Sabtu, 18 Juni 2011

Berteologi di Tengah Kenaikan Harga

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diikuti oleh efek domino multikenaikan lanjutan kebutuhan hidup lainnya, telah menjadi "tsunami ekonomi" yang tak terelakkan. Namun lebih ironis lagi poortalk, perbincangan resah karena bakal mendadak menjadi miskin (David Myers, 1979) terhadap kebijakan yang tidak mengenakkan ini, ternyata juga disuarakan oleh hampir semua kalangan. Mulai dari politikus, penggiat lembaga masyarakat (LSM), akademisi, wakil rakyat, buruh, asosiasi pengusaha sampai jeritan rakyat di pelosok tanah air. Hampir semuanya cenderung negatif dalam melihat dampak sosial dan ekonomi kenaikan ini.
Sebagai bangsa beragama, religiositas seperti apa yang bisa menjadi pegangan dalam menyikapi kondisi ekonomi yang makin sulit ini. Sudah menjadi hukum tak tertulis bahwa agama sering dikatakan sebagai benteng terakhir bagi umat dalam menghadapi persoalan hidup, setelah jerih payah manusia tidak kunjung menghasilkan solusi. Karena, dalam agamalah umat mempunyai jalan transendental yang Ilahi dan supranatural dari Tuhan. Semua ini melampaui segala daya usaha manusia yang terbatas.
Apakah agama telah menyiapkan resep teologi krisisnya bagi umat beragama di Indonesia yang serentak dihadapkan oleh kondisi yang makin gawat ini?
Kemiskinan Spiritual
Dalam beberapa kali kenaikan harga BBM, di masa lampau banyak pihak mengatakan bahwa kebijakan kenaikan harga BBM cenderung memperbesar jumlah rakyat miskin. Kelompok menengah ke bawah merupakan kelompok yang paling terkena dampak kenaikan itu. Paling tidak kelompok ini akan memberi sumbangan bagi kenaikan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dari total penduduk Indonesia. Kekerasan ekonomi pada masyarakat akan meningkat sejalan dengan kompetisi berekonomi yang makin ketat dan berprinsip "manusia adalah serigala bagi sesamanya" (homo homini lupus). Bersamaan dengan itu tingkat kesejahteraan juga menurun dan akan menjadi bumerang bagi generasi berikut berupa "generasi terhilang" dilihat dari berbagai aspeknya.
Apa yang akan terjadi jika kemungkinan ini makin nyata? Sebuah adagium ihwal kesejahteraan dan agama menyimpulkan bahwa makin sejahtera umat makin taat dan beriman kepada agama. Makin sejahtera umat dengan begitu makin mudah ia mencari Tuhan. Hasil adagium ini telah mematahkan anggapan sebelumnya bahwa umat yang miskinlah yang lebih taat beragama daripada yang kaya. Mereka yang kaya karena bisa berbuat apa saja dengan kekayaannya, konon lebih mudah melupakan Tuhan, begitu dalihnya.
Namun adagium di atas ada benarnya dan membuktikan hal yang berlawanan. Argumentasinya, justru ketika seseorang menjadi kaya, ia lebih mudah mentaati agama dan mencari Tuhan. Mereka bisa mensyukuri nikmat Tuhan dan dengan kesejahteraannya ia bisa menggunakan materi, kekuasaan, dan kemapanannya untuk mencari Tuhan dan mendukung agama dan sesama dengan lebih intensif. Sebaliknya pendapat lama yang mengatakan bahwa mereka yang miskin sering diasumsikan lebih taat kepada agama dan mencari Tuhan karena wujud pelarian dari tekanan hidup sering tidak terjadi. Kenyataannya justru di tengah kemiskinan yang membelit, ia cenderung tidak taat agama dan tidak dekat dengan Tuhan. Karena waktu sehari-harinya habis untuk mencari nafkah sumber kehidupannya. Bagaimana ia bisa mencari Tuhan karena pikirannya terus dirundung "urusan perut" dari waktu ke waktu.
Jika kita menyetujui kesimpulan adagium diatas bahwa rakyat miskin makin jauh dari agama dan Tuhan, apa artinya dengan kesimpulan para pengamat ihwal kenaikan harga BBM. Jumlah rakyat miskin bertambah, dengan demikian jumlah umat yang lupa agama dan Tuhan akan semakin besar. Kehidupan umat akan dirundung oleh pencarian kebutuhan hidup semata. Kondisi ironis ini harus dicermati jika kita tidak mau terjebak pada krisis religiositas sebagai gandengan krisis ekonomi jilid dua ini.
Teologi krisis
Untuk itulah agama perlu mempunyai formula jitu agar kondisi ekonomi yang makin berat ini bisa disikapi. Agar umat tidak menjauhi agama dan Tuhan tetapi justru mendekat kepadaNya dan berada dalam jalan-jalanNya. Sebuah teologi krisis katakanlah demikian berusaha mencari jalan Tuhan di tengah kondisi riil ekonomi dan kehidupan yang makin sulit.
Memang benar bahwa agama dan Tuhan mengajarkan bahwa tidak mungkin terjadi perubahan tanpa berusaha. Tidak mungkin umat bisa lolos dari beratnya kenaikan harga BBM tanpa berusaha sekuat tenaga berikhtiar sambil meminta petunjukNya. Bagian manusia memang harus dilakukan, tetapi bagian Tuhan sebagai Maha Penyayang, Maha Pemurah, Maha Membuka Jalan, dan Maha Ajaib jalan-jalanNya dst. harus digali oleh agama dan diimani oleh umat. Hukum-hukum berkah Tuhan dalam agama-agama harus digali dan keberadaan Tuhan secara nyata harus teralami langsung dalam kehidupan sehari-hari, apalagi kehidupan yang dirundung problem berat seperti biaya hidup yang makin tak terkejar diatas.
Hasil jerih payah manusia tentu mempunyai rida dan menghasilkan berkahNya sendiri. Namun tetap harus dialami sejauh mana peranan Tuhan dalam jerih payah umat tersebut. Dengan demikian, ada unsur plus yakni hubungan transendental yang irasional dalam jerih payah manusia yang adalah bukti kehadiran dan pembelaan Tuhan bagi umatNya. Semua ini bisa dialami dengan nyata jika agama dan umat mau menggali lebih lagi hukum-hukum berkah dalam agama. Tidak mungkin bahwa kehidupan manusia hanya melulu jerih payahnya saja. Kekuasaan Tuhan melampaui usaha manusia, justru dengan hidup umat yang berkenan, sifat kemahaanNya akan menjadi jawaban ajaib bagi persoalan umat seperti kondisi ekonomi yang makin sulit.
Solusi Ilahi
Kondisi mencari bahkan dalam kata lain meminta pembelaan Tuhan atas umatNya yang sudah hidup benar namun diterjang krisis ekonomi, tidak berarti meniadakan fungsi sosial agama. Di tengah kesulitan ekonomi, agama, dan umat tetap harus menjadi sumber pertolongan sesama yang lebih miskin, yang berporos pada hukum-hukum Tuhan.
Konsekuensi meminta "pembelaan Tuhan" atas darurat ekonomi ialah introspeksi nasional apakah kita sudah menjadi bangsa yang benar dihadapanNya sehingga kita berani meminta pertolonganNya. Jika kita masih banyak dosa korupsi, judi, kemaksiatan, kekerasan, materialisme akut, dst. bagaimana mungkin Tuhan mau mendengar? Dengan demikian, jawaban agama terhadap kondisi ekonomi yang makin sulit ini terpulang pada seberapa layakkah kemanusiaan bangsa kita dihadapan hukum-hukum berkah Tuhan? Seberapa jauh kita mengamalkan agama, bertakwa kepadaNya dan mengasihi sesama misalnya harus menjadi prasyarat dasar bagi tindakan Tuhan yang irasional dan supranatural untuk menolong kondisi yang sulit?
Tentu di sini kita tidak hanya berharap pada logika manusia di mana kalau kita berjerih payah maka kita akan menuai hasil. Tetapi, adakalanya kondisi saat ini untuk berjerih payah pun sudah sangat sulit. Situasinya bak "secupak gandum sedinar", artinya kurang lebih "sudah mahal mendapat sedikit". Media massa menyuarakan banyak kalangan yang "menyerah" di tengah tekanan ekonomi yang tidak pasti ini. Di tengah kepasrahan umat inilah kita hanya bisa mengharapkan pada hukum-hukum berkah Ilahi. Janji-janji pemeliharaan Tuhan, pertolonganNya dan pemulihanNya atas semua yang terjadi hanya bisa dijawab oleh pergumulan agama.
Sebuah teologi transformasi yang membebaskan katakanlah demikian, tidak bertumpu pada upaya manusia yang terbatas dan bisa dirasionalkan tetapi bertumpu pada transendensi dan wilayah irasional agama bahwa apa yang tidak pernah umat lihat dan pikirkan, bisa jadi itulah yang akan menjadi jawaban Tuhan atas persoalan umatNya, bangsaNya.
Masa-masa sulit bangsa kita sekarang ini menjadi masa transformasi agama-agama untuk menggali hukum berkah yang disediakan Tuhan. Tentu dengan pertama-tama menggali kehidupan yang benar yang diinginkan sesuai jalan-jalanNya. Dengan menjadi berkenaan lebih dahulu barulah Tuhan akan bertindak menolong umatNya. Inilah saatnya agama berlomba bukan dalam konflik truth claim, tetapi berlomba untuk menggugah teologinya, mengetuk hati "TuhanNya masing-masing" paling tidak untuk menjadi jawaban bagi umatNya. Persoalannya, kita mau tidak untuk "dibersihkan" menjadi bangsa yang berkenan pada Tuhan sehingga kita layak ditolongNya. Inilah saatnya kita memikirkan dan mengalami secara nyata konsekuensi kemahaanNya. Maha Pengasih, Penolong, dan Maha Meringankan Kehidupan Ekonomi hari-hari ini.
Kebetulan juga menjelang bulan suci nan penuh berkah, Ramadan. Meski harga-harga naik, berkahNya pun ikut naik. Umat akan menuntut bukti itu kepada religiositasnya. Seperti kata-kata para sufi, tak ada jalan lain membuktikan Tuhan itu hidup nyata di antara umatNya, selain merasakan denyut pertolonganNya dalam kehidupan sehari-hari yang makin sulit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar