Sabtu, 18 Juni 2011

Pendidikan Dalam Kepungan Liberalisasi
MEMASUKI usia kemerdekaan ke-63, bangsa ini dipaksa oleh sejarah untuk terus mengarungi samudra liberalisasi. Tidak tersedia ruang untuk menawar, hanya saja kita harus lebih cerdas dalam menempatkan diri. Sebab, seumpama sebuah biduk, Indonesia sangat kecil lagi rapuh. Karena itu, jangan dibawa ke tengah lautan, cukup bermain di pinggir sehingga tidak mencelakakan diri sendiri.
Begitulah benang merah dari diskusi tentang Liberalisasi Indonesia yang digelar Media, pekan lalu. Diskusi digelar dalam rangka memotret Republik yang besok tepat berusia 60 tahun ini. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu, yakni pendidikan, agama, sosial budaya, ekonomi, dan politik tampil sebagai narasumber.
Di bidang agama, Yunahar Ilyas dan Ulil Abshar Abdalla memaparkan pendapat mereka. ''Pada dasarnya Islam sangat terbuka dengan perubahan,'' ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia Yunahar Ilyas. Sedangkan Ulil Abshar Abdalla dari Jaringan Islam Liberal yang belakangan ini sangat keras mengkritik fatwa MUI mengatakan, ''Islam tidak boleh menjadi faktor penghambat berkembangnya paham demokrasi, pluralisme, dan liberalisme.''
Di bidang ekonomi, Didiek J Rachbini berpendapat bahwa liberalisasi akan mendorong pertumbuhan sebagaimana terjadi di China. Bahkan Raden Pardede mengidentifikasi saat ini tinggal Korea Utara, Burma, dan Kuba yang masih kukuh untuk menutup diri. ''Risiko yang mereka tanggung sangat jelas mengalami ketertinggalan di hampir segala bidang kehidupan,'' katanya.

Sosiolog Ignas Kleden dan pakar pendidikan Vincent Didiek Wiet Aryanto juga mengatakan hal yang senada, ''Mau tidak mau, disadari atau tidak, saat ini kita tidak bisa melepaskan diri dari liberalisme,'' ujar Ignas Kleden.
Liberalisasi memang sebuah keniscayaan, ujar Ulil Abshar Abdalla. ''Jauh hari Bung Karno telah melemparkan istilah api Islam, sebagai harapan muslim membuka akal dan budi agar tidak terkungkung pada teks formal,'' ujarnya.
Menurut Ulil, liberalisme dalam pemikiran agama intinya adalah gagasan tentang pentingnya penghargaan atas perbedaan pendapat, yang berkembang dalam masyarakat berkenaan pemahaman keagamaan mereka. Jadi, perbedaan-perbedaan itu sebisa mungkin diakomodasi.

Yunahar Ilyas tidak menampik spirit kebebasan yang ditegaskan Ulil tersebut. Katanya, ''Islam tidak antikebebasan. Bahkan Alquran menyebutkan siapa yang menghendaki beriman, silakan beriman. Sebaliknya siapa yang ingin kufur, silakan kufur.''
Fatwa MUI (yang di antaranya mengharamkan pluralisme dan liberalisme dalam akidah) tidak diarahkan untuk membunuh kebebasan. ''Sebagai konsekuensi iman, kita harus akui bahwa memang ada yang bisa diubah, tetapi ada bagian lain yang hanya bisa diimani. Karena itu, fatwa tersebut harus diletakkan dalam konteks yang benar, yaitu melindungi iman,'' ujarnya.

Pendapat Yunahar tersebut menyuntikkan energi bagi peserta diskusi, untuk mencari batas seberapa jauh biduk Indonesia itu harus diluncurkan ke tengah-tengah samudra liberalisasi.

Sebab, dalam kacamata Jaleswari Pramodhawardhani, Benny Susetyo, dan Rico Marbun yang hadir sebagai penanggap dalam diskusi itu, liberalisasi adalah produk asing yang justru menjungkirbalikkan peradaban. ''Indonesia telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, kita semua terperosok alam nilai-nilai materialistik,'' ujar budayawan Benny Susetyo.

Senada dengan itu, aktivis perempuan Jaleswari Pramodhawardhani menuding liberalisasi sebagai biang kerok terjadinya dehumanisasi. ''Dunia hanya dimaknai dengan kekuatan yang melahirkan ritus penindasan dan kekerasan baru. Hak-hak perempuan dilanggar, hedonisme menjadi gaya hidup,'' ujarnya.
Mantan aktivis mahasiswa Rico Marbun secara lebih tegas mengatakan bahwa liberalisasi harus bertanggung jawab atas olengnya perekonomian Indonesia, menumpuknya jumlah penganggur, bertambahnya orang miskin dan menurunnya kualitas hidup rakyat kecil. ''Liberalisasi di sektor perdagangan harus kita kritisi,'' tegas dia.
Mendapatkan kecaman seperti itu, pengamat politik Rizal Mallarangeng mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang tanpa batas, termasuk juga liberalisasi. ''Di Amerika saja, yang dikenal sebagai kakek moyangnya kebebasan, masyarakat tetap diikat oleh konstitusi,'' ujarnya.

Menurut Direktur Freedom Institute ini, liberalisasi membutuhkan aturan dan pemerintahan yang kuat. Negara harus hadir tetapi tidak untuk mengurusi semuanya, lebih sebagai mediator dan hakim agung yang bertugas sebagai pemutus terakhir jika terjadi persoalan di masyarakat, termasuk distribusi dalam aset-aset masyarakat. ''Memang akan terjadi pararelisasi ketika negara sangat kuat, tetapi dengan itu masyarakat menjadi sangat bebas dan berkembang,'' ujarnya.

Dalam konteks demi kesejahteraan rakyat itulah, Didiek J Rachbini setuju bila negara melakukan proteksi terhadap bidang-bidang yang akan merugikan rakyat. ''Ini ibarat bermain kartu, apakah semua kartu akan kita buka. Jawabnya kan tidak,'' ujarnya.
Ia mengaku sebagai salah seorang pendorong agar pemerintah melakukan proteksi terhadap komoditas beras. Sikap itu bukan balas dendam atas kebijakan Amerika yang juga memproteksi sektor pertaniannya, ''Ekonomi rakyat akan hancur bila keran impor beras dibuka. Petani kita tidak siap, '' ujarnya.
Rizal Mallarangeng memotong pembicaraan dengan mengingatkan bahwa mekanisme proteksi tersebut tidak bisa dipertahankan, karena memakan biaya yang tinggi yaitu ketidakmandirian di salah satu sektor produksi. ''Bisa saja kali ini benar, tetapi mungkin nanti keliru. Intinya proteksi dalam jangka panjang bukan menjadi sumber kekuatan, tetapi sumber kelemahan,'' katanya.

Meski demikian, Didiek J Racbhini tetap yakin bahwa gelombang liberalisasi itu harus diwaspadai, karena sering membawa penumpang gelap yaitu pasar gelap, perburuan rente, dan kartel. ''Kita jangan mengulangi kesalahan para teknokrat yang membawa biduk Indonesia ke tengah lautan dan oleng, yang akibatnya sampai saat ini masih kita rasakan, yaitu krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kita tidak boleh mati konyol hanya karena terlalu bersemangat menyambut liberalisasi,'' ujarnya dengan nada keras.
Senada dengan itu, pengamat pendidikan Vincent Didiek Wiet Aryanto mengatakan bahwa dunia pendidikan pun sedang pusing menghadapi serbuan liberalisasi. Masuknya lembaga pendidikan asing ke Indonesia, cukup menohok. ''Sebagian anak orang berduit lebih memilih sekolah internasional, padahal lapisan itulah yang selama ini menghidupi dunia pendidikan swasta,'' ujarnya. Alhasil, sekolah swasta mulai menjaring anak-anak dari level menengah yang selama ini menjadi porsi bagi sekolah negeri. ''Secara teknis memang tidak merugikan,'' katanya.

Persoalan justru akan muncul dalam tataran kebudayaan, karena pendidikan asing itu datang dengan kerangka berpikir yang berbeda. Contoh kecil saja, beberapa tahun lalu di Surabaya ada heboh karena sebuah sekolah internasional tidak mengharuskan anak didiknya untuk menghormat bendera Merah Putih.
Menurut Ulil Abshar Abdala menghadapi masuknya pendidikan asing itu kita harus bersikap hati-hati. ''Ini bukan berarti saya melawan tesis kebebasan yang selama ini saya hayati,'' katanya.

Menurut Ignas Kleden pintu saringan itu memang bisa diciptakan, namun persoalannya apakah cukup kuat untuk menghadapi tekanan globalisasi. ''Benteng pertahanan kita mudah jebol,'' ujarnya.

Karena itu andalan terakhir yang diusulkan Ignas Kleden adalah mendorong dunia pendidikan agar lebih mengutamakan penguatan individu anak didik itu sendiri. Selama ini dunia pendidikan masih berorientasi mengarahkan anak didik untuk taat kepada kekuasaan, sebagaimana dikembangkan selama Orde Baru. ''Anak didik harus dirangsang untuk berpikir sendiri, menggunakan pemikirannya sendiri dan bertanggung jawab atas pikirannya sendiri,'' ujarnya.

Menurut Ignas, sebagai sebuah bangsa, kita membutuhkan individu-individu yang kuat, berani berpikir dan menggunakan pemikirannya sendiri, sehingga tidak lagi bisa didikte kekuatan asing. Bagaimanapun juga, kita telah kehilangan hak bermimpi untuk bisa menghindari dari serbuan liberalisasi itu.
Dalam konteks itulah, kata Yunhar Ilias, MUI mengeluarkan fatwa yang dimaksudkan untuk membentengi umat Islam dari pengaruh buruk liberalisasi. ''Kepentingan kita hanya satu, yaitu menghadang globalisasi yang mendatangkan dampak negatif,'' ujarnya. Ia mengakui bahwa upaya pembendungan pengaruh buruk itu telah menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat, bahkan di antara sesama muslim.
Liberalisasi tidak bisa dibendung, karena hal itu sama seperti manusia menghadapi pertambahan umur. Umur tidak bisa ditolak, yang bisa dilakukan adalah bersikap arif agar seperti kata Ulil Abshar Abdala, berkembang suasana dialogis agar kita tidak salah dalam menempatkan biduk Indonesia di tengah-tengah samudra liberalisasi.
“ Lelang Anak Asuh “ Menyelamatkan Pendidikan Anak Anak Miskin
Problem pemerataan akses pendidikan nampaknya masih menjadi persoalan bagi pendidikan di Surabaya, terbukti berdasar data yang dirilis oleh Bappemas Surabaya beberapa waktu yang lalu masih ada sekitar 32.000 anak usia sekolah yang terancam putus sekolah. Akar utama dari ancaman tersebut disebabkan oleh adanya kemiskinan.
Bagi kalangan miskin biaya pendidikan merupakan hal utama demi keberlangsungan pendidikan mereka. Memang, pemerintah telah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan diikutui dengan bantuan pendidikan berupa BOS baik yang bersumber dari APBN maupun APBD seperti kota Surabaya, tapi yang jadi persoalan adalah dengan adanya BOS, jarang sekali sekarang kita temui sekolah “ murah “, biaya sekolah menjadi semakin “ mahal “, terlebih lagi tidak ada kontrol yang jelas bagi penggunaan dana tersebut. Akibatnya, meski ada bantuan dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tetap saja anak anak dari keluarga miskin terancam untuk bisa melanjutkan pendidikannya.
Sungguh sangat ironis dan memprihatinkan kondisi semacam ini, betapa tidak ditengah perdebatan tentang besaran anggaran pendidikan yang ada, ternyata ditingkat lapis paling bawah, sekolah, belum juga bisa menghitung berapa sesungguhnya kebutuhan “ riil “ bagi operasional sekolah dalam satu tahun proses pembelajaran.Akibatnya kita sebagai masyarakat tidak pernah tahu berapa investasi pendidikan sesungguhnya yang harus kita keluarkan untuk satu tahun proses pembelajaran. Yang lebih parah lagi adalah kita juga tidak bisa mengukur capaian keberhasilan yang dilakukan oleh sekolah selama satu tahun pembelajaran, padahal kucuran dana baik yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat telah didapatkan oleh sekolah demi kebutuhan tersebut.
Tentu bagi kita sebagai masyarakat, terutama yang menaruh perhatian terhadap persoalan pendidikan, hal semacam ini, memprihatinkan dan meminta kepada pemerintah daerah untuk segera bisa menghitung besaran investasi yang dibutuhkan untuk sebuah proses pembelajaran tiap anak tiap jenjang pendidikan tiap tahun. Dengan tahu besaran kita jadi semakin bisa mengetahui dan sekaligus peduli seberapa besar tanggung jawab kita sebagai masyarakat untuk membantu pemerintah memenuhi kekurangan investasi pendidikan yang telah dikeluarkan.
Beberapa waktu yang lalu, Dewan Pendidikan Surabaya pernah merilis besaran investasi yang dibutuhkan tiap anak selama setahun dalam jenjang pendidikan yang berbeda, tapi sampai saat ini kita juga tidak pernah tahu kelanjutan dari masukan tersebut untuk ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah ataupun DPRD kota Surabaya. Ya memang mungkin masukan itu dianggap belum sempurna, tapi setidaknya sebagai bagian dari partisipasi masyarakat, tentu masukan itu perlu “ diapresiasi “. Sudah lama masyarakat kita menunggu untuk mengetahui besaran investasi pendidikan sebagai standard layanan minimal pendidikan bermutu.
Terlepas dari apa yang sudah dan belum dilakukan oleh pemerintah maupun sekolah, investasi pendidikan bagi keluarga miskin tetap harus jalan, kerena tidak satupun bagi keluarga miskin yang bercita cita mempertahankan kemiskinannya dengan tidak menyekolahkan anaknya, bagi mereka meski berat, mereka harus terima dan usahakan untuk mengatasinya.Mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali berusaha untuk mengatasinya, meski mereka harus mengajukan bantuan kepada pihak pihak lain.

“ Lelang Anak Asuh “ Sebuah Alternative
Keterbatasan akses yang dimiliki oleh keluarga miskin, tentu tidak bisa dibiarkan tanpa kepedulian kelompok masyarakat yang lain, setidaknya bagi keluarga miskin, mereka perlu “ teman “ berbagi untuk mengatasi masalah investasi pendidikan yang mereka hadapi.
Adanya lembaga lembaga masyarakat yang peduli bagi pendidikan keluarga miskin, bisa menjadi sebuah harapan bagi keluarga miskin untuk dapat berbagi, yang terpenting sebetulnya adalah sikap pemerintah untuk mengakomodir lembaga lembaga ini agar bisa dijadikan “ partner “ untuk menyelamatkan pendidikan anak anak dari keluarga miskin.
Sesuatu yang unik barangkali telah ditawarkan oleh Baitul Maal Hidayatullah ( BMH ) Surabaya, didalam membantu menyelamatkan pendidikan anak anak dari keluarga miskin, Lembaga tersebut menawarkan lelang anak asuh sebagai sebuah program penyelamatan pendidikan anak anak miskin. Mereka melakukan pendataan terhadap anak anak yang terkategori berasal dari keluarga miskin, setelah itu mereka menghitung besaran investasi yang dibutuhkan,besaran investasi yang dihitung itu meliputi biaya kebutuhan langsung yang harus dikeluarkan oleh masyarakat seperti baju seragam, sepatu, dan lain lain. Baru setelah itu besaran investasi yang sudah dihitung ditawarkan kepada masyarakat umum yang peduli. Berdasar data yang dihimpun, sampai saat ini BMH telah menghitung kebutuhan 1000 anak dan siap untuk “ dilelang “.
Nampaknya gayung bersambut, ketika program itu pertama kali diluncurkan setahun yang lalu, berdasar data yang ada, mereka mampu “ menjual “ sekitar 431 anak, dengan kata lain masih ada ratusan anak yang menunggu partisipasi masyarakat untuk bisa terselamatkan.
Hal lain yang juga dilakukan oleh kawan kawan Wartawan Peduli Pendidikan ( WPP ) Surabaya, mereka menghimpun dana “ jimpitan “ seribuan dari kalangan mereka setiap bulan, dan dari dana tersebut kelompok WPP bisa membantu beberapa anak usia sekolah untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya diluar SPP mulai dari SD sampai SMA.
Beberapa lembaga lain tentu juga banyak yang menawarkan program penyelamatan pendidikan anak anak dari kalangan keluarga miskin, mereka tawarkan pembiayaan pendidikan dengan pemberian beasiswa atau sejenisnya. Partisipasi publik seperti ini, sekecil apapun perlu untuk diakomodir dan ditindak lanjuti program programnya. Pemerintah daerah tentu sangat berkepentingan terhadap kelompok masyarakat seperti ini. Hal yang paling bisa dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap kelompok kelompok masyarakat seperti ini adalah mengajak mereka untuk berbagi dalam penanganan masalah yang ada.
Diperlukan Pemetaan Partisipasi Publik
Sepertinya tidak ada jeleknya , kalau kita sebagai masyarakat Surabaya menengok kota Semarang , dalam rangka menggalang partisipasi publik, pemerintah kota meluncurkan program Semarang Pesona Asia ( SPA ). Program itu digelar selama 5 hari pada akhir bulanAgustus 2007 sampai dengan awal September 2007 mendatang. Program yang diluncurkan sebagaimana informasi yang dirilis adalah untuk mengenalkan kota Semarang pada dunia luar, Semarang adalah kota yang menarik untuk dikunjungi dan untuk berinvestasi. Tentu ujung dari semua itu adalah program SPA bisa memberi nilai tambah bagi Semarang yang pada akhirnya bisa mensejahterakan masyarakatnya. Pemerintah kota tersebut sadar bahwa program itu tidak bisa dilakukan sendirian, mereka perlu menggalang partisipasi warganya. Akhirnya dengan berbagi peran, pemerintah membagi wilayah peran masyarakatnya untuk berbagi partisipasi.
Surabaya sebagai kota besar tentu punya kepentingan yang sama seperti kota Semarang . Beban yang dihadapi pemerintah kota begitu komplek, oleh karenanya kita juga tidak yakin pemerintah kota mampu menyelesaikan persoalannya, partisipasi warga perlu ditumbuhkan. Oleh karenanya berbagi persoalan dan cara penyelesaiannya perlu ditawarkan kepada warganya. Dengan berbagi, kita berharap bahwa masyarakat Surabaya akan merasa memiliki kotanya, karena mereka merasa telah “ diapresiasi “ sebagai warga kota. Tentu perlu keberanian dan kemauan bagi pemerintah kota untuk terbuka dan berbagi.
Begitu juga dalam menghadapi persoalan pendidikan, untuk menghindari pembiayaan ganda bagi anak anak miskin , perlu diatur bagaimana berbagi dalam penanganan. Hal itu perlu dilakukan, mengingat besaran persoalan yang dihadapi, tidak mungkin hanya bisa dilakukan oleh satu kelompok saja, oleh karenanya, pemetaan partisipasai publik mendesak untuk dilakukan.
Ilustrasi sederhana dari pemetaan partisipasi publik untuk membantu pemerintah mengatasi investasi pendidikan bagi anak anak dari kalangan keluarga miskin adalah, bila diasumsikan warga Surabaya sebesar 3 juta jiwa dan 20 persennya adalah dari kalangan mampu, maka akan ada 600 ribu jiwa. Kalau mereka diminta partisipasinya 1000 rupiah setiap bulan , maka akan terkumpul 600 juta setiap bulan, 1 tahun akan tersedia dana 7.2 milyard. Luar biasa, dengan dana sebesar itu kita semua yakin akan bisa membantu pemerintah kota dalam mengatasi persoalan pendidikannya. Selanjutnya biarlah dengan dibagi perannya oleh pemerintah, para donatur tersebut ditangani oleh lembaga lembaga yang kompeten dan ditunjuk oleh pemerintah kota.
Ya, kita sedang menunggu sebuah kemauan baik pemerintah kota untuk berbagi, setidaknya sebagai warga kota, tanpa harus menunggu dan meminta kepada pemerintah kota, marilah kita memberi, sekecil apaun yang kita berikan, mungkin akan bermanfaat bagi orang lain, lebih lebih masyarakat Surabaya yang sudah lama terkenal dengan gotong royongnya. Semoga jiwa solider dan gotong royongnya masih terpupuk tebal. Akhirnya buat Surabayaku “ Selamat berulang tahun “ .
BOS, Seharusnya Tidak Menciptakan Ketergantungan
Setelah berjalan kurang lebih sekitar tiga tahunan, Pemerintah mengucurkan dana bantuan operasional sekolah yang lebih dikenal dengan BOS. Upaya tersebut dimaksudkan untuk membantu penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Dengan kata lain bahwa bantuan tersebut diharapkan dapat meringankan beban masyarakat didalam mengalokasikan dananya untuk kebutuhan pendidikan putra putrinya yang menempuh jenjang pendidikan dasar dari mulai SD sampai dengan SMP. Bahkan dibeberapa daerah sudah mulai mendedikasikan APBD nya unuk wajib belajar 12 tahun, seperti Gresik dan nampaknya juga Pemerintah Propinsi Jawa Timur juga akan menjadikan wajib belajar 12 tahun sebagai salah satu programnya.
Sebagai sebuah program bantuan, BOS tentu tidak bisa diharapkan akan menjadi program pemerintah yang terus menerus dilakukan, karena hal itu tidak mendidik dan menciptakan ketergantungan pihak sekolah dan masyarakat. Sebagai akibatnya sekolah menjadi tidak berdaya kalau dana BOS terlambat turun, disamping itu tanggung jawab orang tua sebagai bagian masyarakat juga menjadi lemah , sebagai contoh ungkapan dari beberapa guru dibeberapa sekolah yang mengatakan, ” Setelah dana BOS diturunkan, sebagian walimurid disekolah sekolah tertentu seolah melepaskan tanggung jawabnya dan memasrahkan kepada sekolah, kalau dana BOS terlambat turunnya, sekolah yang repot, tidak ada biaya dan anggapan orang tua, kan sudah dibantu pemerintah ”.
Tentu anggapan semacam itu adalah tidak benar, karena bagaimanapun pendidikan itu pelu beaya investasi dan beaya itu tidak sedikit. Persoalannya adalah siapakah yang harus menanamkan investasi tersebut. Dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah, salah satu dintaranya adalah hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu, dilain pihak kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana demi mewujudkan pendidikan yang bemutu tersebut. Tapi pada kenyataanya kemampuan pemerintah sangat terbatas sementara pada sisi yang lain tuntutan untuk mendapatkan layanan pendidikan bermutu sangat tinggi, disisnilah kemudian peran masyarakat stakeholder pendidikan sangat diperlukan.
Lemahnya Pelibatan Partisipasi Publik
Sebagaimanan hasil penelitian Dewan Pendidikan Surabaya, tentang beberapa pokok persoalan pendidikan di Surabaya, ada lima hal setidaknya yang bisa dihimpun, yaitu, pertama , Masih belum meratanya kualitas pendidikan, termasuk didalamnya akses pendidikan dan sarana prasarananya, sehingga masih sering dijumpai adanya disparitas pendidikan antara sekolah pinggiran dan sekolah non pinggiran. Kedua, Tidak meratanya mutu pendidikan antara wilayah satu dengan wilayah yang lain, ketiga, Belum adanya standard biaya pendidikan minimal bermutu, sehingga masyarakat tidak tahu berapa sebenarnya investasi yang harus mereka keluarkan untuk sebuah pendidikan yang layak didapatkan, hal ini berakibat capaian hasil pendidikan tidak bisa diukur, apakah sudah sesuai dengan investasi yang dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat terhadap hasil yang telah dicapai. Keempat , Pemberdayaan lingkungan pendidikan, serta yang kelima, Masih lemahnya pelibatan partisipasi publik.
BOS sebagai salah satu sumber pendanaan kegiatan sekolah tentu pada saat ini menjadi tumpuan bagi berjalannya kegiatan sekolah, sehingga tanpa adanya BOS seolah olah kegiatan sekolah tidak bisa berjalan, oleh karenanya keterlambatan turunnya dana Bos akan menjadi persoalan bagi berlangsungnya kegiatan program sekolah, apalagi kalau sampai dihapuskan.
Tentu, tidak berlangsungnya kegiatan sekolah hanya karena dana BOS terlambat apalagi dihapuskan adalah sebuah gambaran yang tidak kita harapkan, karena kita tahu keterbatasan anggaran yang pemerintah miliki, oleh karenanya untuk mengatasi itu diperlukan upaya cerdas untuk mencari alternative lain pendanaan bagi kegiatan sekolah.
Sekolah dalam hal ini kepala sekolah sebagai seorang manajer disekolah beserta para guru mempunyai peran penting didalam menggali alternative pendanaan kegiatan sekolah. Peran penting yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan dukungan stakeholder sekolah diantaranya dukungan dari komite sekolah.
Komite sekolah sebagai salah satu stakeholder merupakan wakil masyarakat yang ada disekolah diharapkan dapat mendukung program program yang sudah dirancang sekaligus sebagai salah satu sumber pendanaan. Selain itu juga komite sekolah diharapkan untuk bisa berperan mencarikan dukungan dana bagi berlangsungnya program program sekolah.
Persoalannya hal ini jarang bisa terjadi , mengapa ? Hal ini tidak bisa terlepas dari anggapan masyarakat selama ini bahwa sekolah ketika mengundang wali murid hanya pada saat membutuhkan dukungan dana untuk program programnya, diluar itu jarang sekali melibatkan peran masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak merasa memiliki program program tersebut , yang pada akhirnya masyarakat enggan untuk bisa diharapkan memberikan dukungan.
Lemahnya pelibatan partisipasi publik yang berakibat lemahnya dukungan harus diatasi dengan melakukan penguatan pelibatan partisipasi . Sekolah bisa mengoptimalkan peran mereka dengan melibatkan mereka dalam merancang program program sekolah. Penguatan itu bisa dimulai dengan melakukan semacam ” kontrak belajar ” antara pihak sekolah dan walimurid.
” Kontrak belajar ” yang dimaksud adalah dengan mencari masukan dan keinginan para wali murid tentang hasil yang diharapkan terhadap putra putrinya selama menempuh proses belajar disekolah tersebut. Selanjutnya dari proses ’ kontrak belajar ” belajar itu masyarakat juga dilibatkan untuk menghitung kebutuhan investasi pendanaannya. Dengan demikian masyarakat akan tahu berapa sebenarnya kebutuhan investasi untuk melaksanakan program program tersebut.
Disamping itu dukungan dana bisa didapatkan dari pihak pihak lain diluar wali murid, semisal dukungan dari perusahaan atau BUMN. Untuk bisa mendapatkan dukungan pendanaan dari perusahaan ataupun BUMN, sekolah juga diharapkan mampu mengemas program program sekolah yang ” unik ” dan mempunyai ” nilai jual ”. Sebab dengan unik dan mempunyai nilai jual, akan memberi nilai tambah bagi perusahaan atau BUMN pendukung. Prinsip saling memberi dalam kerjasama ini harus dikedepankan, artinya perusahaan atau BUMN pendukung akan mendapat manfaat apa dari dana yang dikeluarkan dan sekolah bisa melakukan apa dengan dana tersebut.
Perlu Dibangun Kepercayaan
Kepercayaan, tidak dapat dipungkiri merupakan modal utama bagi siapapun untuk bisa mendapatkan dukungan mewujudkan tujuan tujuannya. Begitu juga dengan sekolah, tentu kepercayaan para stakeholder merupakan modal utama dalam meraih dukungan. Sebuah kepercayaan akan bisa didapatkan bila dibangun dengan keterbukaan. Keterbukaan yang dikamksud adalah kemamuan baik pihak sekolah untuk bisa berbagi peran dengan pihak pihak lain didalam mewujudkan program program sekolah.
Kemauan untuk berbagi dengan pihak lain adalah merupakan poin penting untuk meraih kepercayaan. Mengapa ? karena dengan menyadari bahwa keterbatasan yang ada tentu akan mengundang pihak pihak lain untuk terlibat dalam mewujudkan program program sekolah, sehingga terjadi pembagian peran yang jelas. Dari peran peran yang ada tentu masing masing pihak sudah bisa menghitung kira kira keuntungan apa yang bisa didapatkan dengan keterlibatannya. Tentu, keuntungan yang dimaksud tidak harus berupa keuntungan financial, tetapi bisa juga nerupakan keuntungan keuntungan yang lain, semisal terpublikasinya peran yang diberikan.
Walhasil terbangunnya sebuah kepercayaan merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar bila sekolah ingin mendapatkan dukungan, oleh karenanya diperlukan sebuah keterbukaan dalam menyusun program dan penganggarannya, agar supaya pertanggung jawaban dari penggunaan dana yang ada tidak menimbulkan dugaan dugaan yang tidak baik dan berujung pada ketidakpercayaan.
Kita semua tentu yakin dan berharap bahwa sekolah kita mampu membuat program program yang unik dan punya nilai jual serta mampu mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang ada, sehingga kepercayaan yang berakibat pada dukungan dana bisa didapatkan, kedepan BOS tidak boleh lagi menjadi sebuah ketergantungan.
Menyoal Rayonisasi PSB Surabaya Tahun 2006
Membaca pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya tentang penerimaan siswa baru, sebetulnya tidak ada yang baru dibanding dengan sistim penerimaan dua tahun lalu yang sudah berjalan, yaitu penerimaan siswa baru menggunakan daftar nilai siswa yang didapatkan dari UKM untuk SD dan nilai hasil ebtanas murni untuk SMP, adanya rayonisasi sekolah yang dikelompokkan berdasar kedekatan tempat serta pembatasan siswa dari luar kota.Hanya yang kelihatan “ seolah olah “ baru adalah pola penerimaan siswa baru diluar rayon yang terdekat dengan tempat tinggal siswa, cuma diberi kesempatan untuk memilih satu sekolah diluar sub rayon yang terdekat dengan tempat tinggalnya .( Jawa Pos, 23 Februari 2006 )
Nampak sepintas kebijakan itu cukup bagus untuk mencegah pengelompokkan pilihan siswa terhadap satu sekolah, tapi yang menjadi pertanyaan adalah : “ Apakah dengan model rayonisasi diatas siswa bisa dicegah untuk tidak memilih sekolah pilihannya diluar rayon yang dekat dengan tempat tinggalnya ? Bagaimana dengan siswa yang secara persyaratan diperbolehkan memilih dan bisa diterima lebih dari satu sekolah pilihan diluar rayon yang dekat dengan tempat tinggalnya ?
Tentu apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya dengan rayonisasi diatas dimaksudkan untuk mempercepat ide sekolah kawasan yang secara “ syahwat untuk mewujudkannya “ sedang diupayakan untuk terwujud pada tahun 2006, yang jadi pertanyaan adalah : “ kebutuhan siapa sekolah kawasan itu ?
Paradigma Masyarakat Tentang Sekolah “ Favorit “
Sekolah “ Favorit “ dalam anggapan masyarakat, tentu punya parameter parameter yang menjadi kebutuhan masyarakat, parameter yang paling sederhana adalah sebuah sekolah dianggap “ Favorit “ bila para alumni dari sekolah tersebut bisa melanjutkan pilihan pendidikannya pada sekolah yang dianggap bermutu, sarana prasarana sekolah yang ada memadai untuk proses pembelajaran putra putrinya, dan yang lebih fatal lagi bahwa sekolah favorit adalah sekolah yang ada ditengah kota atau sekolah yang dekat dengan tempat tempat favorit untuk memenuhi kebutuhan rekreatif siswa.
Dengan demikian pilihan masyarakat terhadap suatu sekolah adalah pertimbangan rasional berdasar pada keinginan orang tua agar putra putrinya mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Kalau sudah seperti ini, apakah mungkin pembatasan dengan rayonisasi diatas bisa efektif mencegah keinginan masyarakat utnuk menyekolahkan putra putrinya disekolah sekolah favorit yang nota bene lebih banyak dipusat kota ? dan haruskah “syahwat untuk mewujudkan pemerataan pendidikan di Surabaya “ harus melanggar Undang undang Sisdiknas yang berbunyi : “ Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu “ ( pasal 5 : 1 )
Pemerataan Pendidikan
“ Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan , serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi “ ( pasal 11 : 1 UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 ). Tentu bila mengacu pada ketentuan tersebut tidak boleh siapapun melarang setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu dan pemerintah wajib menyediakannya, tanpa alasan apapun.
Lalu bagaimana melakukan pemerataan mutu pendidikan di Surabaya ? Pemerataan mutu pendidikan tentu bukan hanya kebutuhan pemerintah saja, masyarakat sebagai “ user “ sangat berkepentingan untuk itu. Pemerataan mutu pendidikan diharapkan tidak bertentangan dengan logika masyarakat tentang sekolah “ bermutu “ atau “ favorit “. Kalau logika itu bisa dipenuhi, masyarakat tentu tidak akan mencari sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya.
Adapun upaya upaya konkrit yang bisa dilakukan guna mempercepat proses pemerataan mutu pendidikan ditengah keterbatasan anggaran yang ada tentu bisa dilakukan dengan mengglakkan program sekolah asuh, yaitu sekolah yang dianggap bermutu dan baik melakukan pendampingan proses pembelajaran kepada sekolah yang dianggap perlu ditingkatkan mutunya. Sambil dilakukan pembenahan masalah sarana prasarana penunjangnya.
Jadi, rayonisasi PSB tahun 2006, sesungguhnya tidak akan bisa efektif mencegah berduyun duyunnya masyarakat utnuk menyekolahkan putra putrinya pada sekolah sekolah yang selama ini dianggap “ favorit “, selama belum dilakukan upaya upaya konkrit utnuk memenuhi logika masyarakat pada sekolah sekolah yang sedang dikelompokkan oleh Diknas Kota Surabaya menjadi rayonisasi yang ideal.
Biarkan Mekanisme Pasar Berlaku
Seperti layaknya didunia industri dan dagang, sesuatu bisa terbeli oleh masyarakat, bila sesuatu itu relative murah dan bermutu. Sekolah sebagai sebuah perusahaan “ jasa “ yang mengelola “ input “ berupa siswa dengan kulifikasi yang sudah ditentukan oleh masing masing sekolah , melakukan proses pembelajaran dan kemudian menghasilkan “ output “ berupa lulusan, sudah selayaknya harus menetukan “ harga “dari proses pembelajaran yang dilakukan. “ Harga “ itulah yang harus disebutkan terlebih dahulu oleh sekolah sebelum penerimaan siswa baru disekolah itu dilakukan. Dengan demikian masyarakat bisa menilai, apakah mereka punya kemampuan untuk membayar harga yang ditentukan oleh pihak sekolah atau sudah sesuaikah harga yang dtentukan oleh sekolah dengan “ output “ yang dihasilkan ?
Dengan mekanisme semacam itu tentu pihak sekolah akan lebih berhati hati menentukan “ education cost “ , karena sekolah juga akan mengukur “ education cost “ nya dengan kemampuan daya beli masyarakat terhadap pendidikan putra putrinya. Jadi bukan seperti selama ini, biaya pendidikan ditentukan oleh pihak sekolah setelah siswa diterima pada sekolah pilihan.
Mekanisme semacam ini tentu akan meningkatkan daya tawar masyarakat kepada pihak sekolah, artinya masyarakat mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan terhadap tempat pendidikan bagi putra putrinya. Sekolah yang dianggap mahal atau kurang bermutu akan ditinggalkan. Kalau sudah demikian tentu akan mendorong sekolah melakukan kompetesi meningkatkan mutunya dan layanannya agar menjadi pilihan masyarakat
Peran Dinas Pendidikan Kota
Sebagai lembaga yang mempunyai kebijakan untuk menentukan arah pendidikan di Surabaya, Dinas Pendidikan Kota tentu diharapkan lebih aspiratif menyerap keinginan warga kota tentang idealnya pendidikan di Surabaya dan bagaimana proses rekruitmen siswa barunya, kalau tidak, bukan tidak mungkin akan muncul gejolak masyarakat seperti yang sudah sudah selama ini.
Dalam hal Penerimaan Siswa Baru diharapkan pengambilan kebijakan yang dilakukan lebih banyak berpijak dari hasil evaluasi PSB tahun yang lalu dan menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat, jadi bukan mengambil keputusan sepihak yang tentu akan mengundang banyak kontroversi dimasyarakat.
Disisi lain sejalan dengan otonomi sekolah, tentu diharapkan ada desentralisasi kebijakan pendidikan pada tingkat sekolah, biarlah sekolah yang menentukan standard biaya dan proses penjaringan siswa barunya, Dinas Pendidikan Kota hanya membuat regulasinya saja, tanpa harus intervensi terhadap kebijakan kepala sekolah. Sebagai contoh : Dinas Pendidikan Kota menentukan biaya minimal maksimal pendidikan di Surabaya, selanjutnya Dinas Pendidikan Kota mengupayakan biaya biaya untuk proses minimal maksimalnya, kekurangan dari ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya, biarlah Kepala Sekolah yang mencarinya. Jadi kalau “ Education Cost “ sebuah sekolah sudah diketahui oleh masyarakat, berapa bantuan dari pemerintah dan berapa kekurangan yang harus ditanggung oleh masyarakat tentu masyarakat akan bisa menghitung kemampuannya dan menentukan pilihan pilihannya.
RAPB Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pelaku proses belajar mengajar formal, tentu akan lebih banyak tahu tentang kebutuhan dalam melakukan kegiatan proses belajar mengajarnya, Kebutuhan itu bisa dibaca dalam RAPB sekolah.
RAPBS sebagai “Blue Print “ tentu diharapkan bisa dipublikasikan sejak awal agar bisa diketahui oleh masyarakat. Dari RAPBS itulah masyarakat bisa mengetahui besaran “ Education Cost “ setiap anak setiap tahun, apakah ada sumber pembiayaan lain selain orang tua, apakah sekolah itu kreatif atau tidak dalam mencari terobosan untuk membiayai proses dalam menghasilkan output lulusannya, atau hanya sekedar membebankan semua biaya proses kepada wali murid .
Selanjutnya semua bergantung pada masyarakat untuk menentukan pilihan pilihan dalam menyekolahkan putra putrinya, bukankah sekolah adalah lembaga layanan publik yang harus memberi layanan memuaskan pada masyarakat ?
Jadi biarlah masyarakat memilih sendiri pendidikan bagi putra putrinya tanpa harus dibatasi oleh rayonisasi yang justru bertentangan dengan undang undang. Semoga bisa menjadi masukan bagi Dinas Pendidikan Kota Surabaya.

Sekolah Asuh, Jawaban Untuk Pemerataan Kualitas Pendidikan
Menarik untuk dicermati berita Jawa Pos “ Anggaran Minim, Jumlah Sekolah Kawasan Direvisi “ ( Minggu,19 Pebruari 2006 ). “ Kami terpaksa merevisi jumlah sekolah yang ditunjuk. Hal itu sedang kami kaji ulang. Sebab, kami harus melihat sekolah yang benar benar layak. “ Jelas Kabid Perencanaan dan Pengembangan Pendidikan Diknas Surabaya, Dra Tetty Rachmiwulan. Selanjutnya berkenaan dengan anggaran pelaksanaan gagasan sekolah kawasan, beliau mengatakan,” Masalah anggaran juga masih direvisi .” Dari pernyataan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diurai dan dicarikan jalan keluar atau alternative lain yang dapat menjawab masalah pemerataan mutu pendidikan yang selama ini menjadi sebuah tuntutan mendesak. Pertama, Haruskah sekolah kawasan sebagai sebuah jawaban untuk menjawab tuntutan tersebut ? Kedua, Ditengah keterbatasan anggaran yang ada , strategi apa yang perlu dilakukan agar sekolah itu menjadi “ Favorit “ ?
Peta Sebaran Pendidikan di Surabaya
Berdasar data pokok pendidikan Surabaya tahun 2004/2005, jumlah sekolah yang ada di Surabaya dapat dirinci sebagai berikut, untuk SD/MI berjumlah 1038 sekolah, dengan rincian SD Negeri berjumlah 566 sekolah, SD Swasta 353, MI Negeri berjumlah 2 , MI Swasta 117 . Untuk tingkat SMP/MTs berjumlah 359, rinciannya SMP Negeri 42, SMP swasta 299, MTsN 4, MTs Swasta 18. Tingkat SMA/MA/SMK berjumlah 277 , SMA Negeri 22, SMA Swasta 136, MAN 1, MA Swasta 9, SMKN 11 , SMK Swasta 109.
Dari data itu juga dapat dilihat 5 sebaran sekolah terbanyak dan terkecil dibeberapa kecamatan, Untuk SD sebaran terbanyak berada di wilayah kecamatan Sawahan 76 sekolah, Tambaksari 65, Semampir 54, Gubeng 54, Wonokromo 53, sedang yang terkecil berada diwilayah kecamatan Sambikerep 10 sekolah, Benowo 11, Bulak 12 , Gunung Anyar 12 dan Jambangan 13. Untuk SMP sebaran terbanyak berada diwilayah kecamatan Tambaksari 25, Gubeng 22, Krembangan 19, Sawahan 19 dan Genteng 19, sebaran terkecil berada diwilayah Asemrowo 4 sekolah, Wiyung 4, Benowo 5, Gayungan, Gunung Anyar, Pakal masing masing ada 6 sekolah dan Lakarsantri, Jambangan serta Simokerto 7 sekolah.Untuk SMA sebaran terbanyak berada diwilayah kecamatan Genteng 18 sekolah, Gubeng 13, Sawahan 11, Krembangan 10 dan Tambaksari 10, sebaran terkecil terletak di kecamatan Benowo 1, Lakarsantri, Bulak , Tegalsari, Wiyung masing masing 2, Karangpilang, Sambikerep, Tenggilis Mejoyo, Pabean Cantikan dan Kenjeran masing masing 3, Bubutan, Rungkut, Pakal, Simokerto, Semampir, Dukuh Pakis dan Jambangan masing masing 4, serta Mulyorejo dan Gayungan masing masing 1 sekolah.
Membangun Sekolah Kawasan ?
Sekolah kawasan sebagaimana yang dimaksud oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya, adalah sekolah yang mempunyai keunggulan lokal berada diwilayah wilayah tertentu dikawasan pinggiran kota yang selama ini belum menjadi tujuan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ketempat tersebut, sekolah tersebut harus berada dikawasan penduduk dengan kondisi sosial ekonomi yang lumayan mapan, sekolah tersebut harus berkapasitas banyak, minimal berkapasitas 240 anak, termasuk punya potensi untuk menjadi sekolah favorit.
Mengacu pada kriteria tersebut nampaknya yang perlu dilakukan adalah penempatan sekolah kawasan akan lebih tepat kalau diletakkan pada kawasan kawasan yang memang padat penduduk serta ketersediaan sarana pendidikannya tidak sebanding dengan jumlah penduduk pada kawasan tersebut, bukan sekedar hanya membagi wilayah kota Surabaya dengan beberapa bagian seperti wilayah Surabaya Utara, Selatan, Timur, Barat, Utara dan Pusat, sebab tujuan utama dari sekolah kawasan adalah pemerataan pendidikan diseluruh wilayah kota Surabaya.
Tentu kita semua tidak ingin dengan adanya sekolah kawasan, akan muncul ketidak adilan pendidikan baru ditingkat lokal, sebab bila mengacu pada ketentuan diatas bukan tidak mungkin persoalan persoalan baru diwilayah dimana sekolah kawasan berada, seperti terbatasnya daya tampung sekolah tersebut sementara sekolah disekitarnya belum sempat diberdayakan untuk bisa setara, yang terjadi adalah matinya sekolah sekolah disekitar terutama sekolah sekolah swasta, arus keluar masyarakat dari kawasan tersebut untuk mencari sekolah lain yang dianggap bermutu yang bisa menampung putra putrinya. Belum lagi pemilihan sekolah sekolah kawasan yang nantinya akan dijadikan model bagi pengembangan sekolah disekitarnya, tentu akan muncul dampak dampak psikologis bagi sekolah yang ditunjuk dan sekolah yang tidak ditunjuk.
Meminimalisir Dampak
Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Pendidikan Dinas Pendidikan Kota Surabaya, perlu ada revisi jumlah sekolah yang akan ditunjuk sebagai pilot project sekolah kawasan, hal ini disebabkan keterbatasan dana yang ada.
Melihat dampak dampak yang ada, tentu perlu diupayakan sikap yang arif dan terbuka dalam pemilihan pilot project sekolah tersebut, jangan sampai mengundang “ something negative “, disamping itu, kita juga berharap kepada masyarakat untuk memberi kepercayaan penuh kepada Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Diperlukan sikap yang seimbang, artinya jangan sampai kita melukai perasaan masyarakat dengan sikap sikap yang melawan arus logika masyarakat tentang pemilihan pilot project sekolah kawasan, disisi yang lain kita berharap kepada masyarakat untuk lebih bisa menahan perasaannya, agar Diknas bisa lebih baik dalam mewujudkan pilot projectnya.Hal yang harus dilakukan adalah sosialisasi kepada masyarakat tentang kenapa kawasan tersebut dipilih, mengapa sekolah ini dipilih dan berapa besaran anggaran yang dialokasikan untuk masing masing sekolah.
Sosialisasi yang dilakukan, diharapkan bisa mengundang partisipasi publik untuk terlibat dalam kepemilikan program sekolah kawasan. Dengan demikian bila program tersebut sudah menjadi milik masyarakat, maka masyarakat akan lebih mudah untuk dilibatkan dalam mengembangkan kawasan model sekolah bermutu.
Alternative Ditengah Keterbatasan Dana
Tidak dapat dipungkiri, dana menjadi sumber penting dalam mewujudkan pilot project tersebut, akan sangat disayangkan bila gagasan gagasan peningkatan kualitas pendidikan terhenti hanya karena keterbatasan dana, sementara tuntutan kearah itu sangat mendesak dan ditunggu tunggu oleh masyarakat.
Tentu diperlukan sebuah upaya cerdas tepat dan murah untuk mencari jalan keluar bagi terwujudnya pemerataan kualitas pendidikan ditengah keterbatasan yang ada, salah satu yang bisa saya usulkan adalah dengan melakukan program sekolah asuh.
Mengapa sekolah asuh ? Sebagai bagian dari pendidikan di Surabaya, Dewan Pendidikan tentu berupaya menyerap aspirasi yang berkembang dimasyarakat, berdasar kegiatan monitoring yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan monitoring BOS pada Desember 2005 sampai dengan Januari 2006, dan pertemuan sosialisasi dengan komite sekolah tentang evaluasi program kerja serta masukan dari komite sekolah pada bulan Maret 2006, tercatat dari 10 sekolah dikawasan pinggiran di Surabaya Utara yang dikunjungi secara acak, 7 sekolah tidak mempunyai perpustakaan, padahal bicara kualitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari perpustakaan sebagai sumber belajar, serta masukan dari komite sekolah tentang kekurangan sarana prasarana pendidikan yang tersedia disekolah semisal ruang belajar dan laboratorium IPA yang belum ada, bahkan dikawasan sebuah kecamatan didaerah pinggiran Surabaya sebuah unit bangunan ruang belajar terpaksa digunakan oleh tiga Sekolah Dasar Negeri yang berada dalam satu komplek.
Tantangan pendidikan Surabaya kedepan disamping serbuan pendidikan asing, tentu juga daya saing kedepan diharapkan bisa menyamai kualitas pendidikan sebagaimana pendidikan dari negara lain yang membuka investasi pendidikan di Surabaya. Belum lagi keterbatasan lahan sekolah yang tentu menjadi persoalan tersendiri bagi pengembangan sarana prasarana sekolah kedepan.
Sekolah asuh sebagai alternative ditengah keterbatasan tentu diharapkan menjadi pilihan untuk menjawab tuntutan peningkatan kualitas pendidikan. Dengan sekolah asuh diharapkan dua hal bisa dicapai sekaligus, yaitu peningkatan kualitas pendidikan serta pemerataan pendidikan.
Implementasi sekolah asuh yang dimaksud adalah dengan melakukan program “ belajar bersama “ antara sekolah yang dianggap “ bermutu “ dengan sekolah sekolah yang masih “ belum “. Penentuan kategori sekolah sekolah tersebut merupakan hal yang sangat mudah bagi Dinas Pendidikan Kota, mengapa ? karena selama ini tentu Dinas pendidikan Kota sudah mempunyai database tentang jumlah sekolah dan prestasi tiap tiap sekolah baik itu secara akademis maupun yang non akademis. Selanjutnya kemudian bagaimana sekolah sekolah yang berkategori bermutu bisa melakukan “ pengasuhan “ kepada sekolah sekolah “ asuhannya “. Satu sekolah bisa melakukan “ pengasuhan “ lebih dari satu sekolah dengan cara belajar bersama tentang upaya upaya peningkatan kualitas pendidikan berdasar pada kompetensi yang dimiliki oleh masing masing sekolah, tentu capaian targetnya tidak harus sama..
Dari sisi anggaran pembiayaan, biaya yang diperlukan relative lebih murah daripada membangun sekolah kawasan yang justru banyak menciptakan kesenjangan. Biaya yang dibutuhkan dalam “ Pengasuhan “ ini lebih banyak berpusat pada transportasi guru dan sarana penunjang seperti buku. Sedang untuk sarana prasarana , bisa dilakukan dengan meminjam sekolah yang menjadi pengasuhnya, tentu dengan syarat jarak antar sekolah asuh dengan yang diasuh tidak terlalu jauh. Oleh karenanya ,, penentuan sekolah asuh dalam program ini juga harus memperhatikan kedekatan sekolah satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh tentang pelaksanaan sekolah asuh yang sudah berjalan adalah model yang dilakukan oleh SD Integral Luqman Al Hakim , Baitull Maal Hidayatullah dan SDN Wonokusumo V Surabaya. Sebagaimana ujar Eko Prastyoningsih Kepala SDN Wonokusumo V Surabaya , “saya merasakan dampak perubahan disekolah dimana saya berada. SDN wonokusumo V Surabaya yang berada diwilayah pinggiran setelah mendapatkan program “ Sekolah Asuh “ yang dilaksanakan oleh BMH Surabaya, program tersebut dikemas dalam program belajar bersama antara para guru disekolah SDN Wonokusumo V Surabaya dengan SD Integral Luqman Al Hakim. ( SD ini mendapatkan NEM tertinggi Untuk SD di Surabaya tahun 2005 ) .Tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh kedua sekolah tersebut, karena biaya yang ada ditanggung oleh lembaga lain yang peduli tentang pendidikan. Biaya biaya yang dikeluarkan hanya berkisar pada transportasi guru dari kedua sekolah tersebut, biaya konsumsi dan biaya biaya foto copy materi penunjang untuk peningkatan mutu. Tidak diperlukan sarana baru yang mengeluarkan dana yang besar, cukup dengan memanfatkan potensi yang ada dimasing masing sekolah.”
Percik Pendidikan
Kita semua barangkali tercengang , ditengah gencarnya Pemerintah melakukan upaya penyelamtan pendidikan dasar, kita dikejutkan data yang dihimpun oleh Bappemas kota Surabaya tahun 2007, masih ada lebih dari 32.000 anak Surabaya dari keluarga miskin yang tidak bersekolah, tepatnya untuk usia 7 – 12 tahun sejumlah 6.506, usia 13 – 15 tahun 9.157 dan usia 16 – 18 tahun 16.353.
Fakta ini merupakan sebuah jawaban bahwa masih sulitnya masyarakat kita mendapatkan akses pendidikan yang menjadi haknya, apalagi mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan bermutu. Tentu yang menjkadi korban dari itu semua adalah masyarakat dari keluarga miskin. Kita tidak ingin kemudian ada kata kata “ Orang Miskin Dilarang Sekolah “
Memang ada banyak program program pemerintah dalam rangka penyelamatan pendidikan anak anak kita, tetapi menjadi ironi ketika banyak program yang diluncurkan tetapi data mengatakan masih banyak dari kalangan miskin yang harusnya bersekolah ternyata tidak dapat bersekolah.
Dimana letak kekurang tepatannya ? Ibarat seorang dokter, problem problem yang muncul diseputar pendidikan ibarat sebuah penyakit, maka cara mengobatinyapun harus sesuai dengan hasil diagnosa yang dilakukan. Dalam dunia pendidikan kita di Surabaya, yang patut kita tanyakan kepada nurani dan logika sudah sesuaikah cara cara kita menyelesaikan dan mengatasi problem pendidikan di Surabaya ? kita tentu tidak ingin bahwa apa yang kita lakukan didalam mengatasi persoalan pendidikan kita adalah sebuah tindakan yang “ seolah olah menyelesaikan “ padahal masih ada kepentingan lain diluar pendidikan yang kita sembunyikan, akibatnya persoalan pendidikan itu sendiri tidak pernah selesai. Kita masih sering lebih suka menempatkan kepentingan pribadi atau golongan diatas kepentingan publik.
Lalu apa yang harus kita lakukan ! Persoalan pendidikan adalah persoalan bersama, dengan kata lain tidak ada satu lembagapun yang berhak mengatakan dirinya yang palin tahu dan paling bisa, diperlukan kearifan dan keterbukaan, karena kita sadar tidak ada satupun diantara kita yang sempurna, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karenanya menyelesaikan persoalan pendidikan Surabaya, harus dimulai dari problem problem yang sesuai dengan pengamatan kita bersama setelah itu kita coba rumuskan formula penyelesaianya secara bersama.
Ada lima hal proiblem pendidikan Surabaya yang dihimpun Dewan Pendidikan Kota Surabaya, yaitu : 1. Pemerataan akses pendidikan serta sarana prasarananya, 2. Peningkatan mutu pendidikan, 3. Standarisasi biaya minimal pendidikan bermutu, 4. Masih lemahnya pelibatan partisipasi publik, serta 5. Belum maksimalnya pemberdayaan lingkungan pendidikan
Semoga dengan diagnosa serta perumusan formula dan dosis penyelesaian yang tepat bisa segera dilakukan, sekali lagi tentu ini bukan pekerjaan Dinas Pendidikan Surabaya saja, tetapi juga menjadi tugas kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap persoalan pendidikan anak anak kita.Sekali lagi kata kunci dari percepatan penyelesaian persoalan pendidikan di surabaya adalah sanggupkah kita berbagi, mau menerima saran dan masukkan dari pihak manapun tanpa harus merasa kita yang paling bisa.
“ Orang Miskin Dilarang Belajar Di Sekolah Favorit “
Bagi setiap orang, mungkin menjadi suatu keharusan untuk bercita cita mendapatkan layanan pendidikan yang baik dan bermutu, karena dengan pendidikan yang baik dan bermutu diharapkan anak mendapatkan bekal pembelajaran untuk bisa memahami hidup yang bermakna. Namun sayangnya cita cita tersebut kadang harus ditahan terlebih dahulu manakala berbenturan dengan kemampuan untuk mendapatkan layanan tersebut. Seringkali layanan untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan bermutu selalu dikaitkan dengan kemampuan financial yang tidak sedikit, hingga yang terjadi adalah layanan pendidikan yang baik dan bermutu hanya diperuntukkan bagi kalangan yang mampu ” membeli ” layanan tersebut.
Sekolah bermutu atau sering diidentikkan dengan sekolah favorit tentu mempunyai ” kebutuhan lebih ” dibanding dengan sekolah sekolah yang terkategori belum favorit, hal ini disebabkan oleh kebutuhan sarana peningkatan mutu sangat besar sekali, akibatnya bila kemampuan untuk memenuhi kebutuhan itu dari ” pemilik sekolah ” baik itu pemerintah maupun swasta terbatas, maka yang terjadi adalah partisipasi warga sekolah dari kalangan orang tua siswa akan dimaksimalkan, akibatnya sekolah sekolah ” favorit ” tersebut menjadi sekolah yang relative mahal, karena untuk mendapatkan fasilitas seperti itu dibutuhkan ” investasi ” yang tidak sedikit, selanjutnya hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa mendapatkannya.
Orang miskin tidak perlu untuk dikasihani, karena memang mereka tidak berharap untuk dikasihani. Bagi mereka, miskin bukanlah sebuah cita cita, miskin bukan juga pilihan mereka, miskin bagi mereka, karena mereka terpaksa harus menjalaninya. Oleh karenanya yang paling penting bagi mereka adalah pemberian kesempatan yang sama dengan kelompok masyarakat yang lainnya,karena memang itu ” hak ” mereka.
Orang miskin tentu juga punya cita cita, dan cita cita yang paling sederhana bagi mereka adalah tidak ingin mewariskan kemiskinannya kepada anak anaknya.Bagi mereka, saat ini yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa memotong mata rantai kemiskinan yang mereka alami agar tidak diwarisi oleh anak anak mereka. Mereka berupaya semaksimal mungkin guna pemenuhan kebutuhan perut mereka sambil mencoba untuk memberikan pendidikan kepada putra putrinya lewat sekolah, baik itu yang formal maupun non formal.
Pendidikan sebagai upaya ” pendadaran diri ” bagi pemahaman makna hidup agar lebih bermakna, diyakini sebagai salah satu cara untuk memotong mata rantai kemiskinan. Upaya agar dengan pendidikan mampu menjadikan peserta didik dapat memahami hidup lebih bermakna juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk bisa ” sustain ” dalam menghadapi hidup. Oleh karenanya dengan pendidikan, diharapkan anak sebagai peserta didik mampu menghadapi dinamika hidup agar tidak mudah putus asa meski harus mengalami hambatan, kegagalan dan keterbatasan untuk bisa mendapatkan makna hidup yang dicita citakan.
Bagi kalangan miskin mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu merupakan hal yang tidak gampang, hal ini dikarenakan layanan pendidikan semacam itu relatif tidak murah.Selama ini mereka dihadapkan pada pilihan antara makan dan pendidikan putra putrinya yang selalu tarik menarik .Bagi mereka pemberian kesempatan yang sama tanpa harus dikasihani adalah penting, karena dengan demikian mereka akan bisa melakukan aktifitasnya tanpa ada beban.
Kalangan miskin sebagai warga kota, tentu juga harus dipahami sebagai ” kekayaan ” yang dimiliki oleh pemerintah kota. Menempatkan mereka sebagai ”asset ” merupakan sikap yang elok, ketimbang memandang mereka sebagai ” beban ”.Dengan kata lain ketika mereka dianggap sebagai asset kota, maka mereka harus diberdayakan agar mempunyai nilai tambah bagi pemerintah kota maupun diri mereka sendiri.
Memberdayakan mereka mempunyai arti bagaimanana pemerintah kota bisa memberikan layanan kepada kalangan tersebut dengan melahirkan program program kota yang populis untuk kepentingan mereka yang pada akhirnya mereka bisa berdaya dan bisa memberikan kontribusi yang menguntungkan pemerintah kota.
Mengutip sabda Nabi Muhammad S.A.W, ” Sebaik baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat kepada lingkungannya ”, tentu ini bisa menjadi insipirasi dan motivasi agar kita bisa bermanfaat bagi yang lainnya. Sebagai seorang pemimpin bisakah kita memberi manfaat kepemimpinan kita kepada masyarakat yang kita pimpin , bisakah kita tidak menjadi ancaman bagi yang lain dengan kebijakan kebijakan yang kita lahirkan, bisakah dengan kepemimpinan yang kita pegang memberi ketentraman dan keamanan dengan jaminan sosial yang kita berikan.
Sebuah kepemimpinan itu amanah, tentu akan dimintai pertanggung jawaban, dalam dunia pendidikan, Negara lewat Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa : Fakir miskin dan anak anak terlantar menjadi tanggung jawab negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi,Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, Negara dan Pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua,wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Setidaknya ada benang merah yang bisa kita ambil dari rujukan peraturan peraturan tersebut diatas, bahwa ada tanggung jawab kolektif warga negara terhadap warga negara yang lainnya, yang berupa hak dan keajiban dari masing masing yang harus diberikan tanpa harus ” dibarengi ” perasaan belas kasihan.
Pendidikan Butuh ” Kontrak Sosial ”
Kita semua tentu akan bersepakat bahwa pendidikan sebagai sebuah investasi, merupakan alat untuk memotong mata rantai kemisikinan serta pembentukan karakter anak didik agar memahami dirinya sebagai manusia yang bermanfaat. Dalam investasi dibutuhkan biaya , tapi yang paling penting adalah seberapa besar manfaat yang bisa dipetik dari investasi yang ditanamkan. Sebab kalau tidak bisa dihitung manfaat yang bisa diambil dari investasi anggararan yang dikeluarkan, kita tidak akan pernah bisa mengukur sebuah program pendidikan itu berhasil atau tidak Oleh karenanya dalam pendidikan diperlukan ” Kontrak Sosial ”.
Kontrak sosial yang dimaksud adalah sebuah kepastian kepemimpinan untuk bisa mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Tentu pertanggung jawaban itu lebih pada program pendidikan apa yang akan dilaksanakan, untuk siapa dan berapa besaran anggaran yang dibutuhkan, capaiannya apa ,serta darimana didapatkan anggaran tersebut.
Karena pendidikan itu merupakan tanggung jawab kolektif, pemerintah, masyarakat dan sekolah, maka tentu didalam melahirkan program program pendidikan diharapkan memuat harapan harapan semua stake holder , kebutuhan biaya untuk mewujudkan harapan harapan tersebut, serta sumber pendanaan dari semua itu. Diperlukan ” share ” untuk mewujudkannya. Dengan demikian semua anak yang berhak mendapatkan layanan pendidikan yang baik dan bermutu akan bisa diatasi.
Dinas Pendidikan Kota Surabaya mempunyai program ” sekolah kawasan ”, ” SBI ” dan sederet sekolah sekolah dengan label prestisus. Kita yakin bahwa program program tersebut sejatinya dimaksudkan untuk memberikan peningkatan kualitas pendidikan , tapi sayangnya program program tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian masyarakat yang beruntung saja. Simak pernyataan Kepala Sekolah SMAN 5 Surabaya, Suhariono , ” Bahwa untuk mengikuti ujian kelas SBI setiap anak diminta kontribusinya sebesar 1 juta rupiah untuk setiap mata pelajaran, untuk ujian itu diperlukan enam mata pelajaran, jadi untuk mengikuti ujian enam pelajaran disetiap kelas SBI dibutuhkan biaya enam juta rupaiah, belum termasuk biaya biaya yang lainnya ” ( Jawa Pos ). Tentu kita semua menjadi miris, lebih lebih kalangan masyarakat miskin, akan terbayangkan tidak akan pernah bisa menikmati kelas itu dan akibatnya terjadi disparitas yang kemudia berdampak bahwa orang miskin tidak bisa belajar di sekolah favorit ( baca : bermutu ). Yang terbaru adalah Dinas Pendidikan Kota Surabaya juga akan mengirim sejumlah gurunya ke Jakarta dan Australia untuk belajar menajemen sekolah, untuk itu semua tentu dibutuhkan biaya yang cukup besar . Masih segar juga dalam ingatan kita ketika beberapa Kepala sekolah kita berkunjung ke Malaysia, Singapura dan China, kita belum bisa merasakan hasilnya, kecuali pernyataan bahwa, ” untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan di Surabaya dibutuhkan biaya yang memadai ”. Jadi kadang kita juga belum bisa mengukur hasil yang kita dapatkan dari sebuah kegiatan yang kita lakukan dengan besaran biaya yang sudah kita keluarkan.
Diperlukan Kebijakan ” Pro Poor ” Dalam Pendidikan
Pendidikan milik semua sebagaimana amanat undang undang, oleh karenanya tanggung jawab semua pihak untuk itu membangun kemauan bersama. Dinas pendidikan sebagai pihak yang paling berkepentingan untuk mewujudkannya, diharapkan mampu menjalin kemitraan dengan kelompok masyarakat baik perorangan ataupun lembaga. Partsisipasi publik pada dasarnya sudah ada, lihat saja program program dari Lembaga Zakat sepert BMH Surabaya yang pro penyelamatan pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan sekolah pinggiran, Program DBE 3 Usaid yang memberi bantuan tehnis dan hibah kepada sekolah sekolah dan lembaga mitra untuk peningkatan kualitas pembelajaran dan sederet lembaga lembaga lain yang ada di Surabaya, belum lagi perusahaan yang sudah banyak melakukan batuan pendidikan seperti Sampoerna Fondation, membantu peningkatan kualitas baca masyarakat dengan batuan perpustakaan dan mobil perpustakaan kelilingnya, Pelindo dengan bea siswanya serta bantuan rehab sekolah rusak, Telkom dan Indosat dengan program peduli pendidikannya.
Kebijakan kebijakan populis yang ” pro poor ” merupakan isu pendidikan yang sangat seksi yang akan menarik semua pihak untuk terlibat dan peduli, masalahnya adalah apakah program program Dinas Pendidikan Kota dirancang seseksi program program yang dirancang oleh lembaga lembaga tersebut ? Kalau tidak Dinas Pendidikan akan bekerja sendiri. Sudah saatnya semua komponen yang peduli terhadap pendidikan untuk duduk bersama merancang pendidikan, bukankah hasil dari pendidikan yang baik akan kita nikmati bersama ?
Pendidikan Menuju Titik Nol
Dalam sebuah diskusi kecil pagi , penulis terlibat diskusi dengan beberapa kawan yang peduli terhadap persoalan pendidikan. Dalam diskusi sengit nan santai, digambarkan tentang mengapa kualitas manusia Indonesia jauh tertinggal dari negara negara tetangga kita di Asia Tenggara. Dalam data HDI tahun 2005 disebutkan bahwa peringkat kualitas manusia Indonesia berada diperingkat 107 dari 177 negara negara dunia , di Asia Tenggara kita berada dibawah Singapura ( 25 ), Malaysia ( 63 ), Thailand ( 77 ) serta Vietnam ( 105 ). Tentu gambaran seperti ini tidak bisa dipisahkan dengan potret pendidikan kita didalam menghasilkan kualitas sumber daya manusia.
Pendidikan yang mempunyai tujuan membangun manusia Indonesia yang utuh dan sanggup memaknai hidup kini menjadi bias, karena tujuan mulia dari pendidikan itu telah kehilangan makna dan jati dirinya. Pendidikan kita lebih senang diukur dengan angka angka kuantitative, kualitas hanya menjadi slogan tanpa bisa dibuktikan ukuran keberhasilannya, sebagai contoh RAPBS kita banyak memunculkan kegiatan sekolah dengan biaya biaya yang keberhasilannya tidak pernah bisa diukur secara kualitatif. Akibatnya yang terjadi adalah hasil lebih penting daripada proses. Akibat dari itu semua kita dapati anak anak yang cenderung instant untuk mencapai sesuatu yang di inginkan, dan lebih mengerikan lagi bila pendidikan yang sedang kita lakukan ini menghasilkan sumber daya manusia yang cenderung meminta daripada memberi, kurang kreatif karena tingginya ketergantungan terhadap faktor faktor lain, pelaku pendidikan kita lebih banyak mengeluh ditengah keterbatasan yang ada, tidak mampu memaksimalkan peran ditengah keterbatasan, ukurannya selalu pada sarana yang harus tersedia terlebih dahulu baru bisa menjalankan peran, berapa anggaran yang disediakan baru bisa menjalankan program. Kita sering jumpai banyaknya tuntutan tuntutan yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan kita pada hal hal yang sesungguhnya ukurannya tidak jelas, seperti tuntutan kesejahteraan yang harus dipenuhi, meski kalau ditanya berapa sebenarnya kebutuhan layak sejahtera yang harus dipenuhi, mereka juga tidak tahu. Akibatnya banyak yang meragukan apabila tuntutan tuntutan yang ada dipenuhi, apakah kemudian ada jaminan bahwa para pelaku pendidikan kita bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak anak ? Jawabnya belum tentu, karena faktor mendasarnya bukan pada ketersediaan yang harus dipenuhi, tetapi lebih pada faktor manusia yang memang tidak bisa memaksimalkan peran. Kesejahteraan memang sangat perlu, tetapi itu adalah dampak dari sebuah kualitas diri yang kita lakukan.
Mengapa bisa begitu ? Membangun pendidikan sejatinya adalah membangun karakter anak bangsa.Dalam membangun karakter yang berujung “ National Character Building “ harus dipahami sebagai sebuah pekerjaan mulia nan besar yang tidak semua orang bisa melakukannya, Pekerjaan ini menuntut untuk bisa memadukan keseimbangan antara kecerdasan intelektual anak didik dengan kecerdasan spiritualnya. Disinilah sebetulnya letak strategisnya pendidikan untuk melakukan perubahan dan menanamkan karakter anak bangsa. Tentu ini bukan pekerjaan yang sembarangan, hanya orang orang yang berjiwa besar dan tak kenal lelah yang bisa melakukan itu, dibutuhkan stamina yang sangat tinggi untuk bisa menjalankannya terlebih ditengah keterbatasan yang ada. Diibaratkan ini adalah pekerjaan “ para nabi “ mengajak peserta didik untuk “ to create “ bukan “ to be “. Selain itu biaya yang dikeluarkan tidak selayaknya juga dipandang sebagai sesuatu yang hilang.
Proses pendidikan kita sekarang ini sebetulnya mengalami perubahan yang cukup mendasar, dari kurikulum 1994 yang terpusat menuju kekurikulum 2004 dan 2006 yang lebih mengedepankan pendidikan berbasis kebutuhan peserta didik. Tetapi persoalannya justru pada kemampuan menterjemahkan perubahan kurikulum itu yang tidak semua guru dan pemegang kebijakan mampu memahami. Akibatnya pendidikan anak anak kita menjadi tidak terarah dan tidak berkarakter, cenderung menuruti tafsir sepihak.
Pendidikan Tanpa Desain
Ibarat sebuah produksi, pendidikan selayaknya harus menentukan dahulu sesuatu yang ingin dicapai sebelum melakukan proses. Dalam industri ,ketentuan ketentuan yang diinginkan itu tertuang didalam cetak biru produksi yang berisi detail pelaksanaan mulai dari awal sampai akhir produksi serta hasil yang diinginkan. Disamping itu juga, cetak biru juga berisi perhitungan biaya produksinya sampai dengan bahan baku yang dibutuhkan serta spesifikasinya, semua dilakukan secara cermat dan detail, agar didapatkan hasil yang maksimal dengan meminimalkan penggunaan ketersediaan bahan baku produksi. Cetak biru itu merupakan grand desain dari sebuah produksi yang diinginkan. Dalam dunia pendidikan mestinya juga dilakukan hal yang sama sebagaimana sebuah produksi dilakukan, perlu dilakukan perhitungan secara cermat terhadap apapun yang berhubungan dengan proses belajar mengajar, kompetensi para siswa serta lingkungannya, pendekatan seperti apa yang akan digunakan agar didapatkan hasil lulusan yang berkualitas. Perhitungan seperti itu dimaksudkan agar capaian hasil yang dicapai bisa diukur.
Baru baru ini kita mendengar bahwa Surabaya dan Jawa Timur sedang menyusun ” Grand Desain Pendidikan ”, Surabaya mungkin sudah terlebih dahulu dan cukup lama proses penyusunannnya, tapi kita tidak pernah tahu kejelasan nasib grand desain tersebut, ketidak jelasan nasib grand desain pendidikan tersebut bisa juga berarti bahwa selama ini pendidikan di Surabaya dilakukan tanpa arah dan desain yang jelas, ujung ujungnya bisa ditebak bahwa pendidikan Surabaya dikembangkan tanpa karakter dan tujuan yang jelas serta tidak akan pernah ada pertanggung jawaban dari hasil proses pendidikan itu meski sudah cukup banyak biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Masyarakat juga tidak tahu apakah memang grand desain yang disusun itu sudah menampung apa yang menjadi kebutuhannya, jangan sampai sebuah grand desain pendidikan yang disusun yang seharusnya melayani kepentingan publik menjadi bias hanya melayani ” kepentingan tertentu ” yang justru akan merugikan kita semua.
Sangat mengejutkan kita ketika dikatakan oleh kepala Dinas Kota Surabaya, Sahudi, bahwa pembangunan pendidikan Surabaya harus dimulai dengan peningkatan mutu yang diartikan dengan standard pembangunan fisik gedung sebuah sekolah, akibatnya kemudian terjadi penyeragaman bentuk fisik sebuah sekolah yang diangagap bermutu. Dampaknyapun sudah bisa ditebak, bahwa akan terjadi peningkatan beban masyarakat terhadap pendidikan serta ribuan anak dari 500 ribu KK terancam untuk tidak bisa sekolah. ( hasil verivikasi Bappemas di 163 kelurahan surabaya tahun 2007 )
Masyarakat sebagai stake holder pendidikan, tidak seharusnya diabaikan aspirasinya, apalagi kalau kemudian terbesit ” rasa takut ” jika masyarakat dilibatkan dalam penyusunan desain pendidikan akan ” mengganggu ” kepentingan tertentu. Seharusnya pihak pihak yang terlibat dalam membangun pendidikan Surabaya berterima kasih, karena tanpa dibayar masyarakat rela untuk ikut memberi sumbangan pemikiran bagi perbaikan pendidikan di Surabaya. Masyarakat ini tidak punya kepentingan apa apa, kecuali hanya ingin membantu bagaimana sebuah peningkatan mutu pendidikan bisa dilakukan.
Harus Bisa Diukur Return Of The Investment nya
Tahun 2007, anggaran pendidikan Surabaya disebutkan sebesar 12.1 %, dari angka itu muncul besaran anggaran sebesar 148 M, dan kabarnya pada tahun 2008 terjadi peningkatan anggaran pendidikan kita. Belum lagi anggaran yang dikucurkan oleh Pemerintah pusat melalui dana BOS, serta pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan pembiayaan pendidikan anak anaknya. Dalam hitungan Dewan Pendidikan Surabaya, ada sekitar 60 % pengeluaran yang dilakukan oleh masyarakat dari total jumlah seluruh kebutuhan pendidikan anak anaknya selama 1 tahun. Adapun total pengeluaran selama 1 tahun untuk SD/MI sebesar Rp. 2.187.000,00, SMP/MTs Rp. 2.602.000,00, SMA/MA/ SMK Rp. 2.902.000,00. Bisa dibayangkan betapa besar sebenarnya investasi pendidikan yang sudah dikeluarkan baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat, pertanyaannya adalah apakah hasil yang dicapai sudah sesuai dengan besaran investasi yang dikeluarkan ?
Masyarakat sebagai pengguna hasil pendidikan sekaligus “ investor “, tidak selayaknya kalau kemudian membiarkan investasi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan, kalau ini dibiarkan, akan terjadi banyak kerugian didalam pembangunan SDM anak anak kita. Masyarakat sebagai investor sudah selayaknya harus meminta pertanggung jawaban terhadap seluruh proses pendidikan serta hasil hasilnya, karena dengan begitu kita akan mengajak siapapun yang terlibat untuk lebih bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan dan terukur penggunaan biayanya.
Masyarakat harus memulai melakukan “ kontrak belajar “ terhadap sekolah dan Dinas Pendidikan, kontrak itu berisi harapan yang diinginkan terhadap proses pembelajaran dan hasilnya, jangan sampai kemudian masyarakat membiarkan investasi yang ditanamkan hilang untuk sesuatu yang tidak terarah dan tidak berkarakter bagi pendidikan putra putrinya.
Sampai saat ini kita tidak pernah tahu apakah hasil proses pendidikan yang dihasilkan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya sudah sesuai dengan investasi yang kita keluarkan atau belum, ada baiknya kalau kita semua bisa memberikan masukan atas hasil yang didapatkan. Sebagai pengingat hasil ketidaklulusan siswa pada tahun pelajarn 2006/2007, SMA 629 siswa ( 10.8 % dari jumlah total 6575 siswa Jawa Timur yang belum lulus ), SMK 334 siswa ( 10.7 % dari jumlah total 3598 siswa Jawa Timur yang belum lulus ), SMP 1171 siswa ( 5.85 % dari 20.000 siswa Jatim yang belum lulus ). Ini belum termasuk hasil nilai yang dicapai serta kualitas pengembangan kompetensi siswa dari aspek akademis, sosial, personal maupun vocationalnya, sebagaimana amanat kurikulum 2006. Lalu kemanakah anak anak kita ini akan dibawah ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar