendidikan kita saat ini, misalnya bisa dilihat dari disiplin ilmu komunikasi, sebuah disiplin ilmu "baru" yang melepaskan diri dari sosiologi, politik, ekonomi dan mencoba menyusun diri ke dalam format ilmiah baru.
Dalam praktiknya, komunikasi tidak hanya bermain di wilayah perdebatan epitemologis, tapi juga berekspansi ke wilayah orientasi akademis dan teknis. Dan kedua-duanya tetap bertalian dengan teori dan metodologi (Ashadi Siregar).
Dari segi teknis Ilmu Komunikasi tidak dapat dilepaskan dari penguasaan terhadap media, teknologi, dan informasi yang nota bene nilai legitimasi ilmiahnya serta merta tak bergantung pada sosiologi dan politik, bahkan juga kedekatannya dengan ilmu-ilmu alam (eksakta).
Selain pada disiplin ilmu sosial, sebenarnya universalisme harus merambah pada ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu alam mulai tampak lebih "lunak" dengan menundukkan alam sebagai sesuatu yang bersifat aktif dan dinamis. Alih-alih bukan lagi manusia dipahami sebagai sesuatu yang bersifat mekanis. Ilmuwan ilmu alam memandang bahwa dunia seharusnya dideskripsikan secara agak berbeda, juga terdapat hukum-hukum kausalitas. Timbullah kompleksitas dan simplifikasi yang dulu inheren dalam ilmunya. Misalnya studi tentang arsitektur lingkungan, bagaimana lingkungan mempengaruhi pola spasial (keruangan) bukan lagi hanya ruang-ruang mati yang menciptakan aktivitas. Pola pikir seperti ini bahkan semakin menjadi trend di kalangan pemikir Barat saat ini. Isu-isu lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi selalu diintegrasikan dalam berbagai bidang, walaupun dalam kenyataannya juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang tak kalah runyamnya, sebutlah indoktrinasi ideologi, westernisasi, dan seabrek dampak mendasar lainnya. Yang terjadi sebagai akibat efek domino ilmu pengetahuan.
Banyak Benturan
Universalisme identik dengan keterbukaan, lintas-batas dan multidisipliner. Pemaknaan dan penerapannya masih mengandung kontroversi. Bisa jadi universalisme ilmu sosial diartikan sebagai perpanjangan tangan aliran positivisme yang memandang ilmu bebas nilai atau netral. Padahal kenyataanya teori positivisme ambruk oleh aliran kritik yang gencar menyerangnya. Tapi, universalisme sama sekali bukanlah positivisme. Universalisme lebih masuk akal jika diartikan "satu untuk semua, dan semua untuk satu".
Persoalan berikutnya adalah penerapannya yang sangat sulit untuk konteks Indonesia yang memang sistem pendidikannya sudah carut marut. Spesialisasi, kompetensi, yang menjadi alat industri tak mampu lagi menyuarakan profesionalisme, bahkan diartikan sebagai pengebirian keterbukaan lintas ilmu.
Lalu apa yang harus kita kembangkan? Persoalan mendasar sebenarnya berawal dari keseimbangan antara teori dengan paraktik. Ilmu eksak manapun akan kehilangan ruh ketika tidak mampu membaca gejala-gejala alam untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dengan ilmu-ilmu sosial. Polemik yang mendalam terhadap perdebatan absah-tidaknya, kuat lemahnya teori-teori ilmu sosial justru menjerumuskan siapa saja yang mempelajarinya ke ranah epistemologi yang buta.
Padahal tugas ilmu sosial adalah menjawab berbagai persoalan di masa kini dan mendatang dengan teori-teorinya itu, menjadi tindakan atau gerakan yang bernilai guna.
Dengan kepeduliannya pada nilai "kemanusiaan" ilmu sosial seharusnya mampu membebaskan manusia dari keterjebakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperbudaknya. Sebagai contoh, industrialisasi yang tujuan utamanya adalah mengangkat harkat manusia sebagai sarana memenuhi kebutuhannya, justru mengendalikan manusia supaya menopang proses industrialisasi (Nugroho, 1993: 12).
Keterbukaan, Kunci Ilmu Sosial
Jika praktik universalisme adalah bentuk riil kontribusi ilmu sosial sebagi subjek keilmuan, maka keterbukaan adalah syarat vitalnya. Tanpa keterbukaan, ilmu sosial tidak mempunyai kekuatan formal-ilmiah. Ekseklusifisme, adalah penyakit yang akan mematikan ilmu-ilmu sosial. Zaman sekarang bukan lagi didominasi oleh teori, tetapi aplikasi teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Barangkali terlalu naif bila ilmu sosial dituntut untuk menjawab segala persoalan yang timbul dalam masyarakat. Dalam konteks normatif seharusnya semua ilmu memang demikian, tetapi harap maklum, berbicara tentang kondisi riil pasar memang tidak semudah seperti apa yang dilihat oleh mata awam. Ada banyak polemik di dalamnya, menyangkut berbagai tangan kepentingan yang bermain dengan agenda masing-masing. Intinya, jika ilmu sosial terpaksa menghendaki perombakan paradigma dari teoritis menjadi teoritis-aplikatif dengan pendekatan universalitas, maka banyak komponen yang harus dibenahi secara total. Mulai dari manusia-manusia pembelajarnya yang dituntut bertindak profesional dengan ilmunya hingga perombakan sistem pendidikan kita dari pelayan pasar menjadi pasar yang melayani pendidikan kita.

* Tulisan ini pernah disertakan dalam Lomba Penulisan Esai Dies Natalis Fisipol UGM ke-47 tahun 2002 dengan tema Ancaman Kemacetan Ilmu-ilmu Sosial dan Tantangan Perubahan ke Masa Depan.
** Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi UGM yang akan diwisuda pada bulan Agustus 2004 mendatang, mantan Editor Media Komunitas UGM Bulaksumur Pos ini adalah penyandang gelar Mahasiswa Berprestasi UGM 2003.
Pengertian
Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.
Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.
Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :
1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.
Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Pitirim Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber (semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.
Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.

Definisi Sosiologi
Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.
Pitirim Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum

Objek dan tujuan sosiologi
Sebagai bagian dari ilmu sosial, objek sosiologi adalah masyarakat dilihat dari sudut hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Tujuan sosiologi adalah meningkatkan daya atau kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Caranya adalah dengan mengembangkan pengetahuan yang objektif mengenai gejala-gejala kemasyarakatan yang dapat dimanfaatkan secara efektif untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Contoh, jika seseorang ingin berhubngan dengan masyarakat lain sudah selayaknya ia mempelajari dahuli sifat dan karakter masyarakat tersebut.
Pokok bahasan sosiologi
Fakta sosial
Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).
Tindakan sosial
Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
Khayalan sosiologis
Khayalan sosiologis diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya.
Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah troubles dan issues. Troubles adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Issues merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan issue, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
Realitas sosial
Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.
Perkembangan sosiologi dari abad ke abad
Perkembangan pada abad pencerahan
Banyak ilmuwan-ilmuwan besar pada zaman dahulu, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran.
Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi dengan masyarakatnya. Pertanyaan dan pertanggungjawaban ilmiah tentang perubahan masyarakat belum terpikirkan pada masa ini.
Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.
Pengaruh perubahan yang terjadi di abad pencerahan
Perubahan-perubahan besar di abad pencerahan, terus berkembang secara revolusioner sapanjang abad ke-18 M. Dengan cepat struktur masyarakat lama berganti dengan struktur yang lebih baru. Hal ini terlihat dengan jelas terutama dalam revolusi Amerika, revolusi industri, dan revolusi Perancis. Gejolak-gejolak yang diakibatkan oleh ketiga revolusi ini terasa pengaruhnya di seluruh dunia. Para ilmuwan tergugah, mereka mulai menyadari pentingnya menganalisis perubahan dalam masyarakat.
Gejolak abad revolusi
Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniawan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah. Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebasGejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini.
Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :
Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya.
Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.
Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.
Kelahiran sosiologi modern
Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul pertama kalinya).
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
PROGRAM S3 SOSIOLOGI
________________________________________

LATAR BELAKANG
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada memiliki Program Pendidikan Sosiologi untuk jenjang S1 dan S2. Program ini telah banyak meluluskan Sarjana dan Master yang saat ini bekerja tersebar di seluruh Indonesia, baik sebagai pendidik, peneliti, dan praktisi. Dalam Rangka mendorong kontinyuitas pendidikan dari jenjang S2 ke S3 dan sekaligus meningkatkan kualitas lulusan Doktor Sosiologi, maka program pendidikan tersebut perlu distrukturkan. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mengurangi kelemahan program pendidikan Doktor yang selama ini tidak terstruktur (by research).
Program Pendidikan Doktor (S3) Sosiologi bertujuan menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan akademik dalam mengembangkan bidang disiplin Sosiologi pada khususnya dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dengan derajat akademik tertinggi. Pendidikan ini diselenggarakan dengan cara terstruktur (kombinasi by course work dan by research) agar peserta memperoleh wawasan seluas-luasnya, memiliki kemampuan mandiri dalam penelitian dan sikap kedisiplinan yang tinggi sebagai ilmuwan sosial. Oleh karena itu, program diarahkan untuk menghasilkan ilmuwan sosial yang memiliki kemampuan intelektual maupun keahlian praktis yang handal dalam menganalisis, menginterpretasi, dan memecahkan problem sosial dalam masyarakat.
Program Pendidikan Doktor (S3) Sosiologi yang terstruktur diharapkan akan dapat memberikan bekal secara teoritis dan kemampuan praktis yang memadai bagi para kandidat Doktor Sosiologi baik dalam melakukan penelitian, maupun dalam pengambilan kebijakan.

TUJUAN
1. Menghasilkan Doktor Sosiologi yang memiliki keahlian dalam bidang penelitian dan pengembangan bidang studi Sosiologi.
2. Menghasilkan Doktor Sosiologi yang berwawasan luas dan kritis sehingga bermanfaat untuk pengembangan masyarakat.
3. Menghasilkan Doktor Sosiologi yang memiliki bekal untuk dapat bekerja sebagai peneliti, praktisi, dan aktivitas sosial.

AKTIVITAS PROGRAM

SISTEM PEMBELAJARAN
Proses Pembelajaran diselenggarakan melalui metode seminar yang menuntut partisipasi aktif mahasiswa. Setiap mata kuliah diampu oleh dua orang atau lebih dosen bergelar S3. Jumlah tatap muka/seminar untuk setiap mata kuliah adalah maksimal 14 kali. Dosen pengampu menyusun topik-topik seminar dan bersama mahasiswa membuat jadwal pertemuan dan pembagian tugas bagi peserta. Dosen pengampu lebih berperan sebagai fasilitator daripada sebagai instruktur. Sistem penelitian didasarkan pada partisipasi dalam perkuliahan (dalam bentuk seminar) dan kualitas paper.

Mata kuliah (seminar) yang ditawarkan didesain untuk membantu mahasiswa dalam menulis disertasi. Daftar Mata Kuliah dan Silabus dievaluasi dan diperbarui pada setiap awal perkuliahan

Daftar Mata Kuliah (Seminar)
No. Mata Kulai (Seminar) SKS Semester
1. Perkembangan Teori-teori Sosial 3 I
2. Metodologi dan Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial 3 I
3. Agama, Ideologi, dan Ilmu Pengetahuan 3 I
4. Critical Review atas Teori dan Praktek Pembangunan 3 II
5. Masyarakat Sipil, Kemajemukan, dan Demokrasi 3 II
6. Seminar Penyusunan Proposal Disertasi 3 II

WAKTU STUDI
Program Doktoral Sosiologi didesain untuk diselesaikan selama 6 semester atau 3 tahun.
Semester pertama dan kedua (tahun pertama) dialokasikan untuk perkuliahan melalui seminar. Pada tahun kedua dan ketiga, alokasi waktu studi dipergunakan untuk ujian proposal, ujian komprehensif, menulis disertasi, dan ujian tertutup dan terbuka (atau publikasi jurnal). Masa perpanjangan studi adalah 2 tahun, sehingga total masa studi menjadi 5 tahun.

SISTEM EVALUASI
Program Doktoral Sosiologi melakukan evaluasi untuk mendorong mahasiswa menyelesaikan studi tepat waktu.
Evaluasi tersebut meliputi:
1. Evaluasi tahap pertama dilakukan pada akhir semester II tahun pertama, setelah mahasiswa mengikuti perkuliahan untuk menilai kinerja dan kemampuan intelektual mahasiswa.
2. Evaluasi tahap kedua, dalam bentuk pra ujian komprehensif, dilakukan pada akhir semester II tahun pertama untuk mempersiapkan mahasiswa mengahadapi ujian komprehensif.
3. Evaluasi ketiga, dalam bentuk seminar ” progress report” yang dilakukan pada akhir semester II tahun kedua dan semester I tahun ketiga.
4. Evaluasi keempat, dalam bentuk penilaian kelayakan naskah disertasi untuk diuji secara tertutup. Evaluasi ini dilakukan pada akhir semester I tahun ketiga. Bagi naskah disertasi yang dinilai layak ujian, ujian tertutup dijadwalkan pada semester II tahun ketiga.

SISTEM DAN BENTUK UJIAN
1. Ujian komprehensif, dilakukan pada semester I tahun kedua. Pada tahap ini, mahasiswa yang tidak lulus ujian komprehensif tidak bisa melanjutkan program doktoral. Mahasiswa yang lulus ujian komprehensif diminta untuk segera melakukan kegiatan riset dan menulis disertasi.
2. Ujian tertutup, dijadwalkan untuk dilakukan pada semester II tahun ketiga oleh sebuah tim penguji.
3. Ujian terbuka atau publikasi jurnal. Bagi yang lulus ujian tertutup memiliki dua pilihan untuk merampungkan program doktoralnya, yakni melalui ujian terbuka atau melalui publikasi naskah disertasi ke jurnal yang bermutu.
Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Apabila Sosiologi difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik generasasi paling luas, karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku sosial yang berkelompok, maka Sosiologi dapat seakan-akan memanyungi ilmu-ilmu sosial lain.
Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan, pemanfaatan/eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme). Karena itu Ekonomi modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith, mengabstraksikan dimensi keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula yang mendekatkan sifat ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik.
Bersebrangan dengan itu Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok-kelompok ethnis, terutama yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau pra-aksara. Ilmu Antroophologi yang sudah mulai menjembatani dua ranah tersebut dengan mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical Antrhopology) maupun perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology Cultural/Social Antrhopology).
Ilmu politik memusatkan perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan pembagian dan pertukaran kekuasaan (=power). Sejarah menjadi sangat relevant dalam menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan (trends) dan membuka peluang, baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan, maupun membuka peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan. Beberapa cabang kelompok ilmu lain yang sering di acu sebagai kelompok Humaniora seperti Hukum, Pendidikan dan komunikasi pun menunjang dan memberi pengetahuan sangat berharga untuk sosiologi.
Dalam zaman penjajahan Belanda masyarkat Indonesia yang belum dipersepsikan sebagai satu kesatuan, lebih dipelajari dari sudut pandang Ethnologi dan Antropologi budaya. Berkaitan dengan itu juga Hukum Adat sangat diminati baik oleh sarjana Belanda maupun Indonesia, dan banyak diantara mereka bergelar Sarjana Hukum.
Mungkin minat tersebut juga merupakan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang ingin menghayati sifat dan tata kehidupan terutama suku-suku bangsa yang berperan di Nusantara. Nama-nama besar seperti Krom, Veth, dan Snouch Hurgronje boleh dikatakan perintis ilmu-ilmu sosial ini di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Sejak tahun 1920-an timbullah minat sarjana-sarjana Belanda untuk memahami masyarakat lebih luas, karena gejala-gejala sosial yang disoroti tidak terbatas pada lingkungan suku bangsa atau group ethnis. Di antaranya adalah B. Schrieke (1890-1945) yang menulis karangan-karangan ethnografis dan sejarah, sehingga gabungan kedua konteks itu bercorak Sosiologi. Salah satu variabel yang jelas mencerminkan ilmu Sosiologi yang menjadi garapan Schrieke adalah Akulturasi. Misalnya Shcrieke mengulas “Pergeseran kekuasaan Politik dan Ekonomi di Nusantara antara abad ke 16 sampai abad ke-17”. Satu sebab mengapa Schrieke kurang dikenal dan tulisannya kurang dibaca ialah karena beliau menulis dalam bahasa Belanda. Baru setelah tahun 1955 beredarlah kumpulan karangan Schrieke yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (2 jilid. 1955).
Tokoh Belanda lain yang melalui karangan sejarah melukiskan mayarakat Indonesia adalah J.C. van Leur (1934-1942). Jelas konteks makronya tercermin dari judul-judul karangan seperti a.l. Indonesian Trade and Society. Seorang Sarjana Hukum lain yang dikenal dan menulis tentang Indonesia masa kini (kontemporer), bahkan juga meletakkan Indonesia dalam konteks lebih luas lagi adalah Prof. W.F. Wertheim (1899-2001) yang pernah mengajar di Rechts Hogeschool di Jakarta (1936) dan menjadi guru besar tamu di Fakultas Pertanian, UI (Bogor) 1957. Karena Wertheim mengalami pendudukan Jepang di Indonesia dan sempat mengamati kebangkitan Nasional Indonesia pula, beliau, dapat merekam perubahan sosial dalam bukunya “Indonesia Society in Transition” dari daerah jajahah menjadi Republik yang berdaulat.

II. PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI
Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.

III. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding (1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2] Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper Torchbooks.
[3] C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.

LAIN PADANG, LAIN BELALANG

Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya

Thomas Hylland Eriksen

Penterjemah
Mohamed Yusoff Ismail
Jabatan Antropologi dan Sosiologi
Universiti Kebangsaan Malaysia
(Jun 2001)

1. Antropologi Sosial:
Persamaan dan kelainan budaya
Antropologi ialah falsafah dengan orangnya sekali
-- Tim Ingold

Buku ini mengajak kita mengembara. Pengembaraan yang akan dilakukan itu, pada hemat pengarang, sangat bermanfaat sebagai satu pengalaman hidup pada diri seseorang. Tentu sekali perjalanannya sangat jauh, dan luas pula jelajahan teluk rantaunya. Pembaca akan dibawa dari hutan lembab Amazon hingga ke gurun beku Artik; dari pencakar langit di Manhattan ke rumah tanah liat orang Sahel; dari perkampungan asli di pergunungan New Guinea ke kawasan bandar di benua Afrika moden.
Perjalanan itu juga sangat jauh dalam erti kata yang lain, kerana tumpuan utama antropologi sosial dan antropologi budaya ialah masyarakat secara menyeluruh. Justeru itu antropologi cuba menghuraikan hubungkait antara pelbagai aspek kemasyarakatan dalam kewujudan kita sebagai insan sosial. Misalnya, apabila kita mengkaji sistem ekonomi tradisional orang Tiv di Nigeria Tengah, kita juga, pada masa yang sama, cuba mengetahui bagaimana sistem ekonomi mereka itu berkait pula dengan perkara-perkara lain dalam kehidupan sosial mereka. Tanpa melihat kaitan tersebut dengan teliti, sistem ekonomi itu agak sukar difahami oleh antropologis. Misalnya, kita tahu yang secara tradisionalnya orang Tiv tidak menganggap tanah sebagai barang untuk dijual beli, dan kelazimannya mereka tidak menggunakan mata wang sebagai cara untuk melunaskan bayaran. Justeru itu kita mesti memahami kenyataan ini terlebih dahulu, kalau tidak agak sukar untuk kita memahami dengan jelas bagaimana orang Tiv bertindak apabila mereka berhadapan dengan perubahan ekonomi yang berlaku sewaktu masyarakat mereka berada di bawah kuasa penjajah.
Antropologi cuba menghuraikan bagaimana terdapat perbezaan dari segi sosial dan budaya di muka bumi, tetapi sebahagian penting daripada penelitian antropologi ialah memahami persamaan antara sistem sosial yang berbagai-bagai itu dalam konteks hubungan kemanusiaannya. Seperti yang pernah disebut oleh salah seorang daripada antropologis yang terkemuka dalam abad ke-20, Claude Lévi-Strauss, "Antropologi itu menjadikan manusia sebagai bahan penelitiannya, tetapi berbeza dengan sains kemanusiaan yang lain, antropologi cuba menangani bahan penelitiannya melalui kepelbagaiannya yang sangat luas" (1983, h. 49).
Seorang lagi antropologis yang terkemuka, Clifford Geertz, memberikan pandangan yang sama dalam sebuah karya yang membincangkan perbezaan antara manusia dan haiwan:
Kalau kita ingin mengetahui apa yang membentuk manusia, kita boleh melihatnya daripada manusia itu sendiri: tetapi apa yang menjadikan manusia itu manusia, di antara yang terunggul, ialah kepelbagaiannya. Hanya dengan memahami kepelbagaian ini — baik dari segi jenisnya, bentuknya, asasnya, dan kesannya — barulah boleh kita membentuk satu konsep berkenaan sifat manusia, iatu konsep yang mempunyai isi dan kebenaran, yang bukan dibayangi oleh perangkaan dan gambaran mimpi yang agak kabur. (Geertz 1973, h. 529)
Walaupun di kalangan antropologis terdapat minat yang berbagai-bagai yang seringkali pula ditumpukan kepada sesuatu penelitian yang khusus, tetapi semua antropologis mempunyai kecenderungan yang sama, iaitu keinginan untuk memahami hubungan dalam masyarakat dan juga hubungan antara masyarakat. Perkara ini akan menjadi lebih jelas lagi sebaik sahaja kita memulakan perjalanan kita dengan membincangkan intipati dan teori dalam antropologi sosial dan antropologi budaya.
Sebenarnya terdapat banyak cara untuk menyelidiki hubungan tersebut. Ada pengkaji yang berminat untuk memahami kenapa dan bagaimana orang Azande di Afrika Tengah percaya dengan tukang sihir, mengapa di Brazil tahap perbezaan sosialnya lebih luas daripada yang terdapat di Sweden, bagaimana penduduk di Mauritius menghindari daripada berlakunya rusuhan etnik, atau apa sebenarnya yang telah terjadi kepada gaya hidup cara lama orang Eskimo Inuit semenjak beberapa tahun kebelakangan. Pada umumnya telahpun ada seorang dua antropologis yang pernah melakukan penyelidikan serta telah menulis berkenaan masalah tersebut. Ada pula penyelidik yang berminat meneliti agama, cara membesarkan anak, kuasa politik, kehidupan ekonomi, atau hubungan antara lelaki dengan wanita. Untuk itu sudahpun terdapat sejumlah penulisan profesional oleh antropologis yang dapat memberikan gambaran dan maklumat yang lebih terperinci.
Disiplin antropologi juga berminat untuk menyusuri hubungkait antara pelbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Biasanya antropologis akan memulakan penelitian terhadap perkara tersebut dengan melakukan penyelidikan yang terperinci terhadap kehidupan sosial dalam sesuatu masyarakat yang dipilih atau satu persekitaran sosial yang sempadannya telah dikenalpasti dengan jelas. Justeru itu bolehlah dikatakan bahawa antropologi sentiasa bertanyakan persoalan yang besar dan luas, tetapi pada waktu yang sama mengambil iktibar daripada tempat yang kecil dan terpencil.
Sebelum ini kita biasanya mengaitkan sifat ulung antropologi dengan masyarakat kecil bukan-industri, iaitu berbeza sekali daripada bidang-bidang lain dalam pengajian kemanusiaan. Tetapi gambaran seperti ini sudah tidak begitu tepat lagi kerana dunia sudah banyak berubah, dan begitulah juga halnya dengan disiplin antropologi. Bahkan hampir semua sistem sosial boleh dijadikan bahan kajian antropologi, dan penyelidikan antropologi masa kini membuktikan betapa luas bidang cakupannya, bukan sahaja dari segi empiris tetapi juga dari segi tema dan topiknya.
Sebelum kita melihat dengan lebih dekat sifat-sifat unggul antropologi, ada baiknya jika kita tinjau dahulu sejarahnya. Seperti juga halnya dengan bidang sains sosial yang lain, antropologi moden adalah satu disiplin ilmiah yang agak baru. Sifatnya seperti yang terdapat dewasa ini sebenarnya terbentuk dalam abad ke-20, tetapi bibitnya sudah lama tersemai dalam bidang ilmu lain yang berkaitan seperti historiografi, geografi, catatan pengembara, falsafah dan undang-undang zaman silam.
Teori Berkenaan Masyarakat Primitif
Memang terdapat banyak cara untuk menulis sejarah perkembangan antropologi. Jika kita perhatikan dengan lebih mendalam, kita akan mendapati bahawa perkara pokok perbincangan antropologi telah lama berakar umbi dalam penulisan Herodotos, ahli sejarah berbangsa Yunani (sekitar 484-420 Sebelum Masehi), atau dalam karya Strabo, seorang ahli geografi (sekitar 64-32 Sebelum Masehi). Kedua-duanya merupakan perintis dalam pemerihalan bercorak etnografis; mereka menulis dengan begitu jelas tentang masyarakat di tempat lain. Pemerihalan mereka tentang adat resam, bahasa, dan ‘keganjilan’ masyarakat asing dilakukan dengan seberapa jelas yang mungkin, dan biasanya tanpa melibatkan sebarang penilaian moral. Herodotos mungkin bersetuju dengan pandangan semasa di kalangan antropologis bahawa setiap masyarakat itu mestilah difahami dan dilihat dari kaca mata masyarakat itu sendiri. Walaupun Herodotos dan Strabo bergantung kepada sumber-sumber lain dalam penulisan mereka, tetapi jelas sekali bahawa mereka menggunakan sumber tersebut dengan penuh berhati-hati, kerana pada pendapat mereka sesuatu kenyataan yang dibuat oleh seseorang itu hanya dapat disahkan kebenarannya jika kita sendiri yang melakukan pemerhatiannya. Dalam hal ini mereka bolehlah dianggap sebagai ahli sains sosial ‘sebelum zaman persuratan’ (avant la lettre).
Sejarah perkembangan antropologi moden boleh juga dikatakan bermula dengan ahli falsafah abad ke-18 seperti David Hume dan Immanuel Kant. Hume, salah seorang daripada ahli empirisis British (sama seperti Locke dan Berkeley), menghujahkan bahawa pengalaman sendiri adalah satu-satunya sumber kepada pengetahuan sebenar yang boleh dipercayai. Beliau kemudiannya mempengaruhi dengan kuat para ahli sains sosial empiris, yang terdiri daripada beberapa orang pengasas yang terus terang menolak pegangan bahawa tanggapan dan tekaan boleh dijadikan sumber pengetahuan yang sah. Bagi golongan ini mereka sanggup keluar mengembara ke alam sosial serta menggunakan mata dan telinga untuk mengalami secara peribadi keadaan sebenar (perkataan ‘empiris’ sebenarnya bermakna ‘berasaskan pengalaman’). Kant pula telah cuba menolak beberapa pendapat Hume, dan beliau menghujahkan bahawa manusia mempunyai daya pemikiran atau kebolehan mental yang sama, yang dikatakan terletak pada cara mereka berfikir. Dalam perkataan lain, Kant berpendapat bahawa manusia itu dilahirkan dengan satu ‘formula’ tunggal untuk berfikir; justeru itu manusia di segenap pelusuk dunia berfikir dengan cara yang hampir sama. Usulan ini, yang berhubung dengan tret pemikiran yang sejagat (universal mental traits), telah menjadi satu fokus perbincangan yang penting dalam perkembangan antropologi moden.
Kebanyakan penulisan berkenaan sejarah antropologi bukan bermula dengan Herodotos atau Kant, tetapi dengan cendekiawan pertengahan abad ke-19. Asas kepada antropologi moden dapat dikaitkan dengan buku Ancient Law (1861) oleh Henry Maine dan beberapa buah buku Lewis Henry Morgan, termasuk Ancient Society (1877). Kedua-dua orang pengarang telah membina beberapa teori tentang ‘masyarakat primitif’, dan pandangan mereka terus berpengaruh sehingga jauh ke dalam abad ke-20. Maine, yang pernah menjalankan penyelidikan di India, telah mengemukakan perbezaan asas antara masyarakat yang berasaskan hubungan status dengan yang berasaskan hubungan kontrak, iaitu dua konsep kembar yang kemudiannya ternyata telah banyak mempengaruhi kita dalam membezakan masyarakat ‘tradisional’ daripada masyarakat ‘moden’. Dalam masyarakat yang berteraskan hubungan status atau yang tradisional sifatnya, Maine menegaskan bahawa faktor kekerabatan sangat penting dalam menentu-kan kedudukan seseorang; manakala dalam masyarakat yang berteraskan hubungan kontrak, kedudukan sosial seseorang itu ditentukan oleh pencapaian peribadinya berdasarkan kebolehan dan kepandaiannya.
Sumbangan Morgan yang sangat penting terhadap perkembangan awal antropologi ialah teori evolusi sosialnya. Beliau mengemukakan tiga tahap utama dalam evolusi atau perkembangan sesuatu masyarakat: savagery, barbarism, dan tamadun. Pada tahap savagery (liar buas), manusia hidup dengan memburu serta meramu; pada tahap barbarism (liar ganas), pertanian dan menternak haiwan menjadi cara hidup mereka; sementara masyarakat yang sudah mencapai tahap tamadun mempunyai sistem persuratan dan mampu membentuk sistem pemerintahan berkerajaan atau state.
Tahap perkembangan masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Morgan adalah salah satu daripada bentuk teori evolusi dalam abad ke-19. Antara yang sangat terkenal, dan yang pastinya sangat kompleks, ialah teori perkembangan sosial perjuangan kelas yang dipelopori oleh Karl Marx (lihat Bab 9). Walaupun Marx adalah seorang pemikir yang jauh lebih unggul daripada Morgan, tetapi Morganlah yang lebih penting dari segi sumbangan terhadap perkembangan awal antropologi kerana menumpukan minatnya terhadap masyarakat bukan-industri, dan juga kerana cara beliau menggunakan dengan teliti sumber-sumber etnografis.

Evolusionisme dan Difusionisme
Satu ciri antropologi pada abad ke-19 ialah pegangan kepada evolusi sosial — iaitu pendapat bahawa masyarakat berkembang mengikut arah yang tetap dan sehala — serta anggapan bahawa masyarakat Eropah adalah hasil yang terbentuk di penghujung perjalanan tersebut, yang semestinya mengambil masa yang sangat lama, bermula dengan tahap liar buas (savagery). Pandangan seperti ini menjadi satu kelaziman dalam zaman Victoria selain daripada kepercayaan bahawa kemajuan dan pencapaian teknologi yang mereka miliki itu adalah kemuncak kepada keunggulan mereka. Pada zaman yang samalah dasar penjajahan Eropah mula berkembang ke tempat lain. Bagi orang Eropah penjajahan perlu dilakukan kerana mereka mempunyai tanggung jawab untuk membela nasib masyarakat di luar Eropah selari dengan apa yang disebut oleh Rudyard Kipling sebagai ‘beban orang kulit putih’ (white man’s burden) -- kononnya orang Eropahlah yang bertanggungjawab dalam ‘mentamadunkan orang liar buas’ (to civilise the savages). Teori evolusi Charles Darwin, yang pertama kali diperkenalkan dalam bukunya On the Origin of Species by Means of Natural Selection (1859), juga telah mempengaruhi kuat pemikiran intelektual dalam separuh kedua abad ke-19. Penyokong kuat Darwin, Herbert Spencer, telah mengemukakan aliran pemikiran Dawinisme Sosial, yang berpegang kepada pendapat bahawa masyarakat berkembang mengikut cara yang sama seperti yang dilalui oleh spesies haiwan dari segi adaptasi persekitaran, iaitu melalui persaingan sesama sendiri sehingga tinggal yang terunggul dan terkuat sahaja (survival of the fittest).
Satu lagi aliran pemikiran antropologi dalam abad ke-19 ialah difusionisme yang berpusat di Jerman, iaitu aliran yang berkaitan dengan penyebaran tret budaya mengikut kawasan geografis. Jika sekiranya golongan evolusionis berpendapat bahawa setiap masyarakat mempunyai keupayaan dalaman untuk mengalami perubahan, golongan difusionis pula berusaha untuk membuktikan bahawa kewujudan sesuatu tret budaya itu biasanya dibawa masuk dari luar. Walaupun sering terdapat percanggahan pendapat antara dua golongan tersebut, pada prinsipnya difusionisme tidak semestinya berlawanan sama sekali dengan evolusionisme; kedua-dua pendekatan pernah dan mungkin boleh diterima tanpa berat sebelah kepada mana-mana pihak. Dalam antropologi, minat terhadap difusionisme mula menurun sekitar Perang Dunia Pertama, kerana pada masa itu kebanyakan penyelidik telah menukar kaedah penyelidikan masing-masing dengan menumpu kepada satu-satu masyarakat secara mendalam tanpa menghiraukan sejarah perkembangan masyarakat berkenaan. Walaubagaimanapun, satu aliran teori yang mirip kepada difusionisme mula kembali dalam tahun 1990an, iaitu di bawah nama ‘globalisasi’ atau pensejagatan (lihat Bab 18). Pendekatan globalisasi cuba memahami dan menghuraikan bagaimana sistem perhubungan moden, penghijrahan penduduk, sistem kapitalis dunia dan pelbagai fenomena lain yang bersifat ‘global’ atau ‘sejagat’ mempengaruhi cara hidup penduduk tempatan di segenap pelusuk dunia.
Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul cendekiawan British seperti Edward Tylor, James Frazer dan W. H. R. Rivers. Melalui merekalah kita diperkenalkan dengan antropologi sosial moden. Tylor telah menulis tentang pelbagai tajuk, tetapi yang terpenting ialah takrifan ‘budaya’ yang digubal oleh beliau dalam tahun 1871. Oleh kerana takrifannya itulah Tylor terus diingati dalam sejarah perkembangan antropologi. Takrifan yang terkenal itu berbunyi: "Budaya atau tamadun, dalam erti kata etnografis yang luas, ialah gagasan keseluruhan yang merangkumi pengetahuan, kepercayaan, seni, tata susila, adat, dan apa sahaja kebolehan dan tingkah laku yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat’ (Tylor 1968 [1871]). Sehingga hari ini takrifan yang mula-mula sekali dibuat oleh Tylor terhadap ‘budaya’ masih lagi dianggap berguna oleh ramai antropologis.
Anak murid Tylor, James Frazer, telah menulis The Golden Bough (1890) dalam 12 jilid, iaitu sebuah karya yang sangat tebal walaupun dalam bentuk yang sudah diringkaskan (Frazer 1974 [1922]). Kandungannya terdiri daripada perbandingan yang sangat luas tentang agama dan ritus, serta pelbagai bentuk maklumat etnografis yang terperinci yang sangat bernilai dari segenap pelusuk dunia. Tylor dan Frazer adalah evolusionis, dan usaha utama Frazer dalam teorinya bertujuan membuktikan bagaimana pemikiran manusia itu berkembang, mula-mula dari tahap magis, kemudian ke tahap keagamaan, dan seterusnya ke tahap saintifik.
Tylor dan Frazer tidak pernah melakukan sebarang penyelidikan lapangan secara mendalam, walaupun Tylor sendiri pernah tinggal buat beberapa tahun di Mexico dan menulis sebuah buku di sana. Satu cerita yang diketahui ramai mengesahkan bagaimana William James, seorang ahli falsafah yang disegani, pernah bertanya kepada Frazer, sewaktu sama-sama menghadiri sebuah majlis makan malam, sama ada Frazer sendiri pernah bergaul dengan ahli masyarakat liar yang telah begitu banyak diperihalkan olehnya. Jawapan Frazer dikatakan sangat menakjubkan, kerana dengan nada yang terkejut beliau menjawab "Minta dijauhi tuhan hendaknya!’ (Evans-Pritchard 1962).
Keadaannya agak berlainan pula dengan W. H. R. Rivers dan rakan-rakannya, termasuk A. R. Haddon dan Charles Seligman. Mereka tidak bergantung sangat kepada laporan yang ditulis oleh mubaligh dan pengembara, yang kadang kalanya tidak begitu tepat. Sebaliknya mereka sendiri telah keluar ke lapangan untuk melakukan penyelidikan. Rivers dan rakan-rakannya telah mengambil bahagian dalam sebuah lawatan penyelidikan ke Selat Torres (terletak di antara New Guinea dan Australia) dalam tahun 1898. Lawatan itulah yang dianggap oleh ramai sarjana sebagai pembuka tirai kepada era baru kerja lapangan dalam amalan antropologi moden.
Kemunculan Antropologi Moden
Franz Boas dan Bronislaw Malinowski seringkali dianggap sebagai antropologis moden yang pertama. Boas berketurunan Jerman, tetapi telah berhijrah ke Amerika Syarikat dalam tahun 1880an untuk mengkaji suku bangsa peribumi Amerika. Beliau sendiri telah melakukan penyelidikan yang terperinci di kalangan orang Inuit dan beberapa kaum lain, dan beliaulah satu-satunya orang yang telah menubuhkan tradisi antropologi budaya di Amerika. Beberapa orang antropologis yang terkenal seperti Alfred Kroeber, Ruth Benedict dan Margaret Mead berguru dengan Boas. Pengaruh beliau berkembang dengan mendalam dalam banyak bidang penyelidikan, tetapi sumbangannya yang terulung ialah dalam doktrin relativisme budaya (cultural relativism), iaitu pendapat bahawa sesuatu budaya itu mestilah difahami mengikut logik budaya masyarakat berkenaan. Mengikut pandangan tersebut agak mengelirukan dari segi analisis jika setiap budaya itu disusun mengikut tinggi rendah di atas anak tangga evolusi. Relativisme budaya masih lagi berguna sebagai alat dalam metodologi penyelidikan hingga hari ini; perhatian mendalam tentang pendekatan ini akan diberikan kemudian dalam buku ini.
Malinowski dilahirkan di Poland, tetapi beliau telah berhijrah ke Britain dalam tahun 1910. Sumbangan beliau yang sangat penting ialah penulisannya yang sangat terperinci lagi mendalam tentang kehidupan sosial di Kepulauan Trobriand yang terletak tidak jauh dari New Guinea. Kerja lapangan beliau di sana berterusan sehingga lebih dari dua tahun, iaitu dari tahun 1915 hingga 1918. Kerja lapangan seperti yang dilakukan oleh Malinowski, yang melibatkan hubungan rapat dan berterusan dengan penduduk tempatan, telah menjadi satu-satunya contoh penyelidikan yang terus menerus dikagumi dan ditauladani oleh generasi antropologis yang menyusul kemudian. Malinowski telah menekankan peri pentingnya dikaji hubungkait antara pelbagai aspek sosial dalam masyarakat, dan seterusnya berpendapat bahawa kerja lapangan yang memakan masa yang lama adalah sesuatu yang sangat penting. Satu perkara lagi yang sangat mustahak mengikut pengalaman Malinowski ialah kemahiran bertutur dalam bahasa tempatan. Monograf yang ditulis oleh Malinowski, Argonauts of the Western Pacific (1922) telah menjadi sebuah buku klasik dengan serta merta kerana pemerihalan etnografisnya yang sangat menyeluruh dan sistematis, serta kekuatannya dalam memberikan keyakinan kepada pembaca akan peri pentingnya mengkaji sesuatu fenomena sosial atau budaya itu secara mendalam dan menyeluruh.
Salah seorang daripada rakan sebaya Malinowski, yang juga tidak kurang hebatnya dari segi sumbangan kepada perkembangan antropologi, ialah A. R. Radcliffe-Brown. Beliau banyak dipengaruhi oleh ahli sosiologi Perancis yang terkenal, Émile Durkheim, melalui penulisannya berkenaan dengan kesepaduan sosial. Durkheim juga telah banyak menulis tentang pembahagian kerja (division of labour) dalam masyarakat ‘primitif’, dan juga berkenaan dengan agama dan totemisme (lihat Bab 13 dan 14). Bagi beliau masyarakat boleh dilihat sebagai satu gagasan organik yang menyeluruh yang terdiri daripada beberapa bahagian. Bahagian-bahagian ini, yang boleh disamakan dengan individu atau institusi sosial, memainkan peranan tertentu dalam memenuhi tuntutan dari segi fungsi sosialnya. Dengan perkataan lain bahagian inilah yang memainkan peranan penting dalam menyumbang kepada kestabilan masyarakat. Radcliffe-Brown telah menggunakan teori sosial Durkheim untuk menganalisis bahan etnografis yang dikumpulnya sendiri dan juga bahan etnografis beberapa penyelidik lain yang mengkaji pelbagai masyarakat ‘primitif’. Beliau memberi tekanan bahawa sesuatu masyarakat hendaklah dikaji dalam keadaan semula jadi dan persekitaran sebenar. Pendirian ini adalah lebih baik daripada pendekatan yang menggunakan kaedah persejarahan tekaan (conjectural history) seperti yang cenderung dilakukan oleh antropologis daripada generasi sebelumnya. Bahkan, kedua-dua orang antropologis, iaitu Malinowski dan Radcliffe-Brown, pernah memperlihatkan sikap kurang senang kaedah persejarahan budaya.
Radcliffe-Brown dianggap sebagai pengasas kepada pendekatan struktural-fungsionalisme dalam antropologi. Doktrina ini adalah berkenaan dengan peranan pelbagai institusi sosial dalam menyumbang kepada kestabilan masyarakat. Malinowski sendiri bukan seorang struktural-fungsionalis, biarpun beliau mengaku dirinya menggunakan pendekatan fungsionalis. Radcliffe-Brown dan pengikutnya berpendapat bahawa setiap individu dalam masyarakat, berserta dengan tindak tanduknya, sebenarnya adalah ‘hasil sampingan’ daripada kewujudan masyarakat yang merupakan lembaga yang lebih besar dan menyeluruh. Dalam hal ini tugas individu ialah menyumbang kepada kesepaduan dan keutuhan masyarakat dari segi maknanya yang lebih mendalam. Malinowski pula mempunyai pandangan yang berlainan; bagi beliau kewujudan masyarakat itu adalah untuk memenuhi kepentingan individu, bukan sebaliknya. Perbezaan pendapat antara kedua-dua tokoh, yang bermula pada masa perkembangan awal antropologi moden, berlarutan sehingga ke hari ini. Sesetengah antropologis berpendapat bahawa kewujudan masyarakat itu adalah ‘hasil sampingan’ yang tidak dirancang yang terbentuk daripada tindak tanduk manusia; sementara sesetengah antropologis pula menganggap bahawa individu atau orang perseorangan itu adalah hasil daripada wujudnya masyarakat.
Banyak lagi yang boleh disebut tentang tokoh-tokoh penting yang telah mewarnai pemikiran antropologi masa kini. Durkheim, dengan aliran pemikiran sosiologi Perancisnya, telah mempengaruhi perkembangan antropologi dengan begitu meluas sekali. Anak saudara beliau, Marcel Mauss, telah menulis beberapa karya, tetapi yang terpenting ialah berkenaan peranan hadiah dalam kehidupan sosial, Essai sur le don (The Gift, 1954 [1925]; lihat Bab 11). Lucien Lévy-Bruhl, rakan sebaya Mauss, telah menulis buku berkenaan pelbagai bentuk dan cara berfikir, iaitu penulisan yang akhirnya telah mencetus perdebatan hangat, berpanjangan dan begitu kompleks, berhubung dengan cara berfikir masyarakat ‘primitif’-- sama ada cara dan bentuk mereka berfikir itu jauh berbeza dengan bentuk dan cara berfikir orang ‘moden’ (lihat Bab 14). Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa, juga mesti disebut dalam konteks perdebatan yang sama kerana sumbangannya yang penting. Penulisan beliau berkenaan dengan struktur bahasa telah menjadi sumber ilham kepada salah satu daripada aliran pemikiran antropologi yang terulung dalam abad ini, iaitu strukturalisme, yang dipelopori oleh Claude Lévi-Strauss (Bab 7 dan 8).
Sigmund Freud, dengan teori psikoanalisisnya, juga mempunyai pengaruh yang kuat terutama sekali terhadap perkembangan antropologi di Amerika. Akhir sekali, tradisi sosiologi Jerman klasik, daripada Karl Marx, Ferdinand Tönnies, Max Weber dan lain-lain, terus menerus mempunyai pengaruh yang kuat ke atas pemikiran antropologi sosial masa kini. Dalam bab-bab seterusnya kita akan kembali semula membincangkan aliran pemikiran yang telah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh agung dalam perkembangan teori sosial.
Tradisi Berlainan dalam Antropologi
Antropologi adalah satu bidang yang luas liputannya dan pelbagai pula sifatnya, yang diamalkan dalam bentuk yang berbeza-beza bergantung kepada tempat dan keadaan. Namun demikian antropologi masih tetap mempunyai sifatnya yang khusus walau di manapun diamalkan. Semenjak Perang Dunia Kedua, antropologi mendapat tempat penting di Great Britain, Amerika Syarikat, Perancis dan Australia. Antropologi British, yang umumnya lebih dikenali sebagai antropologi sosial, juga mempunyai kedudukan yang kuat di negara-negara Scandinavia dan India. Penekanannya adalah terhadap penelitian ke atas proses sosial; justeru itu sifatnya lebih dekat kepada sosiologi. Ahli antropologi sosial British, Edmund Leach (1982), pernah menyatakan bahawa kajiannya tidak lain dan tidak bukan adalah ‘sosiologi mikro perbandingan’ (comparative micro-sociology). Di Amerika Syarikat, orang lebih berminat untuk menggunakan istilah antropologi budaya, dan secara umumnya pengaruh sosiologi tidak begitu ketara seperti yang dapat kita lihat dalam tradisi antropologi sosial British. Namun demikian antropologi di Amerika telah banyak dipengaruhi bentuknya oleh linguistik dan pra-sejarah. Beberapa bentuk pengkhususan dalam sub-bidang antropologi seperti ekologi budaya, antropologi linguistik, serta pendekatan yang menggembeling kaedah psikologi dan interpretive anthropology atau hermeneutic anthropology, lahir di Amerika.
Perkembangan antropologi Perancis dalam zaman selepas perang mempunyai kaitan yang rapat dengan strukturalisme (lihat Bab 7), terutama sekali dengan sarjana seperti Claude Lévi-Strauss, Louis Dumont dan Maurice Godelier yang terkenal sebagai strukturalis yang menggunakan pendekatan Marxist. Antropologi Perancis juga mempunyai pengaruh yang kuat di Amerika Selatan, Itali dan di Semenanjung Iberia, serta sebahagiannya di Belgium dan Belanda.
Kepelbagaian pendekatan dalam antropologi seperti yang dinyatakan di atas tidak semestinya dibesar-besarkan. Walaupun terdapat perbezaan pada masa lepas (dan juga dewasa ini) antara mereka yang mengamalkan antropologi secara profesional di negara-negara tertentu, perkara pentingya ialah disiplin antropologi itu pada hakikatnya tetap satu — biarpun disiplin ini mempunyai pelbagai pengkhususan serta merangkumi pula aliran pemikiran yang berlainan. Dalam buku ini kita tidak banyak membezakan antara antropologi budaya dengan antropologi sosial, tetapi satu perkara yang harus diingat ialah pengembaraan kita bertolak daripada pendekatan antropologi sosial. Misalnya, dalam bab yang membincangkan konsep-konsep teoritis (Bab 3-5) sebahagian besar daripada kandungannya diasaskan kepada teori-teori sosiologi. Dari segi perspektifnya, buku ini bersifat perbandingan dalam erti kata bahawa setiap contoh atau kes yang dipaparkan itu dibandingkan, sama ada secara langsung atau tidak langsung, dengan fenomena yang sama dalam masyarakat yang berlainan.
Perisian Antropologi Secara Ringkas
Jadinya, apakah itu antropologi? Biarlah kita mulakan dengan etimologi atau asal usul istilahnya. Antropologi terdiri daripada dua patah perkataan Greek, anthropos dan logos, yang boleh diterjemahkan kepada ‘manusia’ dan ‘huraian’. Oleh itu antropologi bermakna ‘huraian tentang manusia’ atau ‘pengetahuan tentang manusia’. Sosial antropologi pula bermakna pengetahuan tentang manusia dalam masyarakat. Takrifan tersebut sudah tentulah merangkumi bidang sains sosial yang lain, tetapi buat permulaan takrifan ini sudah memadai.
Istilah culture (budaya) yang sangat penting dalam disiplin antropologi berasal daripada perkataan Latin colere, iaitu kata kerja yang bermakna ‘mencambah’ (cultivate). (Perkataan Inggeris colony juga mempunyai asal usul yang sama). Tetapi dalam hal ini apa yang dimaksudkan dengan perkara yang ‘dicambah’ itu ialah ‘budaya’, yang merupakan aspek kehidupan yang menjelma bukan secara semula jadi. Proses ini mesti dilalui dan dicapai oleh seseorang individu sebelum ia menjadi anggota sesuatu masyarakat. Oleh itu dalam antropologi ungakapan ‘mencambah budaya’, dalam pengertian yang lebih luas, membawa maksud ‘menanam kemampuan berbudaya seseorang manusia’. Antropologi budaya pula bermakna ‘pengetahuan berkenaan dengan manusia yang dicambah dengan budaya.’
Dalam penggunaannya dalam bahasa Inggeris istilah culture atau ‘budaya’ merupakan salah satu daripada dua atau tiga perkataan yang sangat rumit dan sangat bermasalah dari segi huraiannya (Williams 1981, h. 87). Pada awal 1950an Clyde Kluckhohn dan Alfred Kroeber (1952) telah mengemukakan tidak lebih daripada 161 takrifan budaya. Tidak mungkin dapat dibincangkan di sini sebahagian besar daripada takrifan tersebut; lagipun mujurlah sebilangan besar daripadanya mempunyai makna yang agak sama. Buat permulaan, biarlah kita mentakrifkan budaya sebagai tindak tanduk oleh seseorang sebagai anggota masyarakat, baik dari segi keupayaan melakukan sesuatu, kefahaman serta pola perlakuan, yang mesti dipelajari olehnya dan yang bukan muncul bersamanya secara semula jadi. Takrifan seperti ini sebenarnya merangkumi pandangan Tylor dan Geertz (walaupun Geertz pada hakikatnya lebih menekankan dari segi ‘makna’ daripada ‘perlakuan’). Takrifan ini jugalah yang biasanya dipakai oleh kebanyakan antropologis.
Namun demikian konsep budaya itu pada dasarnya membawa beberapa makna yang agak kabur. Dari satu segi, setiap manusia memang berbudaya; iaitu dalam erti kata bahawa istilah budaya itu sendiri merujuk kepada persamaan asas yang sedia terdapat pada setiap orang. Pada sudut yang lain pula, manusia secara berasingan mempelajari dan mempunyai keupayaan dan kebolehan yang berlainan, serta kefahaman dan pandangan yang berbeza dan sebagainya; justeru itu sesama merekapun terdapat perbezaan semata-mata kerana pengalaman budaya masing-masing yang berlainan. Oleh yang demikian, perkara penting yang harus kita ingat ialah budaya merujuk kepada persamaan asas dan juga kepada perbezaan yang sistematis di kalangan manusia.
Hubungan antara budaya dan masyarakat boleh dihuraikan seperti berikut. Budaya merujuk kepada aspek kehidupan yang dipelajari oleh seseorang atau yang ‘dicambah’ pada diri seseorang, yang bersifat kognitif dan simbolis, manakala masyarakat merujuk kepada organisasi sosial yang merangkumi kehidupan manusia, dari segi pola pergaulan (atau interaksi) dan hubungan kuasa. Perbezaan dari segi analisisnya mungkin nampak mengelirukan pada peringkat ini, tetapi perkara ini akan menjadi lebih jelas dalam perbincangan kemudian nanti.
Satu takrifan ringkas antropologi boleh berbunyi seperti berikut: "Antropologi ialah kajian perbandingan mengenai budaya dan kehidupan sosial. Metod atau kaedah kajiannya yang paling penting ialah pemerhatian ikutserta (participant observation), yang terdiri daripada kerja lapangan yang memakan masa yang lama, yang dijalankan dalam sebuah persekitaran sosial yang khusus." Pendekatan dalam disiplin ini ialah membandingkan aspek-aspek tertentu yang terdapat di kalangan masyarakat yang berlainan, serta terus berusaha mencari unsur-unsur lain yang boleh dijadikan asas perbandingan. Sebagai contoh, jika kita memilih untuk menulis monograf berkenaan dengan sebuah masyarakat di kawasan tanah tinggi New Guinea, biasanya cara terbaik untuk berbuat demikian ialah dengan menggunakan beberapa konsep tertentu (seperti kekerabatan, gender dan kuasa) bagi memerihalkannya; iaitu konsep yang membolehkan kita membuat perbandingan dengan perkara-perkara yang sama dalam masyarakat yang berlainan.
Selanjutnya, disiplin ini menekankan betapa pentingnya kita melakukan kerja lapangan, iaitu pemerhatian terperinci terhadap sesuatu persekitaran sosial dan budaya, yang biasanya memerlukan kehadiran penyelidik untuk satu tempoh masa yang agak lama, biasanya satu tahun atau lebih.
Jelaslah bahawa antropologi mempunyai banyak persamaan dengan disiplin lain dalam sains sosial dan kemanusiaan. Bahkan, satu persoalan yang agak rumit yang sering ditimbulkan ialah menentukan sama ada antropologi itu tergolong dalam bidang sains atau bidang kemanusiaan. Persoalannya ialah adakah kita mencari hukum umum, seperti yang dilakukan oleh ahli sains tulen. Sebaliknya, adakah kita cuba memahami dan membuat pentafsiran terhadap masyarakat yang berlainan? Dua orang tokoh terkenal, E. E. Evans-Pritchard di Britain dan Alfred Kroeber di Amerika Syarikat, pernah menekankan dalam sekitar tahun 1950, bahawa antropologi mempunyai lebih banyak persamaan dengan sejarah daripada sains tulen. Pendapat mereka pada masa itu dianggap hampir karut, tetapi sekarang pandangan tersebut sudah menjadi perkara biasa di kalangan kebanyakan antropologis. Namun demikian, masih terdapat segelintir antropologis yang berpendapat bahawa antropologi sepatutnya mempunyai pendekatan ketat yang lebih saintifik, sama seperti yang diamalkan dalam bidang sains tulen.
Sebahagian daripada pendapat yang berlainan yang disebut di atas akan dibincangkan dalam bab yang menyusul. Beberapa sifat utama yang mencirikan antropologi terdapat pada semua yang mengamalkan disiplin ini; antropologi bersifat perbandingan dan empiris; kaedah atau metodologinya yang sangat penting ialah kerja lapangan; dan antropologilah yang sebenarnya mempunyai fokus kepada sesuatu isu secara sejagat, dalam pengertian bahawa disiplin ini tidak pernah menganggap mana-mana kawasan geografis, atau mana-mana masyarakat sebagai lebih penting daripada yang lain. Berbeza dengan sosiologi, antropologi tidak menumpukan perhatiannya ke atas masyarakat industri; berbeza dengan falsafah, antropologi menekankan peri pentingnya penyelidikan empiris; berbeza dengan sejarah, antropologi mengkaji masyarakat pada detik dan ketika wujudnya masyarakat berkenaan; dan berbeza dengan linguistik, antropologi menekankan konteks sosial dan budaya sesuatu bahasa yang dituturkan. Sudah tentulah terdapat banyak tindan lapis dalam antropologi dengan disiplin sains yang lain. Pastinya juga antropologi mempelajari banyak perkara daripada disiplin tersebut. Namun demikian antropologi mempunyai sifatnya yang tersendiri sebagai salah satu daripada disiplin akademik. Antropologi, pada masa yang sama, cuba menghuraikan kewujudan kepelbagaian dalam dunia, serta cuba pula membina perspektif teori dalam pendekatan terhadap budaya dan masyarakat.
Sebelum kita membincangkan dalam bab yang menyusul kaedah kerja lapangan dalam penyelidikan antropologi, ada baiknya jika disentuh beberapa lagi sifat penting antropologi.

Gambar 1.1: Sebelum Perang Dunia Kedua terdapat beberapa pertunjukan 'kabilah negro' (negro caravans) yang sangat diminati oleh penduduk di bandar-bandar besar Eropah. Dalam pertunjukan itu orang Afrika dijadikan bahan tontonan seperti haiwan di zoo. Gambar ini menunjukkan 'perkampungan negro' di Christiana (sekarang Oslo) dalam tahun 1914. Soalannya sekarang ialah sejauh manakah tanggapan umum orang Eropah terhadap 'masyarakat eksotik' seperti ini telah berubah semenjak zaman tersebut? (Gambar daripada ihsan Museum Etnografi Oslo)

Etnosentrisme
Sesuatu masyarakat atau budaya, seperti yang dinyatakan sebelum ini, mestilah difahami dalam peristilahannya sendiri. Dalam mengatakan demikian bukanlah bermakna bahawa kita bersetuju dengan penggunaan satu bentuk ukuran umum bagi menilai sesuatu masyarakat. Ukuran tersebut tersebut mungkin merangkumi jangka hayat, keluaran negara kasar (gross national product), hak demokrasi, kadar celik huruf, dan sebagainya. Tidak berapa lama dahulu satu amalan yang sering dilakukan oleh masyarakat Eropah ialah menilai masyarakat di luar Eropah mengikut peratusan penduduknya yang memeluk agama Kristian. Seandainya peratusan itu tinggi maka tinggilah kedudukan negara tersebut mengikut kayu ukuran yang digunakan. Penilaian terhadap manusia seperti yang dilakukan itu sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan pendekatan antropologi. Oleh itu, jika kita ingin menilai mutu hidup dalam sesebuah negara atau masyarakat luar, kita mestilah terlebih dahulu memahami masyarakat itu dari dalam; jika tidak penilaian yang kita buat itu mempunyai nilai ilmiah yang sangat terbatas. Apa yang dianggap sebagai ‘gaya hidup yang baik’ dalam masyarakat Eropah misalnya, tidak semestinya menarik dan sangat-sangat dikehendaki jika dinilai dari sudut dan kedudukan masyarakat lain. Bagi memahami erti sebenar kehidupan sosial sesuatu masyarakat, maka sangat perlu untuk kita cuba mendalami terlebih dahulu bagaimana alam nyata sesuatu masyarakat difahami dan dirasai sendiri oleh ahli-ahlinya. Untuk berjaya dalam usaha ini, maka tidak memadai jika kita hanya memilih beberapa ‘angkubah’ sahaja. Ternyata bahawa penggunaan konsep seperti ‘pendapatan tahunan’ tidak sesuai sama sekali bagi sebuah masyarakat yang tidak mengenali mata wang serta tidak tahu akan kaedah kerja yang diupah dengan wang.
Penghujahan seperti di atas bolehlah dianggap sebagai amaran awal terhadap etnosentrisme. Istilah tersebut berasal daripada perkataan Yunani (ethnos bermaksud ‘orang’) Etnosentrisme membawa maksud bahawa kita menilai masyarakat lain daripada kaca mata kita sendiri, serta memperihalkan mereka dalam peristilahan kita. Dengan demikian, ciri-ciri ethnos yang ada pada diri kita, termasuk nilai budaya kita, dijadikan kayu ukur dalam penilaian tersebut. Justeru itu tidak hairanlah jika orang lain atau masyarakat asing kelihatan begitu rendah taraf sosial dan budaya mereka jika dipandang dari kaca mata ethnos kita. Misalnya jika kita mendapati bahawa di kalangan masyarakat Nuer kemudahan pinjaman untuk membeli rumah daripada institusi kewangan sukar diperolehi, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa masyarakat Nuer tidaklah sesempurna masyarakat kita. Jika kita mendapati bahawa kemudahan bekalan elektrik tidak terdapat di kalangan orang Kwakiutl di pantai barat Amerika Utara, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa cara hidup orang Kwakiutl itu tidak sejahtera berbanding dengan cara hidup kita. Jika sekiranya orang Kachin di sebelah utara Myanmar menolak agama Kristian, maka kita tidak boleh menganggap bahawa orang Kachin tidak bertamadun. Jika sekiranya orang San (kaum Bushmen) di gurun Kalahari buta huruf, maka kita tidak boleh terus menyatakan bahawa mereka itu tidak pintar. Jika sekiranya kita terus menerus mempunyai pandangan berunsur etnosentrisme, maka ternyata bahawa kita sama sekali tidak memberikan sebarang peluang bagi orang lain untuk mempunyai sebarang perbezaan dan hidup dalam persekitaran sosial dan budaya yang berlainan.
Pandangan etnosentrisme juga merupakan satu halangan besar kepada usaha untuk memahami masyarakat dan budaya lain dalam peristilahan mereka sendiri. Sebenarnya antropologi tidak membandingkan masyarakat asing dengan masyarakat sendiri serta menyusun pelbagai masyarakat pada tahap tinggi rendah, serta meletakkan masyarakat kita pada anak tangga paling atas. Sebaliknya antropologi menghendaki kita memahami masyarakat yang berlainan itu seperti yang kelihatan daripada dalam masyarakat berkenaan. Antropologi tidak dapat memberikan jawapan yang tepat kepada soalan yang berbunyi seperti berikut: "Antara banyak masyarakat, masyarakat manakah yang paling baik." Jawapannya memang tidak akan wujud semata-mata kerana sememangnya bukan sifat semula jadi disiplin antropologi untuk bertanyakan soalan seperti ini. Jika ditanya apakah bentuk hidup dan masyarakat yang sempurna, maka antropologis hanya boleh memberikan jawapan bahawa setiap masyarakat itu mempunyai takrifan masing-masing terhadap soalan tersebut yang sudah pasti mempunyai pengertian yang berbeza-beza.
Lagipun, masalah etnosentrisme sangat sukar untuk dikesan jika dibandingkan dengan pendirian yang bersifat moralis. Etnosentrisme juga boleh mempengaruhi konsep yang kita gunakan untuk memahami pelbagai masyarakat di muka bumi. Misalnya kita tidak boleh menggunakan konsep ‘politik’ dan ‘kekerabatan’ bagi masyarakat yang ternyata tidak mempunyai pemahaman asas terhadap kedua-dua konsep ini. Istilah politik mungkin terdapat dalam masyarakat asal ahli etnografis, tetapi istilah tersebut mungkin tidak ada dalam masyarakat yang dikajinya. Masalah asas seperti ini akan dibincangkan kemudian dengan lebih mendalam lagi.
Relativisme budaya pula sering dikatakan berlawanan dengan etnosentrisme. Mengikut relativisme budaya setiap masyarakat atau budaya itu berbeza-beza antara satu sama lain dari segi mutu hidup dan sebagainya, serta masing-masingya mempunyai logik dalaman yang unik dan tersendiri. Justeru itu agak tidak tepat dari segi kaedah saintifiknya jika kita menilai masyarakat tersebut dengan meletakkan mereka pada skala tinggi rendah. Sebagai contoh, katakan kita menggunakan angkubah ‘celik huruf’ dan ‘pendapatan tahunan’ untuk membuat penilaian terhadap masyarakat San. Oleh kerana di kalangan orang San kadar tersebut sangat rendah, maka kita letakkan masyarakat San pada tahap yang terkebawah pada anak tangga berkenaan. Sebenarnya penilaian seperti ini tidak membawa sebarang makna kerana dalam masyarakat San wang dan buku tidak begitu diutamakan. Jelaslah bahawa dalam kerangka pendekatan relativisme budaya, kita tidak boleh mengatakan bahawa masyarakat yang mempunyai jumlah kereta yang banyak itu adalah masyarakat yang ‘lebih baik’ daripada masyarakat yang mempunyai jumlah kereta yang kurang; atau nisbah bilangan panggung wayang dengan jumlah penduduk adalah satu petunjuk yang tepat terhadap mutu hidup bagi sesebuah masyarakat.
Namun demikian, relativisme budaya adalah ketetapan teoritis yang tidak boleh dipersoalkan serta menjadi satu kemestian dan alat utama sebagai kaedah atau metodologi untuk memahami masyarakat asing sebaik mungkin tanpa menaruh sebarang buruk sangka. Dari segi etikanya, mengamalkan relativisme budaya barangkali agak sukar, kerana nampaknya setiap perkara yang wujud dalam sesuatu masyarakat itu sama baiknya dengan yang terdapat dalam masyarakat lain. Akhirnya pendirian seperti ini mungin akan mengarah kepada nihilisme, iaitu doktrina yang mengatakan bahawa tiada sebarang asas yang kukuh bagi sesuatu kebenaran, sementara kewujudan itu tidak membawa apa-apa makna; justeru itu membuat penilaian ke atas sesuatu yang wujud itu adalah satu usaha yang sia-sia. Sebab itulah kena pada masanya jika dikatakan bahawa walaupun antropologis adalah pengamal relativisme budaya yang sangat ketat semasa menjalankan tugas seharian mereka, tetapi dalam menjalani kehidupan peribadi masing-masing, antropologis adalah manusia biasa. Kadang kalanya mereka juga mempunyai pendirian serta nilai yang dogmatis terhadap apa yang betul dan apa yang salah.
Akhir kata relativisme budaya tidak boleh dianggap bertentangan sama sekali dengan etnosentrisme, kerana relativisme budaya yang sebenar bebas daripada sebarang prinsip moral. Bagi antropologi, prinsip relativisme budaya berguna sebagai alat metodologi atau kaedah sahaja, tidak leboh daripada itu. Alat inilah yang akan membantu kita meneliti dan membandingkan masyarakat tanpa meletakkan mana-mana masyarakat pada anak tangga dan ukuran moral. Tetapi kenyataan ini bukan pula bermakna bahawa dalam pendekatan ini tidak ada perbezaan antara perlakuan yang salah dengan perlakuan yang betul.
Akhir sekali, kita harus sedar bahawa ramai antropologis berhasrat untuk mencari apakah ciri-ciri serta unsur kemanusiaan sepunya yang terdapat pada setiap masyarakat atau kumpulan manusia. Tidak semestinya terdapat sebarang percanggahan antara usaha seperti ini dengan pendekatan relativisme budaya, biarpun universalisme kadangkala dikatakan bertentangan sifatnya dengan relativisme budaya. Pada satu tahap tertentu dalam analisis antropologi, tidak ada salahnya jika seseorang itu menggunakan pendekatan relativisme jika pada masa yang sama ia juga berpendirian bahawa di kalangan masyarakat yang pelbagai itu tetap terdapat satu pola sepunya. Tidak hairanlah jika ramai yang akan mengaku bahawa antropologi adalah berkenaan dengan perkara berikut: mencari keunikan pada setiap persekitaran budaya semua masyarakat dan petunjuk bahawa alam kemanusiaan itu sebenarnya adalah satu.