Jumat, 17 Juni 2011

HM. Izzat Abidy, M.Ag.
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel

Saat bertemu dengan Kadispendik Kota Surabaya, Drs. H. Sahudi, M.Pd., Kamis (24/2), di ruang kerjanya, penulis cukup apresiatif dengan beberapa gagasan Pak Sahudi dalam memajukan dunia pendidikan di Surabaya. Di antaranya, program tahun 2020 semua pemuda di Surabaya harus sekolah, minimal masih dan telah lulus SMA. Selain itu, Kadispendik juga menseriusi konsep sekolah gratis.

Khusus untuk poin kedua di atas, Kadispendik menyatakan bahwa ada dua hal yang harus dipahami dalam konsep sekolah gratis untuk menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Pertama, soal perbedaan antara biaya operasional pendidikan dan biaya personal. Kadispendik mengakui bahwa beberapa sekolah mengeluh dengan adanya kebijakan sekolah gratis, sebab mereka dilarang melakukan pungutan lagi. Hal ini disebabkan Pemkot sudah meng-cover semua biaya operasional pendidikan. Mulai SD hingga SMA. Bahkan biaya pendidikan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) juga ikut didanai. Tak heran jika anggaran yang dikeluarkan Pemkot Surabaya mencapai Rp 159, 7 miliar untuk meng-cover Bopda SD hingga SMA Negeri. Dana untuk sekolah swasta mencapai Rp 195, 5 miliar (SD-SMA) sedangkan untuk RSBI dialokasikan anggaran Rp 61, 1 miliar (Metropolis Jawapos/ 25/2/11).

Namun, yang harus dipahami di sini adalah bahwa sekolah harus cermat membedakan antara biaya operasional dan biaya personal. Sebab dalam konsep sekolah gratis, tidak serta merta menghilangkan partisipasi masyarakat atau orangtua siswa. Misalnya dalam program memajukan pendidikan yang dijalankan oleh RSBI, misalnya, maka hal ini bisa pembiayaannya bisa diambilkan dari partisipasi wali murid. Kedua, Kadispendik menggagas konsep pendidikan untuk rakyat miskin. Dalam pandangannya, saat ini sulit bagi warga miskin mengikuti pendidikan yang layak dan mencerdaskan. Padahal pendidikan merupakan hak setiap warga negara, tak tersekat oleh status sosial. Maka dari itu, ia menggagas ide bahwa dari keseluruhan jumlah siswa dalam sebuah sekolah, harus disediakan kuota 10% bagi warga miskin atau tidak mampu. Dengan mengantongi surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat, maka siswa miskin bisa mengakses pendidikan di sekolah maju. Selain itu, menurut Kadispendik kuota 10% itu juga diperuntukkan bagi anak-anak warga sekitar lokasi sekolah. Dengan demikian akses pendidikan bagi siswa miskin dan siswa dari sekitar sekolahan sangat terbuka untuk dikembangkan. Sebab, sekolah sebagai lembaga pendidikan, bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki biaya, namun juga untuk mereka yang selama ini tak memiliki biaya untuk mengakses pendidikan yang layak.

Gagasan di atas, secara tak langsung merupakan kritik atas proses penerimaan siswa baru yang selama ini dijalankan di sekolah-sekolah, terutama yang telah menggunakan standar tertentu. Model penerimaan murid baru biasanya hanya mengakomodir tiga kelompok saja; yaitu kelompok anak kaya dan pintar, anak pintar tapi miskin, dan anak bodoh tapi kaya. Kelompok keempat, yaitu anak miskin sekaligus bodoh, tidak pernah diakomodasi ke dalam sistem yang ada, sehingga mereka semakin termarginalisasi dalam mengakses pendidikan.

Ya, selama ini akses pendidikan yang baik hanya dimiliki oleh anak orang kaya dan pintar, karena memiliki nilai yang bagus, sehingga bisa bebas memilih sekolah yang diinginkan. Bahkan ketika system penerimaan murid baru dengan menggunakan model tes seperti sekarang, yang memungkinkan ada negosiasi soal biaya yang harus dibayar, mereka tetap memiliki peluang terbesar karena selain memiliki kemampuan untuk mengerjakan soal, juga memiliki kemampuan untuk membayar pungutan yang ditarik oleh pihak sekolah.

Padahal, wajah pendidikan yang seharusnya ditampilkan adalah wajah pendidikan yang humanis dan adil. Yang membuka peluang bagi siapapun untuk bisa menikmati pendidikan yang mencerahkan. Pengkotak-kotakan status kaya miskin dalam dunia pendidikan di Indonesia, merupakan sebuah pelecehan terhadap nalar humanisme pendidikan; pendidikan untuk semua golongan. Dalam hal ini penulis ingat sosok Karl Marx yang meramalkan “basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh basis kapital (ekonomi)”. Teori ini disebut dengan “diteminisme ekonomi”. Tampaknya, ramalan Marx itu memiliki makna relevansi dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain merupakan penjelmaan penselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital. UU BHP membuka akses selebar-lebarnya atas bercokolnya praktek kapitalisme (komersialisasi) ditubuh pendidikan.

Padahal, menurut Marx, pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan kapital (profit), melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaanya yang sejati. Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal (radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampu mencetak manusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin (proletar) yang nota bene korban salah urus negara.

Bagi Marx, pendidikan bertujuan mencipatakan kesadaran kritis, bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis yang merupakan langka adaptasi terhadap perkembangan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan.

Demikianlah, gagasan Kadispendik di awal dan di tengah tulisan ini, khususnya mengenai kuota 10 % untuk siswa miskin merupakan sebuah awal proses humanisasi pendidikan. Bahwa pendidikan adalah hak bagi semua kelas sosial. Dalam hal ini pemerintah memang berkewajiban menerapkan kebijakan affirmative action guna menampung anak-anak yang miskin dan bodoh. Caranya, pemerintah memberikan alokasi ruang yang cukup bagi kaum miskin dan bodoh untuk bersekolah di sekolah-sekolah negeri (sebab faktanya kebanyakan anak miskin dan bodoh hanya bersekolah di sekolah-sekolah pinggiran). Jangan sampai sekolah-sekolah negeri yang dibiayai oleh negara justru hanya dihuni oleh mereka yang berasal dari golongan kaya.

Kalaupun pola semacam ini bisa direalisasikan, maka watak pendidikan yang adil, humanis dan mencerahkan, bisa direalisasikan dalam kehidupan nyata. Sebab perenial dari proses manusia menuntut ilmu adalah untuk mengabdi bagi kemaslahatan kemanusian. “Ilmu tidak boleh menjadi kesenangan untuk diri sendiri. Orang-orang yang memiliki nasib baik untuk terjun dalam pencarian ilmu pertama-tama harus menempatkan pengetahuannya demi kepentingan kemanusian,” demikian fragmen statemen Marx dalam salah satu karyanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar