Sabtu, 18 Juni 2011

Aliran Pemikiran dan Teori yang Mempengaruhi
1. Edmund Husserl; Awal Pertumbuhan Fenomenologi
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1938). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebis mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi, sampai arsitektur semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi. Penyamarataan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu mendapatkan tentangan keras dari filsuf-filsuf neo-Kantian yang menginginkan adanya pemilahan, baik sacara metodologis, ontologis, dan epistimologis antara ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu alam. Para Kantian merasa bahwa manusia tidak semata-mata ditentukan oleh hukum maupun bertindak secara rasional semata (animal rationale), melainkan juga memiliki kekayaan batin (emosi, kehendak, disposisi) yang tidak dapat diukur begitu saja dengan model-model ilmu alam. Salah satu neo-Kantian dari Mahzab Marburg bernama Ernst Cassier mengungkapkan konsepnya tentang manusia sebagai animal symbolicum (makhluk simbolik) konsepnya ini menentang konsep manusia yang dideterminasi oleh daya-daya atau stimulan-stimulan eksternal seperti halnya benda-benda fisik. Cassier menolak pandangan naturalisme yang dianut ilmu-ilmu alam (ada realitas material eksternal yang berjalan secara deterministik dan independen dari subjek).
Edmund Husserl lahir di kota kecil Prossnit di daerah Moravia pada 8 April 1859. Husserl belajar di Universitas Leipzig, Berlin dan Wina dalam bidang matematika, fisika, astronomi dan filsafat. Dalam beberapa waktu menjadi asisten pada Weierstrass, seorang ahli matematika yang terkenal dan Berlin. Sementara minat dan bakatnya dalam filsafat dibangkitkan oleh Kuliah-kuliah Brentano, seorang filsuf yang memainkan peranan penting di Universitas Wina saat itu. Ajaran Husserl tentang intensionalitas adalah contoh mudah untuk menunjukkan pengaruh Brentano.
Di sini persoalan kejelasan dan kepastian menjadi persoalan yang utama dalam membangun fenomenologi. Fenomenologi merupakan bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia serta dasar-dasarnya. Dunia yang kita huni, dalam pandangan fenomenologi, merupakan ciptaan dari kesadaran-kesadaran yang ada di dalam kepala individu masing masing. Proses bagaimana manusia membangun dunianya adalah melalui proses pemaknaan yang berawal dari arus pengalaman. Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna, dan dari proses pemaknaan oleh individu inilah yang kemudian menghasilkan tindakan yang didasari oleh pengalaman sehari-hari yang bersifat intensional. Individu kemudian memilih sesuatu yang “harus” dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, dan mempertimbangkan pula makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut.
Dalam sebuah artikel yang cukup panjang sebagaimana yang disebutkan di atas, Husserl merumuskan cita-citanya untuk mendasari filsafat sebagai suatu ilmu yang rigorus (rigorous science) dan kepada ilmu ini ia beri nama ‘fenomenologi’. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tenang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, seperti sudah tersirat dalam namanya fenomenologi mempelajari apa yang tampak atau apa yang menambpakkan diri atau fenomena. Tetapi dengan itu dimaksdukan Husserl sesuatu yang pada waktu itu sama sekali baru. “Fenomena” sama sekali bukan sebagaimana yang dimengerti oleh Kant. Menurut Kant, kita manusia hanya mengenal fenomenon dan bukan numenon, kita hanya mengenal fenomena-fenomena (Erscheinungen) dan bukan relaitas itu sendiri (das ding an sich). Bagi Kant (dan juga empirisme Inggris), yang tampak bagi kita semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya. Kita hanya mengenal pengalaman batin kita sendiri yang - entah bagaimana- diakibatkan oleh realitas di luar yang tetap tinggal suatu x yang tidak kita kenal. Melihat warna mereah, misalnya, tak lain tak bukan adalah pencerapan (sensation), - jadi pengalaman batin - yang diakibatkan oeleh sesuatu di luar. Bagi Kant fenomena adalah sesuatu yang menjuk kepada realitas, yang tidak dikenal in se (pada dirnya). Dalam perspektif ini kesadran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas. Seluruh konsepsi Kant ini dilatarbelakangi filsafat Descartes (cogito, tertutup).
Yang dimaksud Husserl “fenomena” adalah sesuatu yang sama sekali lain. Bagi Husserl, fenomena ialah realitas sendiri yang tampak. Bagi dia, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan kita dari realitas; realitas itu sendiri tampak bagi kita. Dengan demikian dapat kita mengertai semboyan yang dipilih Husserl bagi filsafatnya, yaitu Zurück zu den sachen selbst (Back to thing themselves), kembalilah pada benda-benda sendiri. Ungkapan ini memiliki beberapa makna, yaitu: pertama, awal dari sesuatu itu kembali kepada apa yang bersifat obyektif (logika, etika dll) sebagai suatu obyek dari kesadaran (intensional object). Kedua, hal tersebut merupakan sebuah reaksi dari empirisme Hume dan idealisme transendental Kant. Ketiga, mungkin juga berarti bahwa makna yang digunakan secara luas adalah merupakan reaksi terhadap skeptisisme dan relativisme yang menolak ide tentang obyektifitas universal.
Dengan pandangan tentang fenomena ini Husserl mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Dalam filsafat Barat sejak Descartes, kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup atau cogito tertutup; artinya, kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu mengenal realitas. Misalnya, saya mengenal pencerapan-pencerapan (sensations) saya dan melalui jalan itu saya mengenal realitas. Husserl berpendapat bahwa kesadaran menurut kondratnya terarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan … sesuatu. Atau menurut istilah yang dipakai Husserl, kesadaran menritu kodratnya bersifat intensional; intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran. Karena kesadaran yang ditandai oleh intensionalitas inilah, fenomena harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri. Mengataka ‘kesadaran bersifat intensional’ sebenarnya sama artinya dengan mengatakan ‘realitas menampakkan diri’.
Dua hal di atas ‘fenomena’ dan ‘intensionalitas’ seperti dua sisi dari mata uang logam yang sama, keduanya korelatif. Korelasi ini berlakubagi kesadaran dan realitas pada umumnya, tetapi juga bagi pelbagai aktus kesadaran dan realitas, misalnya, pengalaman estetis -obyek estetis (karya kesenian).
Dua istilah kunci dalam filsafat Husserl telah kita bahas, yaitu ‘fenomena’ dan ‘intensionalitas’, selanjutnya istilah lain yang juga digunakan oleh Husserl berkenaan dengan kedua istilah tadi adalah ‘konstitusi’ (constitution). Konstitusi adalah proses tampaknya fenomena-fenomena kepada kesadaran. Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, dapat dikatakan juga bahwa konstitutsi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Kata Husserl dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Hal tersebut sama sekali tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau menyebabkan dunia besera pembedaan-pembeaan yang terdapat di dalamnya, melainkan hanyalah bawah kesadaran harus hadir pada dunia supaya penampakan dunia dapat berlangsung.
Pokok ajaran berikutnya dari Husserl adalah pendiriannya tentang “reduksi fenomenologis” atau “reduksi transendental”, yang Husserl sendiri menyebutnya sebagai ‘Epoché’ (kata Yunani yang dipinjam dari filsafat Heelnistis). Apa sesungguhnya yang dimaksud reduksi oleh Husserl? Dalam kehidupan biasa kita selalu condong untuk mengandaikan bahwa dunia sungguh-sungguh ada sebagaimana diamanti dan dijumpai. Dengan diam-diam kita percaya pada adanya. Sikap ini oleh Husserl disebut ‘sikap natural’ (natural attitude). Untuk memulai fenomenologi, kita harus mengubah sikap ini. Kita harus menghentikan -atau lebih tepat menangguhkan - kepercayaan kita pada dunia real. Kita harus meletakkan adanya dunia real diantara kurung. Di sini nampak adanya kemiripan jalan pikiran dengan metode Descartes. Namun demikian, Husserl tidak boleh disamakan dengan kesangsian metodis Descartes. Reduksi tidak merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan semacam netralisasi: ada tidaknya dunia real tidak mempunyai peranan lagi. Bagi Descartes kesangsian berarti: mungkin dunia ada, mungkin tidak. Bagi Husserl reduksi berarti: ada tidaknya dunia real tidak relevan: persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktikkan reduksi ini kita masuk “sikap fenemenologis”.
Konsep reduksi ini sangat terkait dengan cita-cita Husserl akan fenemenologi sebagai ilmu yang rigorus. Ilmu yang rigorus tidak boleh mengandung keraguan, ketidakpastian atau kedwiartian apapun juga. Ucapan-ucapan yang dikemukakan dalam suatu ilmu yang rigorus harus bersifat apodiktis (tidak mengizinkan keraguan) dan absolut (tidak mengizinkan perkembangan dan perubahan lebih lanjtu). Nah, kriteria rigorus itu tidak pernah dapat dipenuhi dalam ucapan-ucapan kita tentang dunia real. Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda maerial selalu diberikan melalui profil-profil (Abschattungen). Misalnya saja, dari meja yang berdiri saya tidak melihat sebelah belakang. Tentu saja, saya bisa memilih sudut lain, sehingga saya melihat sebagai belakang itu. Tetapi kalau demikian, saya tidak melihat lagi sebelah depan dan profil-profil lainnya. Inilah cara benda material tampak bagi saya: berkeluasan dan ruang. Suatu benda meterial tidak pernah diberikan kepada saya profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampaiknya badi saya bersifat demikian rupa, sehingga tidak dapat dikemukakan pernyataan-pernyatasan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itu fenomenologi sebagai ilmu rigorus harus mulai dengan mempraktikkan reduksi transendental.
Jika kita menempatkan realitas meterial antara tanda kurung dengan mempraktikkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai rigorus? Atauhkan harus kiga meninggalkan saja selauh usaha kita? Husserl berpendapt bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau subyektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena ini menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu rigorus.
Lantas apa yang terjadi dengan dunia real? Apakah hal itu berarti bahwa fenomenologi sama sekali tidak dapat berbicara tengang dunia? Tentu tidak. Jangan lupa dengan intensionalitas kesadaran yang sangat dipentingkan oleh Husserl. Reduksi justru menyingkirkan kesadaran sebagai - menurut kondratnya - terarah pada dunia, sebagai intensional. Dengan demikian dunia mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita tidak bisa lagi berbicara tentang dunia dengan cara yang naif, yaitu dunia yang sama sekali tidak ada kaitannya dnean kesadaran. Tetapi dalam sikap fenomenologis kita menemui dunia sebagai korelat bagi kesadaran, dunia sebagai fenomena. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan dunia; sebaliknya, realitas material ditemui dalam suatu perspektif baru, yaitu sebagai korelat bagi kesadaran.
Tentang reduksi, yang terpenting bagi Husserl bukanlah meletakkan dunia sendiri antara kurung, melainkan terutama setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia juga semakin menekankan aspek positif dari reduksi: reduksi bukan saja berarti berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam sikap natural, melainkan juga terutama berpaling kepada….sesuatu, yaitu kesadaran atau ego transendental.
2. Fenomenologi Alfred Schulz
Fenomenologi Husserl sangat berpengaruh terhadap pemikiran sesudahnya bahkan lintas disiplin ilmu. Fenemenologi Husserl juga berpengaruh pada seorang sosiolog kelahiran Wina Austria Alfred Schulz (1899-1959). Pada saat Talcott Parson menjadi panutan para sosiolog di Amerika, dan teorinya menjadi mainstream fenomenologi muncul sebagai alternatif. Dan saat pendekatan ini masuk ke Amerika Alfred Schulz mengplikasikannya dalam sosiologi, dimana dalam sebuah karyanya (1967) Schulz mengemukakan tentang betapa pentingnya dunia yang hidup (life-world), peristiwa sehari-hari yang menghasilkan pemahaman kita atas dunia. sebuah everyday life, yaitu keseluruhan dari ruang lingkup hidup saya, relasi-relasi saya, peristiwa-peristiwa di sekitar saya, aneka informasi yang mengerumuni saya, budaya dengan segala cetusannya sehari-hari yang menjadi konteks hidup saya.
Schulz adalah seorang pengacara, ahli ekonomi, orang bisnis dan filsuf. Dilahirkan dan dibesarkan di Wina. Secara intelektual ia tertarik oleh pemikiran Weber tetapi berusaha menjernihkan dan memperkembangkannya dalam terang filsafat ‘fenomenologi’ Edmund Husserl yang dikenal secara pribadi. Karyanya yang paling komprehensif, The Phenomenology of the Social World (Northwestern University Press: Evanston, 1967), diterbitkan untuk pertama kalinya (dalam bahasa Jerman) pada tahun 1932, enam tahun setelah ia meninggalkan Austria untuk menetap di New York dimana ia kekerja pada New School for Social Research dan bisnis.
Walaupun seorang akademikus sambilan, ia menulis banyak tema filsafata ilmu sosial, bertindak sebagai seorang propagandis untuk sosiologi fenomenologis dan masuk ke dalam dialog yang bermanfaat dengan dengan para pakar Amerika, khususnya murid-murid George Herbert Mead (1863-1931), seorang filsuf Chicago yang penafsiran psikologisnya tentang interaksi sosial memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan fenomenologis Schulz.
Proses bagaimana manusia membangun dunianya dijelaskan oleh Schulz melalui proses pemaknaan. Proses pemaknaan itu berawal dari arus pengalaman (stream of experience) yang berkesinambungan yang diterima oleh panca indera. Arus utama dari pengalaman inderawi sesungguhnya tidak punya arti - mereka hanya ada begitu saja; obyek-obyeklah yang bermakna - mereka memiliki kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian yang berbeda dan mereka memberi tanda tertentu. Pengidentifikasian dari dunia penalaman inderawi yang bermakna inilah yang terjadi dari dalam kesadaran individu secar terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna, di dalam car yang sama, sehingga bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat, mengidentifikasikannya melalui suatu proses dengan menghubungkan dengan latar belakangnya .
Schutz menganggap cara berpikir Weber sudah benar, akan tetap ada beberapa aspek yang problematis, yakni konsepnya tentang tindak sebagai sbuah perilaku yang bermakna secara subyektif yang masih memerlukan penjelasan lebih jauh. Ia mempersoalkan ide Weber yang menyatakan bahwa makna tindakan adalah identik dengan motive tindakan. Dalam hal ini semua tindakan memiliki makna, jadi bukan hanya tindakan yang rasional saja, melainkan semua tindakan. Lebih dari itu makna tindak orang laindalam pengerain motive tidak bisa kita peroleh. Pemikiran inilah yang membawa Schutz untuk mengoreksi konsep Weber tentang Verstehen. Dalam Erklarendes Verstehen (penjelasan mengenai pembahasan) seorang sosiologi harus mengandaikan motive aktor ke dalam kompleksitas makna yang tipikal sebagai dasar yang cukup memedai untuk bertindak. Menurut Scultz, tidak ada makna yang bersifat aktual dalam kehidupan.
Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna di luar arus utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termasuk membentuk penggolongan aau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa obyek-obyek tertentu pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam. Hal ini memberikan saya kategori yang paling abstrak mengenai ‘makhluk hidup’: kemudian saya perhatikan bahwa diantara hal-hal ini terdapat beberapa orang yang tetap saja tidak sependapat dengan saya: jadi dari ‘makhluk hidup’ saya mengeluarkan ‘orang lain’. Saya lalu membedakan kelas-kelas orang lain itu: orang kulit hitam dengan kulit putih, laki-laki dan perempuan. Akhirnya saya mengidentifikasikan karakter-karakter mereka secara khusus ibu saya, teman saya. Jadi kita menentukan apa yang Schutz sebutkan sebagai ‘hubungan-hubungan makna’ (meaning contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorganisir pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna.
Dalam fenomenologi Schutzian, untuk menafsirkan konsep-konsep sosiologis, seorang sosiolog harus melakkan proses reduksi fenomenologis dimana dia memberishkan dirinya dari segala prasangka teoritis dan ilmiyah mengenai dunia ‘di luar sana’ dan menganalisis kebermaknaan atau arti fenomena sebagaimana dialami. Karena bagi Schutz ada segi-segi yang menentukan dalam kehidupa sehari-hari yang tak bisa secara memadai dimengerti ketika kita merefleksikan diri kita sendiri saat bertindak. Ingatan tak bisa menciptakan kembali pengalaman hidup yang masih diingat. Dengan merefleksikan tingkah laku kita di masa silam kita pasti tak berhasil menangkap unsur-khas dan hakikinya, persis seperti yang terjadi waktu itu. Jadi dengan meninjau kembali aku memberi makna kepada tingkah laku dengan memecah-mecah masa silam menjadi berbagai waktu dan saat yang terpisah-pisah, tetapai dalam kenyataan apa yang dialami adalah sebuah aliran tetap menginderaan-penginderaan yang berpadu satu sama lain. Hal yang direfleksikan atas hal di sini dan sekarang atau arus lamnya dari si pelaku itu tidak dapat direduksikan pada rentetan-rentetan tindakan berbeda-beda yang diingat. Dunia tindakan yang pra-fenomenal inilah yang dianggap Schutz sebagai fundamen kehidupan sosial manusia yang menjadi obyek analisisnya . Metode tersebut mirip dengan reduksi Husserl, atau disinterrest-nya Mannheim, dan intelektual tidak terikatnya Scheller atau netralitas nilai-nya Weber.
Walaupun Schutz menggunakan fenomenologi Husserl dalam analisisnya, tetapi ada perbedaan antara fenomenologi Schutz dan Husserl. Setelah melakukan reduksi genomenologis, Husserl terus memurnikan pengalaman akan segala unsur empiris termasuk sumbangan individu sendiri untuk pengalaman-pengalamannya, sehingga menyingkap struktur akhir kesadaran manusia pada umumnya. Sedangkan Schutz tetap tinggal pada taraf analisis psikologis, menempatkan dirinya dalam tugas menganalisis pengalaman sosial - kesadaran akan diri kita sendiri yang berinteraksi dengan orang lain atau “intenso” kehidupan sosial. Ringkasnya, Schutz ingin menjelaskan bagaimana makna-makna subyektif bisa memproduksi dunia sosial obyektif.
3. Fenomenologi Peter L. Berger & Thomas Luckmann
Fenomenologi merupakan bentuk dari idealisme yang semata-mata tertarik pada struktur-struktur dan cara-cara bekerjanya kesadaran manusia serta cara bekerjanya. Dunia yang kita huni, dalam pandangan fenomenologi, merupakan ciptaan dari kesadaran-kesadaran yang ada di dalam kepala individu masing masing. Proses bagaimana manusia membangun dunianya adalah melalui proses pemaknaan yang berawal dari arus pengalaman. Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna, dan dari proses pemaknaan oleh individu inilah yang kemudian menghasilkan tindakan yang didasari oleh pengalaman sehari-hari yang bersifat intensional. Individu kemudian memilih sesuatu yang “harus” dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, danmempertimbangkan pula makna objektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut. Berbeda dengan fenomenologi yang memposisikan individu sebagai aktor menciptakan masyarakat, dan corak berpikirnya sangat filosofis, maka “Konstruksi Sosial” yang dibangun oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman (1967) lebih mencoba menyeimbangkan antara struktur (masyarakat) dan individu.
Mereka berangkat dari premis yang menyatakan bahwa manusia mengkonstruk realitas sosial meskipun melalyi proses subyektif namun dapat berubah menjadi obyektif. Dalam hal ini diandikan proses konstruk itu melalui pembiasaan tindakan yang memungkinkan aktor dan aktor lainnya mengetahui bahwa tindakan itu berulang-ulang dan memperlihatkan keteraturan. Dalam istilah fenomenologi, aktor akan dapat melakukan tipifikasi terhadap tindakan dan motif yang ada di dalamnya.
Hubungan antara individu dan institusi bersifat dialektifk atau interaktif dalam satu rumusan yang berisi tiga momen, yakni “masyarakat adalah produk manusia, masyarakat adalah relaitas obyektif, manusia adalah produk masyarakat.” Dialektika itu dimediasi oleh pengetahuan yang ada dalam memori yang diperoleh melalui pengalaman di satu pihak, dan di lain pihak dimediasi oleh peran individual sebagai representasi dari tatanan institusional.
Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa makna-makan umum yang dimiliki bersama dan diterima tetapi dilihat sebagai dasar dari organisasi sosial, namun maka yang berkembang di luar makna-makna umum merupakan hasil manusia yang muncul dari lingkungan sosial yang diciptakannya. Lingkungan itu adalah nilai-nilai dan makana-makna yang selalu berkembang, yang mulanya bersifat religi, yang fokus yang sesungguhnya dari organisasi sosial dan yang dimiliki secara bersama-sama oleh setiap orang. Makna-makna ini berkembangan dan di-obyektivasi-kan di dalam institusi-institusi sosial dan karena itu mensosialisasi anggota baru dari suatu masyarakat.
Apa yang mereka katakan sebagai masyarakat adalah produk manusia, “masyarakat adalah realitas obyektif dan manusia dalah produk sosial.” Dengan kata lain, manusia adalah produk dari masyarakat yang mereka ciptakan.
Konstruksi sosial sebenarnya “agak” sedikit lebih mencoba menyeimbangkan antara struktur (masyarakat) dan individu bila dibandingkan dengan Fenomenologi. Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna. Pemaknaan yang berbuntut pada tindakan ini didasari oleh penalaman keseharian yang bersifat intensional. Individu memilih sesuatu yang “harus’ dilakukan berdasarkan makna tentang sesuatu, dan mempertimbangkan pada makna obyektif (masyarakat) tentang sesuatu tersebut.
Dari pemikiran seperti itulah muncul tradisi Interaksionisme Simbolik. Tradisi ini, menurut salah satu pelapornya, Herbert Blumer bertumpu kepada tiga premis utama, yaitu: pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka (sesuatu yang dimaksud di sini bermakna obyek fisik,orang lain, institusi sosial dan ide atau nilai-nilai yang bersifat abstrak. Kedua, makna tersebut berasal dari hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan ketiga, makna-makna tersebut disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Implikasi dari ketiga premis tersebut, maka tindakan manusia bukan disebagbkan oleh “kekuatan luar” sebagaimana diandaikan oleh kaum fungsionalisme, maupu struktural konflik, tetapi juga bukan lantaran “kekuatan dalam” sebagaimana yang dipercaya oleh kalangan reduksionis psikologis. Individu atau aktor dalam hal ini yang benar adalah membentuk obyek-obyek. Individu senantiasa dalam keadaan merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dna mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut.
Oleh karena itu, aktor selalu berada dalam posisi sadar dan senantiasa bertindak reflektif, menghadapi obyek-obyek yang diketahuinya untuk kemudian diberikan makna-makna berdaarkan simbol-simbol tertentu. Proses inilah yang disebut Blumer dengan “self-indication” yang dilakukan aktor dalam konteks sosial, dalam proses mana individu senantiasa berupaya mengantisipasi tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan orang lain tersebut.


Metode Fenomenologi
Metode fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yangditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan obyek kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dibayangkan, diragukan, atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktikkan dengan cara yang sistematis, melalui berbagai langkah atau teknik. Spiegelberg dalam Phenomenologi Movement sebagaimana dikutip Henryk Misiak merinci tujuh langkah yang terdapat dalam metode fenomenologis. Yang paling mendasar dan digunakan secara luas adalah deskripsi fenomenologis. Menurut penafsiran dan terminologi Spiegelberg, deskripsi fenomenologis ini bisa dibedakan dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisa, dan menjabarkan secara fenomenologis. Mengintuisi artinya mengonsentrasikan secara intens ataumerenungkan fenomena. Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya. Sedangkan menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami orang lain.
Langkah lainnya dalam metrodologi fenomenologis adalah wessenchau, yang bisa diterjkemahkan menjadi “pemahaman terhadap esensi-esensi’ (insight of essemces), “pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi”. Aka tetapi Spiegelberg lebih suka menerjemahkan istilah ini menjadi “”pengintuisian esensi-esensi”. Istilah pengintuisian digunakan untuk menghindari kesamaran serta konotasi mistik yang disebut juga pengintuisian eidetik (eidetik intuiting). Kata eidetik berasal dari eidos, yang artinya esensi, yang dipinjam oleh Husserl dari Plato.
Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi membentuk bagian sentral dari fenomenologi transendental. Husserl menyatakan adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan mengalami suatu keadaan dari kesadaran yang belum direfleksikan yang menggambarkan fenomena sebagai mereka yang menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl mengidentifikasikan serangkaian tahap akan diambil filsof dari persepsi segar tentang fenomena yang dikenal untuk menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan yang berasal dari cara ini yaitu dari pikiran sehat, penjelasan ilmiah dan interpretasi-interpretasi lain atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri pemahaman yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan tentang dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya.

“The phenomenological method of deriving forms a central part of transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was possible to transcend presuppositions and biases and to experience a state of pre-reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the extraction of the essences that give the phenomena their unique character. Knowledge derived in this way would be free from the common-sense notoins, scientific explanations and other interpretations or abstractions that characterize most other forms of understanding. It would be a knowledge of the world as it appears to us in our engagement with it.”

Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda fenomenologi meliputi 3 (tiga) fase perenungan yang membedakan yaitu: epoche, reduksi fenomenologi dan variasi imajinatif. Epoche mensyaratkan penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interprestasi untuk memungkinkan kita menyadari secara penuh keberadaan apa yang nyata. Pada tahap reduksi fenomenologi kita menggambarkan fenomena yang menampakkan dirinya kepada kita secara total/utuh. Penggambaran itu meliputi penampilan fisik seperti bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri pengalaman seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam kesadaran kita ketika kita mengarahkan ke fenomena. Melalui reduksi fenomenologi kita mengidentifikasi unsur-unsur hakiki pengalaman akan fenomena. Dengan kata lain kita menjadi sadar tentang pengalaman seperti adanya. Variasi imajinatif meliputi usaha mencapai susunan komponen fenomena. Apabila reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang dialami (yaitu teksturnya), imajinasi “menanyakan” bagaimana pengalaman itu mungkin (yaitu struktur). Tujuan variasi imajinasi adalah mengidentifikasikan kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan tanpa hubungan tersebut tidak mungkin akan menjadi sesuatu. Kondisi ini dapat meliputi waktu, ruang atau hubungan social. Akhirnya gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena.
Yang harus diperhatikan bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diridari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian. Adalah merupakan suatu keharusan dalam mengeksplorasi kesadaran itu seluruh penyimnpangan, teori-teori, keyakinan-keyakinan, dan corak-corak berpikiryang telah menjadi kebiasaan, disingkirkan atau disimpan dalam tanda kurung (bracketed), kata Husserl, meminjam konsep yang berasal dari matematika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar