Sabtu, 18 Juni 2011

SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU: dimensi
Untuk mencegah kita terjebak dalam perangkap-perangkap teoretik, kita akan mencoba mendiskusikan dimensi-dimensi ilmu sosial. Pada dasarnya, dikenal empat jenis dimensi dalam pendekatan teori sosial.

1. Dimensi kognitif.
Dalam dimensi ini, ilmuwan sosial akan selalu berbicara mengenai teori sosial sebagai cara untuk membangun pengetahuan tentang dunia sosial. Di sini terletak epistemologi yang membangun berbagai metodologi penelitian sosial.
2. Dimensi afektif.
Merupakan sebuah kondisi di mana teori yang dibangun memuat pengalaman dan perasaan dari teoretisi yang bersangkutan. Dimensi ini mempengaruhi keinginan untuk mengetahui (to know) dan menjadi benar (to be right) – kedua hal ini bertitik berat kepada kejadian tertentu dan realitas eksternal.
3. Dimensi reflektif.
Di sini, teori sosial harus menjadi bagian dari dunia sebagaimana ia menjadi cara untuk memahami dunia. Dengan kata lain, teori sosial harus mencerminkan apa yang terjadi di luar sana dan apa yang terjadi pada kita sebagai salah satu elemen dari sistem sosial yang ada.
4. Dimensi normatif, yang memperluas dimensi ketiga.
Dalam dimensi ini, teori sosial sepantasnya memuat secara implisit ataupun eksplisit tentang bagaimana seharusnya dunia yang direfleksikannya itu. Keempat dimensi ini membangun seluruh pendekatan dalam proses kostruksi teori-teori sosial yang ada.
Universalitas Ilmu-ilmu Sosial
Sebuah Persoalan yang Terlupakan*
Oleh:
Iwan Awaludin Yusuf**
"Kita adalah para penjelajah yang berpandangan ke belakang, dan parodi adalah ungkapan kita yang utama."
(Dwight MacDonnald, dalam Linda Hutcheon, A Theory of Parody, Methuen,1986, hlm.1)
Alkisah seorang siswa kelas dua SMU sedang dihinggapi kebingungan saat harus memilih penjurusan di kelas III antara IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Kebetulan siswa tersebut-sebutlah namanya Bejo-memiliki rapor yang bagus dengan nilai rata-rata tujuh koma. Setelah konsultasi ke sana kemari, termasuk dengan orang tua dan guru BK(Bimbingan Konseling)-nya, dengan mantap ia menentukan pilihan: bergabung di Jurusan IPS, jurusan yang memang difavoritkannya sejak dulu. Walaupun untuk nilai matematika, fisika, atau kimia, Bejo tak pernah mendapat nilai di bawah tujuh, keinginan mengelaborasi fenomena-fenomena sosial, seperti yang sering dilakukannya saat mengkritik atau mendebat gurunya semakin memantapkan tekadnya untuk menekuni ilmu-ilmu sosial.
Sayang, ketika pilihannya (atau lebih tepat idealismenya) pada jurusan sosial itu hampir diputuskan dengan menandatangani surat pernyataan, mendadak pikirannya goyah. Bejo dibayangi ketakutan masa depan. Benaknya dipenuhi absurditas, ketidakjelasan tentang wacana keilmuan sosial yang akan digelutinya.
Menggunakan pola pikir pragmatis, sebagaimana lazimnya logika yang dipakai anak SMU, Bejo dihinggapai kekhawatiran akan prospek ilmu sosial. Sebutlah premis tentang ilmu sosial sebagai ilmu kelas dua, jurusan anak buangan dari IPA, sulit mencari kerja, NATO (sering omong tanpa gerak), banyak hafalan dan seterusnya.
Kekecewaan Bejo bertambah saat teman-temannya menyayangkan pilihannya dalam menentukan jurusan. Banyak dari mereka yang berkomentar :"Ah, sayang pintar-pintar kok masuk IPS" ada juga yang berkata " Mau jadi apa, kamu ?" Dan yang mungkin paling lucu, Bejo sempat mendengar isu bahwa siswa yang berasal jurusan IPS jarang yang diterima di PTN. Kalah bersaing dengan anak-anak IPA. Dengan perasaan frustrasi mendalam, akhirnya Bejo meninggalkan pilihan pertamanya, berpindah ke Jurusan IPA.
Uniknya, ketika masuk di perguruan tinggi. Bejo malah masuk di Jurusan Sosiologi. Sekejap kekecewaan atas gagalnya realisasi "idealisme-sosial" di SMU-nya terlampiaskan. Sayang absurditas kembali membayangi Bejo. Dari kacamata image/citra, Bejo dikenal teman-temannya, bahkan dosennya sebagai aktivis gerakan mahasiswa yang pandai berargumentasi dengan dialektika dan wacana sosial, baik "klasik" maupun "kontemporer", "kiri" maupun "kanan" Kerap kali ia menertawakan kerapuhan marxian atas determenisme ekonomi, positivisme, hingga ketidaksepakatannya terhadap teori tiga gelombang peradaban Alfin Toffler.
Namun dalam hatinya, Bejo selalu mempertanyakan kembali kontribusi ilmu sosial terhadap realitas masyarakat saat ini. Bagaimana ilmu-ilmu sosial dalam jangka pendek mampu menjawab persoalan-persoalan struktural maupun kultural bangsa Indonesia yang ruwet dan sangat kompleks. Apalagi ketidakjelasan ilmunya untuk menjawab tantangan kehidupan mendatang.
Sekali lagi Bejo bertanya dalam hati; apakah ilmu sosial hanya mampu mengetalasekan ide-ide para pemikir yang membentuk faksi-faksi intelektual dengan teori-teori sosialnya? Pemaksaan terhadap penerimaan atas perspektif dan paradigma tertentu? Kemudian ia melihat, lansekap moralitas bangsa Indonesia telah didominasi unsur-unsur kebobrokan yang kronis. Predikat buruk bahkan telah mencapai nomor satu untuk banyak hal. Sebutlah rankingisasi korupsi, kolusi, pelanggaran hak cipta hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), semuanya memperlihatkan angka-angka yang memprihatinkan.
Lepas dari perdebatan tentang parameter atau indikator apa saja yang digunakan untuk mengukur proposisi di atas, fakta demikian tentu sangat mencoreng muka bangsa Indonesia, termasuk Bejo yang selama ini selalu mengklaim dirinya sebagai bangsa berbudaya tinggi dan berbudi pekerti luhur. Ironisnya, perusak tatanan Republik ini dahulu juga orang-orang yang senantiasa bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Orang-orang kampus yang gemar bersuara toh akhirnya menyerah jika terjerat dalam kebobrokan struktural.
Bejo membayangkan, ketika pendidikan lebih cenderung memenuhi permintaan industri, ilmu-ilmu sosial ternyata semakin kerdil. Bahkan nyaris tak dapat berkembang, jika tidak ingin dikatakan dormansi (berhenti tumbuh alias mati!). Perdebatan batinnya saat ini tidak lagi menggugat kesetaraan antara ilmu alam maupun sosial, tetapi justru lebih pada dikotomi label-label percabangan ilmu yang sangat kaku membatasi geraknya dalam mendalami lintas disiplin ilmu sosial yang menurutnya sangat luas. Bejo yang kritis ternyata hanya menggigit jari melihat realitas.
Bejo, bahan Perenungan
Kisah semacam itu hingga saat ini pasti banyak dialami mahasiswa, tak hanya Bejo seorang, jika menilik peran strategis ilmu-ilmu sosial dengan konteks wacana keilmuan kontemporer. Sebenarnya kisah semacam itu boleh dikatakan sisa-sisa warisan dari apa yang terjadi di Eropa pada paruh kedua abad XIX, yakni gugatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang kemudian meniadakan pembedaan ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam labelisasi disiplin ilmu-ilmu tertentu.
Awalnya kajian ekonomi-politik, sosiologi politik, sosiologi historis misalnya, ditolak sebagai disiplin ilmu, dengan argumentasi bahwa negara dan pasar beroperasi dengan logikanya sendiri-sendiri yang memang berbeda dan tidak dapat dipertemukan secara konseptual karena perbedaan frame perspektif.
Untunglah, keadaan tersebut hanya bertahan hingga kurun waktu 45-an. Seiring dengan adanya berbagai perubahan-perubahan masyarakat secara mondial, ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang tersekat-sekat itu semakin kurang mampu menjelaskan berbagai gejala yang ada. Muncullah kajian-kajian yang bukan sekadar melibatkan berbagai disiplin ilmu/multidisipliner, tetapi juga lintas disiplin/interdisipliner, sebutlah kajian wilayah (area studies), kajian perempuan (women studies), kajian kebudayaan (cultural studies), kajian hak asasi manusia (human rights stuidies) dan sebagainya. Pendeknya, jika sebelum tahun 1945 terjadi divergensi ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kini terjadi konvergensi.
Tentunya munculnya disiplin ilmu-ilmu yang pernah tersekat-sekat secara kaku, namun semakin bersinggungan satu-sama lain dalam bentuk kajian atas subject matter tertentu, tidaklah lepas dari berbagai fenomena yang ada di dalam masyarakat yang terus berubah.
Tiga Garis Perpecahan
Kembali lagi pada konstruksi historis, walaupun universalitas sudah dibangkitkan, pada dasarnya ilmu-ilmu sosial sudah telanjur dibedakan ke dalam tiga garis perpecahan, yang dilakukan pada akhir abad kesembilan belas. Hal tersebut konon digunakan untuk menyusun secara sistematis hubungan antar ilmu-ilmu sosial. Pertama, garis antara kajian tehadap dunia modern/beradab (ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial nomotetis), dengan kajian terhadap dunia non-modern (antropologi, plus studi-studi oriental); di dalam kajian terhadap dunia modern. Kedua, garis antara masa lalu (ilmu sejarah) dengan masa kini (ilmu-ilmu sosial nomotetis); di dalam ilmu-ilmu sosial nomotetis. Ketiga, garis-garis tajam antara kajian tentang pasar (ilmu ekonomi), negara (ilmu politik), dan masyarakat warga (civil society) (Wallerstein,1997:55)
Tumpang tindih yang semakin membesar di antara ketiga ilmu-ilmu sosial nomotetis tradisional-ekonomi, politik, dan sosiologi-kurang mengandung kontroversi. Para sosiologlah yang tampil di depan, dengan membuat "sosiologi politik" maupun "sosiologi ekonomi" menjadi sub-sub bidang penting dan baku di dalam disiplin bersangkutan sejak awal dasawarsa 1950-an. Para ilmuwan ilmu politik menyusul di belakangnya. Mereka memperluas perhatian melampaui institusi-institusi pemerintahan yang formal. Mereka mendefinisikan kembali materi kajian mereka dengan memasukkan semua proses sosial yang mempunyai implikasi atau tujuan politik. Hasilnya, kajian tentang kelompok-kelompok penekan, gerakan protes, organisasi komunitas, dan sebagainya.
Universalisme disiplin atau pengelompokan disiplin ilmu lebih bersandar pada percampuran antara klaim-klaim intelektual dan praktik-praktik sosial tertentu yang berubah-ubah. Klaim-klaim dan praktik ini saling mendukung dan pada gilirannya, ditingkatkan oleh reproduksi institusional dari disiplin ilmu atau divisi yang bersangkutan.
Perubahan seringkali terjadi dalam bentuk adaptasi, di mana penyesuaian terus terjadi baik pelajaran-pelajaran universal yang diduga ditransmisikan dengan cara-cara khusus untuk mentransmisikannya. Secara historis, ini berarti sebuah disiplin telah dilembagakan, melalui klaim-klaim universalisme.
Lalu apa keuntungannya? Bukankah itu justru semakin menyuburkan absurditas tentang ilmu sosial seperti yang dialami Bejo? Ada ambivalensi satu teori dengan teori yang lain?
Memang benar jika pemahaman fatalistik cenderung dikedepankan. Walaupun universalisme keilmuan (terutama ilmu sosial) bisa melahirkan suatu penjelmaan terhadap "ideologi", hal tak akan terjadi jika "dikontrol" dengan "kritik" yang tak sekadar teori kritik tetapi lebih pada kritik yang tidak terfalsifikasi. Intinya, perlu semacam counter critics atas kritik yang lain, termasuk kritik terhadap universalisme.
Kembali lagi ke ranah persoalan universalisme ilmu-ilmu sosial. Bidang tersebut perlu mendapat perhatian karena berkaitan langsung dengan pengembangan ilmu sosial dalam menatap masa depan. Cabang ilmu sosial tertentu tak akan mampu berdiri tegak tanpa melirik disiplin keilmuan yang lain.
Dialog tentang universalisme keilmuan di ranah pendidikan kita saat ini, misalnya bisa dilihat dari disiplin ilmu komunikasi, sebuah disiplin ilmu "baru" yang melepaskan diri dari sosiologi, politik, ekonomi dan mencoba menyusun diri ke dalam format ilmiah baru.
Dalam praktiknya, komunikasi tidak hanya bermain di wilayah perdebatan epitemologis, tapi juga berekspansi ke wilayah orientasi akademis dan teknis. Dan kedua-duanya tetap bertalian dengan teori dan metodologi (Ashadi Siregar).
Dari segi teknis Ilmu Komunikasi tidak dapat dilepaskan dari penguasaan terhadap media, teknologi, dan informasi yang nota bene nilai legitimasi ilmiahnya serta merta tak bergantung pada sosiologi dan politik, bahkan juga kedekatannya dengan ilmu-ilmu alam (eksakta).
Selain pada disiplin ilmu sosial, sebenarnya universalisme harus merambah pada ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu alam mulai tampak lebih "lunak" dengan menundukkan alam sebagai sesuatu yang bersifat aktif dan dinamis. Alih-alih bukan lagi manusia dipahami sebagai sesuatu yang bersifat mekanis. Ilmuwan ilmu alam memandang bahwa dunia seharusnya dideskripsikan secara agak berbeda, juga terdapat hukum-hukum kausalitas. Timbullah kompleksitas dan simplifikasi yang dulu inheren dalam ilmunya. Misalnya studi tentang arsitektur lingkungan, bagaimana lingkungan mempengaruhi pola spasial (keruangan) bukan lagi hanya ruang-ruang mati yang menciptakan aktivitas. Pola pikir seperti ini bahkan semakin menjadi trend di kalangan pemikir Barat saat ini. Isu-isu lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM), korupsi selalu diintegrasikan dalam berbagai bidang, walaupun dalam kenyataannya juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang tak kalah runyamnya, sebutlah indoktrinasi ideologi, westernisasi, dan seabrek dampak mendasar lainnya. Yang terjadi sebagai akibat efek domino ilmu pengetahuan.
Banyak Benturan
Universalisme identik dengan keterbukaan, lintas-batas dan multidisipliner. Pemaknaan dan penerapannya masih mengandung kontroversi. Bisa jadi universalisme ilmu sosial diartikan sebagai perpanjangan tangan aliran positivisme yang memandang ilmu bebas nilai atau netral. Padahal kenyataanya teori positivisme ambruk oleh aliran kritik yang gencar menyerangnya. Tapi, universalisme sama sekali bukanlah positivisme. Universalisme lebih masuk akal jika diartikan "satu untuk semua, dan semua untuk satu".
Persoalan berikutnya adalah penerapannya yang sangat sulit untuk konteks Indonesia yang memang sistem pendidikannya sudah carut marut. Spesialisasi, kompetensi, yang menjadi alat industri tak mampu lagi menyuarakan profesionalisme, bahkan diartikan sebagai pengebirian keterbukaan lintas ilmu.
Lalu apa yang harus kita kembangkan? Persoalan mendasar sebenarnya berawal dari keseimbangan antara teori dengan paraktik. Ilmu eksak manapun akan kehilangan ruh ketika tidak mampu membaca gejala-gejala alam untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dengan ilmu-ilmu sosial. Polemik yang mendalam terhadap perdebatan absah-tidaknya, kuat lemahnya teori-teori ilmu sosial justru menjerumuskan siapa saja yang mempelajarinya ke ranah epistemologi yang buta.
Padahal tugas ilmu sosial adalah menjawab berbagai persoalan di masa kini dan mendatang dengan teori-teorinya itu, menjadi tindakan atau gerakan yang bernilai guna.
Dengan kepeduliannya pada nilai "kemanusiaan" ilmu sosial seharusnya mampu membebaskan manusia dari keterjebakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperbudaknya. Sebagai contoh, industrialisasi yang tujuan utamanya adalah mengangkat harkat manusia sebagai sarana memenuhi kebutuhannya, justru mengendalikan manusia supaya menopang proses industrialisasi (Nugroho, 1993: 12).
Keterbukaan, Kunci Ilmu Sosial
Jika praktik universalisme adalah bentuk riil kontribusi ilmu sosial sebagi subjek keilmuan, maka keterbukaan adalah syarat vitalnya. Tanpa keterbukaan, ilmu sosial tidak mempunyai kekuatan formal-ilmiah. Ekseklusifisme, adalah penyakit yang akan mematikan ilmu-ilmu sosial. Zaman sekarang bukan lagi didominasi oleh teori, tetapi aplikasi teori tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Barangkali terlalu naif bila ilmu sosial dituntut untuk menjawab segala persoalan yang timbul dalam masyarakat. Dalam konteks normatif seharusnya semua ilmu memang demikian, tetapi harap maklum, berbicara tentang kondisi riil pasar memang tidak semudah seperti apa yang dilihat oleh mata awam. Ada banyak polemik di dalamnya, menyangkut berbagai tangan kepentingan yang bermain dengan agenda masing-masing. Intinya, jika ilmu sosial terpaksa menghendaki perombakan paradigma dari teoritis menjadi teoritis-aplikatif dengan pendekatan universalitas, maka banyak komponen yang harus dibenahi secara total. Mulai dari manusia-manusia pembelajarnya yang dituntut bertindak profesional dengan ilmunya hingga perombakan sistem pendidikan kita dari pelayan pasar menjadi pasar yang melayani pendidikan kita.

* Tulisan ini pernah disertakan dalam Lomba Penulisan Esai Dies Natalis Fisipol UGM ke-47 tahun 2002 dengan tema Ancaman Kemacetan Ilmu-ilmu Sosial dan Tantangan Perubahan ke Masa Depan.
** Penulis adalah Mahasiswa Komunikasi UGM yang akan diwisuda pada bulan Agustus 2004 mendatang, mantan Editor Media Komunitas UGM Bulaksumur Pos ini adalah penyandang gelar Mahasiswa Berprestasi UGM 2003.
Pengertian
Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.
Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.
Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :
1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.
Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Pitirim Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber (semuanya berasal dari Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.
Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.

Definisi Sosiologi
Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.
Pitirim Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum

Objek dan tujuan sosiologi
Sebagai bagian dari ilmu sosial, objek sosiologi adalah masyarakat dilihat dari sudut hubungan-hubungan antarmanusia dan proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat. Tujuan sosiologi adalah meningkatkan daya atau kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Caranya adalah dengan mengembangkan pengetahuan yang objektif mengenai gejala-gejala kemasyarakatan yang dapat dimanfaatkan secara efektif untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Contoh, jika seseorang ingin berhubngan dengan masyarakat lain sudah selayaknya ia mempelajari dahuli sifat dan karakter masyarakat tersebut.
Pokok bahasan sosiologi
Fakta sosial
Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).
Tindakan sosial
Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
Khayalan sosiologis
Khayalan sosiologis diperlukan untuk dapat memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya.
Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah troubles dan issues. Troubles adalah permasalahan pribadi individu dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Issues merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah trouble. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan issue, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
Realitas sosial
Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.
Perkembangan sosiologi dari abad ke abad
Perkembangan pada abad pencerahan
Banyak ilmuwan-ilmuwan besar pada zaman dahulu, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran.
Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi dengan masyarakatnya. Pertanyaan dan pertanggungjawaban ilmiah tentang perubahan masyarakat belum terpikirkan pada masa ini.
Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.
Pengaruh perubahan yang terjadi di abad pencerahan
Perubahan-perubahan besar di abad pencerahan, terus berkembang secara revolusioner sapanjang abad ke-18 M. Dengan cepat struktur masyarakat lama berganti dengan struktur yang lebih baru. Hal ini terlihat dengan jelas terutama dalam revolusi Amerika, revolusi industri, dan revolusi Perancis. Gejolak-gejolak yang diakibatkan oleh ketiga revolusi ini terasa pengaruhnya di seluruh dunia. Para ilmuwan tergugah, mereka mulai menyadari pentingnya menganalisis perubahan dalam masyarakat.
Gejolak abad revolusi
Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniawan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah. Revolusi Perancis berhasil mengubah struktur masyarakat feodal ke masyarakat yang bebasGejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini.
Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :
Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya.
Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.
Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.
Kelahiran sosiologi modern
Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul pertama kalinya).
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
PROGRAM S3 SOSIOLOGI
________________________________________

LATAR BELAKANG
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada memiliki Program Pendidikan Sosiologi untuk jenjang S1 dan S2. Program ini telah banyak meluluskan Sarjana dan Master yang saat ini bekerja tersebar di seluruh Indonesia, baik sebagai pendidik, peneliti, dan praktisi. Dalam Rangka mendorong kontinyuitas pendidikan dari jenjang S2 ke S3 dan sekaligus meningkatkan kualitas lulusan Doktor Sosiologi, maka program pendidikan tersebut perlu distrukturkan. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mengurangi kelemahan program pendidikan Doktor yang selama ini tidak terstruktur (by research).
Program Pendidikan Doktor (S3) Sosiologi bertujuan menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan akademik dalam mengembangkan bidang disiplin Sosiologi pada khususnya dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dengan derajat akademik tertinggi. Pendidikan ini diselenggarakan dengan cara terstruktur (kombinasi by course work dan by research) agar peserta memperoleh wawasan seluas-luasnya, memiliki kemampuan mandiri dalam penelitian dan sikap kedisiplinan yang tinggi sebagai ilmuwan sosial. Oleh karena itu, program diarahkan untuk menghasilkan ilmuwan sosial yang memiliki kemampuan intelektual maupun keahlian praktis yang handal dalam menganalisis, menginterpretasi, dan memecahkan problem sosial dalam masyarakat.
Program Pendidikan Doktor (S3) Sosiologi yang terstruktur diharapkan akan dapat memberikan bekal secara teoritis dan kemampuan praktis yang memadai bagi para kandidat Doktor Sosiologi baik dalam melakukan penelitian, maupun dalam pengambilan kebijakan.

TUJUAN
1. Menghasilkan Doktor Sosiologi yang memiliki keahlian dalam bidang penelitian dan pengembangan bidang studi Sosiologi.
2. Menghasilkan Doktor Sosiologi yang berwawasan luas dan kritis sehingga bermanfaat untuk pengembangan masyarakat.
3. Menghasilkan Doktor Sosiologi yang memiliki bekal untuk dapat bekerja sebagai peneliti, praktisi, dan aktivitas sosial.

AKTIVITAS PROGRAM

SISTEM PEMBELAJARAN
Proses Pembelajaran diselenggarakan melalui metode seminar yang menuntut partisipasi aktif mahasiswa. Setiap mata kuliah diampu oleh dua orang atau lebih dosen bergelar S3. Jumlah tatap muka/seminar untuk setiap mata kuliah adalah maksimal 14 kali. Dosen pengampu menyusun topik-topik seminar dan bersama mahasiswa membuat jadwal pertemuan dan pembagian tugas bagi peserta. Dosen pengampu lebih berperan sebagai fasilitator daripada sebagai instruktur. Sistem penelitian didasarkan pada partisipasi dalam perkuliahan (dalam bentuk seminar) dan kualitas paper.

Mata kuliah (seminar) yang ditawarkan didesain untuk membantu mahasiswa dalam menulis disertasi. Daftar Mata Kuliah dan Silabus dievaluasi dan diperbarui pada setiap awal perkuliahan

Daftar Mata Kuliah (Seminar)
No. Mata Kulai (Seminar) SKS Semester
1. Perkembangan Teori-teori Sosial 3 I
2. Metodologi dan Metode Penelitian Ilmu-ilmu Sosial 3 I
3. Agama, Ideologi, dan Ilmu Pengetahuan 3 I
4. Critical Review atas Teori dan Praktek Pembangunan 3 II
5. Masyarakat Sipil, Kemajemukan, dan Demokrasi 3 II
6. Seminar Penyusunan Proposal Disertasi 3 II

WAKTU STUDI
Program Doktoral Sosiologi didesain untuk diselesaikan selama 6 semester atau 3 tahun.
Semester pertama dan kedua (tahun pertama) dialokasikan untuk perkuliahan melalui seminar. Pada tahun kedua dan ketiga, alokasi waktu studi dipergunakan untuk ujian proposal, ujian komprehensif, menulis disertasi, dan ujian tertutup dan terbuka (atau publikasi jurnal). Masa perpanjangan studi adalah 2 tahun, sehingga total masa studi menjadi 5 tahun.

SISTEM EVALUASI
Program Doktoral Sosiologi melakukan evaluasi untuk mendorong mahasiswa menyelesaikan studi tepat waktu.
Evaluasi tersebut meliputi:
1. Evaluasi tahap pertama dilakukan pada akhir semester II tahun pertama, setelah mahasiswa mengikuti perkuliahan untuk menilai kinerja dan kemampuan intelektual mahasiswa.
2. Evaluasi tahap kedua, dalam bentuk pra ujian komprehensif, dilakukan pada akhir semester II tahun pertama untuk mempersiapkan mahasiswa mengahadapi ujian komprehensif.
3. Evaluasi ketiga, dalam bentuk seminar ” progress report” yang dilakukan pada akhir semester II tahun kedua dan semester I tahun ketiga.
4. Evaluasi keempat, dalam bentuk penilaian kelayakan naskah disertasi untuk diuji secara tertutup. Evaluasi ini dilakukan pada akhir semester I tahun ketiga. Bagi naskah disertasi yang dinilai layak ujian, ujian tertutup dijadwalkan pada semester II tahun ketiga.

SISTEM DAN BENTUK UJIAN
1. Ujian komprehensif, dilakukan pada semester I tahun kedua. Pada tahap ini, mahasiswa yang tidak lulus ujian komprehensif tidak bisa melanjutkan program doktoral. Mahasiswa yang lulus ujian komprehensif diminta untuk segera melakukan kegiatan riset dan menulis disertasi.
2. Ujian tertutup, dijadwalkan untuk dilakukan pada semester II tahun ketiga oleh sebuah tim penguji.
3. Ujian terbuka atau publikasi jurnal. Bagi yang lulus ujian tertutup memiliki dua pilihan untuk merampungkan program doktoralnya, yakni melalui ujian terbuka atau melalui publikasi naskah disertasi ke jurnal yang bermutu.
Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Apabila Sosiologi difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik generasasi paling luas, karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku sosial yang berkelompok, maka Sosiologi dapat seakan-akan memanyungi ilmu-ilmu sosial lain.
Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan, pemanfaatan/eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme). Karena itu Ekonomi modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith, mengabstraksikan dimensi keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula yang mendekatkan sifat ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik.
Bersebrangan dengan itu Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok-kelompok ethnis, terutama yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau pra-aksara. Ilmu Antroophologi yang sudah mulai menjembatani dua ranah tersebut dengan mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical Antrhopology) maupun perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology Cultural/Social Antrhopology).
Ilmu politik memusatkan perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan pembagian dan pertukaran kekuasaan (=power). Sejarah menjadi sangat relevant dalam menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan (trends) dan membuka peluang, baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan, maupun membuka peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan. Beberapa cabang kelompok ilmu lain yang sering di acu sebagai kelompok Humaniora seperti Hukum, Pendidikan dan komunikasi pun menunjang dan memberi pengetahuan sangat berharga untuk sosiologi.
Dalam zaman penjajahan Belanda masyarkat Indonesia yang belum dipersepsikan sebagai satu kesatuan, lebih dipelajari dari sudut pandang Ethnologi dan Antropologi budaya. Berkaitan dengan itu juga Hukum Adat sangat diminati baik oleh sarjana Belanda maupun Indonesia, dan banyak diantara mereka bergelar Sarjana Hukum.
Mungkin minat tersebut juga merupakan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang ingin menghayati sifat dan tata kehidupan terutama suku-suku bangsa yang berperan di Nusantara. Nama-nama besar seperti Krom, Veth, dan Snouch Hurgronje boleh dikatakan perintis ilmu-ilmu sosial ini di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Sejak tahun 1920-an timbullah minat sarjana-sarjana Belanda untuk memahami masyarakat lebih luas, karena gejala-gejala sosial yang disoroti tidak terbatas pada lingkungan suku bangsa atau group ethnis. Di antaranya adalah B. Schrieke (1890-1945) yang menulis karangan-karangan ethnografis dan sejarah, sehingga gabungan kedua konteks itu bercorak Sosiologi. Salah satu variabel yang jelas mencerminkan ilmu Sosiologi yang menjadi garapan Schrieke adalah Akulturasi. Misalnya Shcrieke mengulas “Pergeseran kekuasaan Politik dan Ekonomi di Nusantara antara abad ke 16 sampai abad ke-17”. Satu sebab mengapa Schrieke kurang dikenal dan tulisannya kurang dibaca ialah karena beliau menulis dalam bahasa Belanda. Baru setelah tahun 1955 beredarlah kumpulan karangan Schrieke yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (2 jilid. 1955).
Tokoh Belanda lain yang melalui karangan sejarah melukiskan mayarakat Indonesia adalah J.C. van Leur (1934-1942). Jelas konteks makronya tercermin dari judul-judul karangan seperti a.l. Indonesian Trade and Society. Seorang Sarjana Hukum lain yang dikenal dan menulis tentang Indonesia masa kini (kontemporer), bahkan juga meletakkan Indonesia dalam konteks lebih luas lagi adalah Prof. W.F. Wertheim (1899-2001) yang pernah mengajar di Rechts Hogeschool di Jakarta (1936) dan menjadi guru besar tamu di Fakultas Pertanian, UI (Bogor) 1957. Karena Wertheim mengalami pendudukan Jepang di Indonesia dan sempat mengamati kebangkitan Nasional Indonesia pula, beliau, dapat merekam perubahan sosial dalam bukunya “Indonesia Society in Transition” dari daerah jajahah menjadi Republik yang berdaulat.

II. PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI
Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.

III. REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding (1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2] Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper Torchbooks.
[3] C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.

LAIN PADANG, LAIN BELALANG

Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya

Thomas Hylland Eriksen

Penterjemah
Mohamed Yusoff Ismail
Jabatan Antropologi dan Sosiologi
Universiti Kebangsaan Malaysia
(Jun 2001)

1. Antropologi Sosial:
Persamaan dan kelainan budaya
Antropologi ialah falsafah dengan orangnya sekali
-- Tim Ingold

Buku ini mengajak kita mengembara. Pengembaraan yang akan dilakukan itu, pada hemat pengarang, sangat bermanfaat sebagai satu pengalaman hidup pada diri seseorang. Tentu sekali perjalanannya sangat jauh, dan luas pula jelajahan teluk rantaunya. Pembaca akan dibawa dari hutan lembab Amazon hingga ke gurun beku Artik; dari pencakar langit di Manhattan ke rumah tanah liat orang Sahel; dari perkampungan asli di pergunungan New Guinea ke kawasan bandar di benua Afrika moden.
Perjalanan itu juga sangat jauh dalam erti kata yang lain, kerana tumpuan utama antropologi sosial dan antropologi budaya ialah masyarakat secara menyeluruh. Justeru itu antropologi cuba menghuraikan hubungkait antara pelbagai aspek kemasyarakatan dalam kewujudan kita sebagai insan sosial. Misalnya, apabila kita mengkaji sistem ekonomi tradisional orang Tiv di Nigeria Tengah, kita juga, pada masa yang sama, cuba mengetahui bagaimana sistem ekonomi mereka itu berkait pula dengan perkara-perkara lain dalam kehidupan sosial mereka. Tanpa melihat kaitan tersebut dengan teliti, sistem ekonomi itu agak sukar difahami oleh antropologis. Misalnya, kita tahu yang secara tradisionalnya orang Tiv tidak menganggap tanah sebagai barang untuk dijual beli, dan kelazimannya mereka tidak menggunakan mata wang sebagai cara untuk melunaskan bayaran. Justeru itu kita mesti memahami kenyataan ini terlebih dahulu, kalau tidak agak sukar untuk kita memahami dengan jelas bagaimana orang Tiv bertindak apabila mereka berhadapan dengan perubahan ekonomi yang berlaku sewaktu masyarakat mereka berada di bawah kuasa penjajah.
Antropologi cuba menghuraikan bagaimana terdapat perbezaan dari segi sosial dan budaya di muka bumi, tetapi sebahagian penting daripada penelitian antropologi ialah memahami persamaan antara sistem sosial yang berbagai-bagai itu dalam konteks hubungan kemanusiaannya. Seperti yang pernah disebut oleh salah seorang daripada antropologis yang terkemuka dalam abad ke-20, Claude Lévi-Strauss, "Antropologi itu menjadikan manusia sebagai bahan penelitiannya, tetapi berbeza dengan sains kemanusiaan yang lain, antropologi cuba menangani bahan penelitiannya melalui kepelbagaiannya yang sangat luas" (1983, h. 49).
Seorang lagi antropologis yang terkemuka, Clifford Geertz, memberikan pandangan yang sama dalam sebuah karya yang membincangkan perbezaan antara manusia dan haiwan:
Kalau kita ingin mengetahui apa yang membentuk manusia, kita boleh melihatnya daripada manusia itu sendiri: tetapi apa yang menjadikan manusia itu manusia, di antara yang terunggul, ialah kepelbagaiannya. Hanya dengan memahami kepelbagaian ini — baik dari segi jenisnya, bentuknya, asasnya, dan kesannya — barulah boleh kita membentuk satu konsep berkenaan sifat manusia, iatu konsep yang mempunyai isi dan kebenaran, yang bukan dibayangi oleh perangkaan dan gambaran mimpi yang agak kabur. (Geertz 1973, h. 529)
Walaupun di kalangan antropologis terdapat minat yang berbagai-bagai yang seringkali pula ditumpukan kepada sesuatu penelitian yang khusus, tetapi semua antropologis mempunyai kecenderungan yang sama, iaitu keinginan untuk memahami hubungan dalam masyarakat dan juga hubungan antara masyarakat. Perkara ini akan menjadi lebih jelas lagi sebaik sahaja kita memulakan perjalanan kita dengan membincangkan intipati dan teori dalam antropologi sosial dan antropologi budaya.
Sebenarnya terdapat banyak cara untuk menyelidiki hubungan tersebut. Ada pengkaji yang berminat untuk memahami kenapa dan bagaimana orang Azande di Afrika Tengah percaya dengan tukang sihir, mengapa di Brazil tahap perbezaan sosialnya lebih luas daripada yang terdapat di Sweden, bagaimana penduduk di Mauritius menghindari daripada berlakunya rusuhan etnik, atau apa sebenarnya yang telah terjadi kepada gaya hidup cara lama orang Eskimo Inuit semenjak beberapa tahun kebelakangan. Pada umumnya telahpun ada seorang dua antropologis yang pernah melakukan penyelidikan serta telah menulis berkenaan masalah tersebut. Ada pula penyelidik yang berminat meneliti agama, cara membesarkan anak, kuasa politik, kehidupan ekonomi, atau hubungan antara lelaki dengan wanita. Untuk itu sudahpun terdapat sejumlah penulisan profesional oleh antropologis yang dapat memberikan gambaran dan maklumat yang lebih terperinci.
Disiplin antropologi juga berminat untuk menyusuri hubungkait antara pelbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Biasanya antropologis akan memulakan penelitian terhadap perkara tersebut dengan melakukan penyelidikan yang terperinci terhadap kehidupan sosial dalam sesuatu masyarakat yang dipilih atau satu persekitaran sosial yang sempadannya telah dikenalpasti dengan jelas. Justeru itu bolehlah dikatakan bahawa antropologi sentiasa bertanyakan persoalan yang besar dan luas, tetapi pada waktu yang sama mengambil iktibar daripada tempat yang kecil dan terpencil.
Sebelum ini kita biasanya mengaitkan sifat ulung antropologi dengan masyarakat kecil bukan-industri, iaitu berbeza sekali daripada bidang-bidang lain dalam pengajian kemanusiaan. Tetapi gambaran seperti ini sudah tidak begitu tepat lagi kerana dunia sudah banyak berubah, dan begitulah juga halnya dengan disiplin antropologi. Bahkan hampir semua sistem sosial boleh dijadikan bahan kajian antropologi, dan penyelidikan antropologi masa kini membuktikan betapa luas bidang cakupannya, bukan sahaja dari segi empiris tetapi juga dari segi tema dan topiknya.
Sebelum kita melihat dengan lebih dekat sifat-sifat unggul antropologi, ada baiknya jika kita tinjau dahulu sejarahnya. Seperti juga halnya dengan bidang sains sosial yang lain, antropologi moden adalah satu disiplin ilmiah yang agak baru. Sifatnya seperti yang terdapat dewasa ini sebenarnya terbentuk dalam abad ke-20, tetapi bibitnya sudah lama tersemai dalam bidang ilmu lain yang berkaitan seperti historiografi, geografi, catatan pengembara, falsafah dan undang-undang zaman silam.
Teori Berkenaan Masyarakat Primitif
Memang terdapat banyak cara untuk menulis sejarah perkembangan antropologi. Jika kita perhatikan dengan lebih mendalam, kita akan mendapati bahawa perkara pokok perbincangan antropologi telah lama berakar umbi dalam penulisan Herodotos, ahli sejarah berbangsa Yunani (sekitar 484-420 Sebelum Masehi), atau dalam karya Strabo, seorang ahli geografi (sekitar 64-32 Sebelum Masehi). Kedua-duanya merupakan perintis dalam pemerihalan bercorak etnografis; mereka menulis dengan begitu jelas tentang masyarakat di tempat lain. Pemerihalan mereka tentang adat resam, bahasa, dan ‘keganjilan’ masyarakat asing dilakukan dengan seberapa jelas yang mungkin, dan biasanya tanpa melibatkan sebarang penilaian moral. Herodotos mungkin bersetuju dengan pandangan semasa di kalangan antropologis bahawa setiap masyarakat itu mestilah difahami dan dilihat dari kaca mata masyarakat itu sendiri. Walaupun Herodotos dan Strabo bergantung kepada sumber-sumber lain dalam penulisan mereka, tetapi jelas sekali bahawa mereka menggunakan sumber tersebut dengan penuh berhati-hati, kerana pada pendapat mereka sesuatu kenyataan yang dibuat oleh seseorang itu hanya dapat disahkan kebenarannya jika kita sendiri yang melakukan pemerhatiannya. Dalam hal ini mereka bolehlah dianggap sebagai ahli sains sosial ‘sebelum zaman persuratan’ (avant la lettre).
Sejarah perkembangan antropologi moden boleh juga dikatakan bermula dengan ahli falsafah abad ke-18 seperti David Hume dan Immanuel Kant. Hume, salah seorang daripada ahli empirisis British (sama seperti Locke dan Berkeley), menghujahkan bahawa pengalaman sendiri adalah satu-satunya sumber kepada pengetahuan sebenar yang boleh dipercayai. Beliau kemudiannya mempengaruhi dengan kuat para ahli sains sosial empiris, yang terdiri daripada beberapa orang pengasas yang terus terang menolak pegangan bahawa tanggapan dan tekaan boleh dijadikan sumber pengetahuan yang sah. Bagi golongan ini mereka sanggup keluar mengembara ke alam sosial serta menggunakan mata dan telinga untuk mengalami secara peribadi keadaan sebenar (perkataan ‘empiris’ sebenarnya bermakna ‘berasaskan pengalaman’). Kant pula telah cuba menolak beberapa pendapat Hume, dan beliau menghujahkan bahawa manusia mempunyai daya pemikiran atau kebolehan mental yang sama, yang dikatakan terletak pada cara mereka berfikir. Dalam perkataan lain, Kant berpendapat bahawa manusia itu dilahirkan dengan satu ‘formula’ tunggal untuk berfikir; justeru itu manusia di segenap pelusuk dunia berfikir dengan cara yang hampir sama. Usulan ini, yang berhubung dengan tret pemikiran yang sejagat (universal mental traits), telah menjadi satu fokus perbincangan yang penting dalam perkembangan antropologi moden.
Kebanyakan penulisan berkenaan sejarah antropologi bukan bermula dengan Herodotos atau Kant, tetapi dengan cendekiawan pertengahan abad ke-19. Asas kepada antropologi moden dapat dikaitkan dengan buku Ancient Law (1861) oleh Henry Maine dan beberapa buah buku Lewis Henry Morgan, termasuk Ancient Society (1877). Kedua-dua orang pengarang telah membina beberapa teori tentang ‘masyarakat primitif’, dan pandangan mereka terus berpengaruh sehingga jauh ke dalam abad ke-20. Maine, yang pernah menjalankan penyelidikan di India, telah mengemukakan perbezaan asas antara masyarakat yang berasaskan hubungan status dengan yang berasaskan hubungan kontrak, iaitu dua konsep kembar yang kemudiannya ternyata telah banyak mempengaruhi kita dalam membezakan masyarakat ‘tradisional’ daripada masyarakat ‘moden’. Dalam masyarakat yang berteraskan hubungan status atau yang tradisional sifatnya, Maine menegaskan bahawa faktor kekerabatan sangat penting dalam menentu-kan kedudukan seseorang; manakala dalam masyarakat yang berteraskan hubungan kontrak, kedudukan sosial seseorang itu ditentukan oleh pencapaian peribadinya berdasarkan kebolehan dan kepandaiannya.
Sumbangan Morgan yang sangat penting terhadap perkembangan awal antropologi ialah teori evolusi sosialnya. Beliau mengemukakan tiga tahap utama dalam evolusi atau perkembangan sesuatu masyarakat: savagery, barbarism, dan tamadun. Pada tahap savagery (liar buas), manusia hidup dengan memburu serta meramu; pada tahap barbarism (liar ganas), pertanian dan menternak haiwan menjadi cara hidup mereka; sementara masyarakat yang sudah mencapai tahap tamadun mempunyai sistem persuratan dan mampu membentuk sistem pemerintahan berkerajaan atau state.
Tahap perkembangan masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Morgan adalah salah satu daripada bentuk teori evolusi dalam abad ke-19. Antara yang sangat terkenal, dan yang pastinya sangat kompleks, ialah teori perkembangan sosial perjuangan kelas yang dipelopori oleh Karl Marx (lihat Bab 9). Walaupun Marx adalah seorang pemikir yang jauh lebih unggul daripada Morgan, tetapi Morganlah yang lebih penting dari segi sumbangan terhadap perkembangan awal antropologi kerana menumpukan minatnya terhadap masyarakat bukan-industri, dan juga kerana cara beliau menggunakan dengan teliti sumber-sumber etnografis.

Evolusionisme dan Difusionisme
Satu ciri antropologi pada abad ke-19 ialah pegangan kepada evolusi sosial — iaitu pendapat bahawa masyarakat berkembang mengikut arah yang tetap dan sehala — serta anggapan bahawa masyarakat Eropah adalah hasil yang terbentuk di penghujung perjalanan tersebut, yang semestinya mengambil masa yang sangat lama, bermula dengan tahap liar buas (savagery). Pandangan seperti ini menjadi satu kelaziman dalam zaman Victoria selain daripada kepercayaan bahawa kemajuan dan pencapaian teknologi yang mereka miliki itu adalah kemuncak kepada keunggulan mereka. Pada zaman yang samalah dasar penjajahan Eropah mula berkembang ke tempat lain. Bagi orang Eropah penjajahan perlu dilakukan kerana mereka mempunyai tanggung jawab untuk membela nasib masyarakat di luar Eropah selari dengan apa yang disebut oleh Rudyard Kipling sebagai ‘beban orang kulit putih’ (white man’s burden) -- kononnya orang Eropahlah yang bertanggungjawab dalam ‘mentamadunkan orang liar buas’ (to civilise the savages). Teori evolusi Charles Darwin, yang pertama kali diperkenalkan dalam bukunya On the Origin of Species by Means of Natural Selection (1859), juga telah mempengaruhi kuat pemikiran intelektual dalam separuh kedua abad ke-19. Penyokong kuat Darwin, Herbert Spencer, telah mengemukakan aliran pemikiran Dawinisme Sosial, yang berpegang kepada pendapat bahawa masyarakat berkembang mengikut cara yang sama seperti yang dilalui oleh spesies haiwan dari segi adaptasi persekitaran, iaitu melalui persaingan sesama sendiri sehingga tinggal yang terunggul dan terkuat sahaja (survival of the fittest).
Satu lagi aliran pemikiran antropologi dalam abad ke-19 ialah difusionisme yang berpusat di Jerman, iaitu aliran yang berkaitan dengan penyebaran tret budaya mengikut kawasan geografis. Jika sekiranya golongan evolusionis berpendapat bahawa setiap masyarakat mempunyai keupayaan dalaman untuk mengalami perubahan, golongan difusionis pula berusaha untuk membuktikan bahawa kewujudan sesuatu tret budaya itu biasanya dibawa masuk dari luar. Walaupun sering terdapat percanggahan pendapat antara dua golongan tersebut, pada prinsipnya difusionisme tidak semestinya berlawanan sama sekali dengan evolusionisme; kedua-dua pendekatan pernah dan mungkin boleh diterima tanpa berat sebelah kepada mana-mana pihak. Dalam antropologi, minat terhadap difusionisme mula menurun sekitar Perang Dunia Pertama, kerana pada masa itu kebanyakan penyelidik telah menukar kaedah penyelidikan masing-masing dengan menumpu kepada satu-satu masyarakat secara mendalam tanpa menghiraukan sejarah perkembangan masyarakat berkenaan. Walaubagaimanapun, satu aliran teori yang mirip kepada difusionisme mula kembali dalam tahun 1990an, iaitu di bawah nama ‘globalisasi’ atau pensejagatan (lihat Bab 18). Pendekatan globalisasi cuba memahami dan menghuraikan bagaimana sistem perhubungan moden, penghijrahan penduduk, sistem kapitalis dunia dan pelbagai fenomena lain yang bersifat ‘global’ atau ‘sejagat’ mempengaruhi cara hidup penduduk tempatan di segenap pelusuk dunia.
Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul cendekiawan British seperti Edward Tylor, James Frazer dan W. H. R. Rivers. Melalui merekalah kita diperkenalkan dengan antropologi sosial moden. Tylor telah menulis tentang pelbagai tajuk, tetapi yang terpenting ialah takrifan ‘budaya’ yang digubal oleh beliau dalam tahun 1871. Oleh kerana takrifannya itulah Tylor terus diingati dalam sejarah perkembangan antropologi. Takrifan yang terkenal itu berbunyi: "Budaya atau tamadun, dalam erti kata etnografis yang luas, ialah gagasan keseluruhan yang merangkumi pengetahuan, kepercayaan, seni, tata susila, adat, dan apa sahaja kebolehan dan tingkah laku yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat’ (Tylor 1968 [1871]). Sehingga hari ini takrifan yang mula-mula sekali dibuat oleh Tylor terhadap ‘budaya’ masih lagi dianggap berguna oleh ramai antropologis.
Anak murid Tylor, James Frazer, telah menulis The Golden Bough (1890) dalam 12 jilid, iaitu sebuah karya yang sangat tebal walaupun dalam bentuk yang sudah diringkaskan (Frazer 1974 [1922]). Kandungannya terdiri daripada perbandingan yang sangat luas tentang agama dan ritus, serta pelbagai bentuk maklumat etnografis yang terperinci yang sangat bernilai dari segenap pelusuk dunia. Tylor dan Frazer adalah evolusionis, dan usaha utama Frazer dalam teorinya bertujuan membuktikan bagaimana pemikiran manusia itu berkembang, mula-mula dari tahap magis, kemudian ke tahap keagamaan, dan seterusnya ke tahap saintifik.
Tylor dan Frazer tidak pernah melakukan sebarang penyelidikan lapangan secara mendalam, walaupun Tylor sendiri pernah tinggal buat beberapa tahun di Mexico dan menulis sebuah buku di sana. Satu cerita yang diketahui ramai mengesahkan bagaimana William James, seorang ahli falsafah yang disegani, pernah bertanya kepada Frazer, sewaktu sama-sama menghadiri sebuah majlis makan malam, sama ada Frazer sendiri pernah bergaul dengan ahli masyarakat liar yang telah begitu banyak diperihalkan olehnya. Jawapan Frazer dikatakan sangat menakjubkan, kerana dengan nada yang terkejut beliau menjawab "Minta dijauhi tuhan hendaknya!’ (Evans-Pritchard 1962).
Keadaannya agak berlainan pula dengan W. H. R. Rivers dan rakan-rakannya, termasuk A. R. Haddon dan Charles Seligman. Mereka tidak bergantung sangat kepada laporan yang ditulis oleh mubaligh dan pengembara, yang kadang kalanya tidak begitu tepat. Sebaliknya mereka sendiri telah keluar ke lapangan untuk melakukan penyelidikan. Rivers dan rakan-rakannya telah mengambil bahagian dalam sebuah lawatan penyelidikan ke Selat Torres (terletak di antara New Guinea dan Australia) dalam tahun 1898. Lawatan itulah yang dianggap oleh ramai sarjana sebagai pembuka tirai kepada era baru kerja lapangan dalam amalan antropologi moden.
Kemunculan Antropologi Moden
Franz Boas dan Bronislaw Malinowski seringkali dianggap sebagai antropologis moden yang pertama. Boas berketurunan Jerman, tetapi telah berhijrah ke Amerika Syarikat dalam tahun 1880an untuk mengkaji suku bangsa peribumi Amerika. Beliau sendiri telah melakukan penyelidikan yang terperinci di kalangan orang Inuit dan beberapa kaum lain, dan beliaulah satu-satunya orang yang telah menubuhkan tradisi antropologi budaya di Amerika. Beberapa orang antropologis yang terkenal seperti Alfred Kroeber, Ruth Benedict dan Margaret Mead berguru dengan Boas. Pengaruh beliau berkembang dengan mendalam dalam banyak bidang penyelidikan, tetapi sumbangannya yang terulung ialah dalam doktrin relativisme budaya (cultural relativism), iaitu pendapat bahawa sesuatu budaya itu mestilah difahami mengikut logik budaya masyarakat berkenaan. Mengikut pandangan tersebut agak mengelirukan dari segi analisis jika setiap budaya itu disusun mengikut tinggi rendah di atas anak tangga evolusi. Relativisme budaya masih lagi berguna sebagai alat dalam metodologi penyelidikan hingga hari ini; perhatian mendalam tentang pendekatan ini akan diberikan kemudian dalam buku ini.
Malinowski dilahirkan di Poland, tetapi beliau telah berhijrah ke Britain dalam tahun 1910. Sumbangan beliau yang sangat penting ialah penulisannya yang sangat terperinci lagi mendalam tentang kehidupan sosial di Kepulauan Trobriand yang terletak tidak jauh dari New Guinea. Kerja lapangan beliau di sana berterusan sehingga lebih dari dua tahun, iaitu dari tahun 1915 hingga 1918. Kerja lapangan seperti yang dilakukan oleh Malinowski, yang melibatkan hubungan rapat dan berterusan dengan penduduk tempatan, telah menjadi satu-satunya contoh penyelidikan yang terus menerus dikagumi dan ditauladani oleh generasi antropologis yang menyusul kemudian. Malinowski telah menekankan peri pentingnya dikaji hubungkait antara pelbagai aspek sosial dalam masyarakat, dan seterusnya berpendapat bahawa kerja lapangan yang memakan masa yang lama adalah sesuatu yang sangat penting. Satu perkara lagi yang sangat mustahak mengikut pengalaman Malinowski ialah kemahiran bertutur dalam bahasa tempatan. Monograf yang ditulis oleh Malinowski, Argonauts of the Western Pacific (1922) telah menjadi sebuah buku klasik dengan serta merta kerana pemerihalan etnografisnya yang sangat menyeluruh dan sistematis, serta kekuatannya dalam memberikan keyakinan kepada pembaca akan peri pentingnya mengkaji sesuatu fenomena sosial atau budaya itu secara mendalam dan menyeluruh.
Salah seorang daripada rakan sebaya Malinowski, yang juga tidak kurang hebatnya dari segi sumbangan kepada perkembangan antropologi, ialah A. R. Radcliffe-Brown. Beliau banyak dipengaruhi oleh ahli sosiologi Perancis yang terkenal, Émile Durkheim, melalui penulisannya berkenaan dengan kesepaduan sosial. Durkheim juga telah banyak menulis tentang pembahagian kerja (division of labour) dalam masyarakat ‘primitif’, dan juga berkenaan dengan agama dan totemisme (lihat Bab 13 dan 14). Bagi beliau masyarakat boleh dilihat sebagai satu gagasan organik yang menyeluruh yang terdiri daripada beberapa bahagian. Bahagian-bahagian ini, yang boleh disamakan dengan individu atau institusi sosial, memainkan peranan tertentu dalam memenuhi tuntutan dari segi fungsi sosialnya. Dengan perkataan lain bahagian inilah yang memainkan peranan penting dalam menyumbang kepada kestabilan masyarakat. Radcliffe-Brown telah menggunakan teori sosial Durkheim untuk menganalisis bahan etnografis yang dikumpulnya sendiri dan juga bahan etnografis beberapa penyelidik lain yang mengkaji pelbagai masyarakat ‘primitif’. Beliau memberi tekanan bahawa sesuatu masyarakat hendaklah dikaji dalam keadaan semula jadi dan persekitaran sebenar. Pendirian ini adalah lebih baik daripada pendekatan yang menggunakan kaedah persejarahan tekaan (conjectural history) seperti yang cenderung dilakukan oleh antropologis daripada generasi sebelumnya. Bahkan, kedua-dua orang antropologis, iaitu Malinowski dan Radcliffe-Brown, pernah memperlihatkan sikap kurang senang kaedah persejarahan budaya.
Radcliffe-Brown dianggap sebagai pengasas kepada pendekatan struktural-fungsionalisme dalam antropologi. Doktrina ini adalah berkenaan dengan peranan pelbagai institusi sosial dalam menyumbang kepada kestabilan masyarakat. Malinowski sendiri bukan seorang struktural-fungsionalis, biarpun beliau mengaku dirinya menggunakan pendekatan fungsionalis. Radcliffe-Brown dan pengikutnya berpendapat bahawa setiap individu dalam masyarakat, berserta dengan tindak tanduknya, sebenarnya adalah ‘hasil sampingan’ daripada kewujudan masyarakat yang merupakan lembaga yang lebih besar dan menyeluruh. Dalam hal ini tugas individu ialah menyumbang kepada kesepaduan dan keutuhan masyarakat dari segi maknanya yang lebih mendalam. Malinowski pula mempunyai pandangan yang berlainan; bagi beliau kewujudan masyarakat itu adalah untuk memenuhi kepentingan individu, bukan sebaliknya. Perbezaan pendapat antara kedua-dua tokoh, yang bermula pada masa perkembangan awal antropologi moden, berlarutan sehingga ke hari ini. Sesetengah antropologis berpendapat bahawa kewujudan masyarakat itu adalah ‘hasil sampingan’ yang tidak dirancang yang terbentuk daripada tindak tanduk manusia; sementara sesetengah antropologis pula menganggap bahawa individu atau orang perseorangan itu adalah hasil daripada wujudnya masyarakat.
Banyak lagi yang boleh disebut tentang tokoh-tokoh penting yang telah mewarnai pemikiran antropologi masa kini. Durkheim, dengan aliran pemikiran sosiologi Perancisnya, telah mempengaruhi perkembangan antropologi dengan begitu meluas sekali. Anak saudara beliau, Marcel Mauss, telah menulis beberapa karya, tetapi yang terpenting ialah berkenaan peranan hadiah dalam kehidupan sosial, Essai sur le don (The Gift, 1954 [1925]; lihat Bab 11). Lucien Lévy-Bruhl, rakan sebaya Mauss, telah menulis buku berkenaan pelbagai bentuk dan cara berfikir, iaitu penulisan yang akhirnya telah mencetus perdebatan hangat, berpanjangan dan begitu kompleks, berhubung dengan cara berfikir masyarakat ‘primitif’-- sama ada cara dan bentuk mereka berfikir itu jauh berbeza dengan bentuk dan cara berfikir orang ‘moden’ (lihat Bab 14). Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa, juga mesti disebut dalam konteks perdebatan yang sama kerana sumbangannya yang penting. Penulisan beliau berkenaan dengan struktur bahasa telah menjadi sumber ilham kepada salah satu daripada aliran pemikiran antropologi yang terulung dalam abad ini, iaitu strukturalisme, yang dipelopori oleh Claude Lévi-Strauss (Bab 7 dan 8).
Sigmund Freud, dengan teori psikoanalisisnya, juga mempunyai pengaruh yang kuat terutama sekali terhadap perkembangan antropologi di Amerika. Akhir sekali, tradisi sosiologi Jerman klasik, daripada Karl Marx, Ferdinand Tönnies, Max Weber dan lain-lain, terus menerus mempunyai pengaruh yang kuat ke atas pemikiran antropologi sosial masa kini. Dalam bab-bab seterusnya kita akan kembali semula membincangkan aliran pemikiran yang telah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh agung dalam perkembangan teori sosial.
Tradisi Berlainan dalam Antropologi
Antropologi adalah satu bidang yang luas liputannya dan pelbagai pula sifatnya, yang diamalkan dalam bentuk yang berbeza-beza bergantung kepada tempat dan keadaan. Namun demikian antropologi masih tetap mempunyai sifatnya yang khusus walau di manapun diamalkan. Semenjak Perang Dunia Kedua, antropologi mendapat tempat penting di Great Britain, Amerika Syarikat, Perancis dan Australia. Antropologi British, yang umumnya lebih dikenali sebagai antropologi sosial, juga mempunyai kedudukan yang kuat di negara-negara Scandinavia dan India. Penekanannya adalah terhadap penelitian ke atas proses sosial; justeru itu sifatnya lebih dekat kepada sosiologi. Ahli antropologi sosial British, Edmund Leach (1982), pernah menyatakan bahawa kajiannya tidak lain dan tidak bukan adalah ‘sosiologi mikro perbandingan’ (comparative micro-sociology). Di Amerika Syarikat, orang lebih berminat untuk menggunakan istilah antropologi budaya, dan secara umumnya pengaruh sosiologi tidak begitu ketara seperti yang dapat kita lihat dalam tradisi antropologi sosial British. Namun demikian antropologi di Amerika telah banyak dipengaruhi bentuknya oleh linguistik dan pra-sejarah. Beberapa bentuk pengkhususan dalam sub-bidang antropologi seperti ekologi budaya, antropologi linguistik, serta pendekatan yang menggembeling kaedah psikologi dan interpretive anthropology atau hermeneutic anthropology, lahir di Amerika.
Perkembangan antropologi Perancis dalam zaman selepas perang mempunyai kaitan yang rapat dengan strukturalisme (lihat Bab 7), terutama sekali dengan sarjana seperti Claude Lévi-Strauss, Louis Dumont dan Maurice Godelier yang terkenal sebagai strukturalis yang menggunakan pendekatan Marxist. Antropologi Perancis juga mempunyai pengaruh yang kuat di Amerika Selatan, Itali dan di Semenanjung Iberia, serta sebahagiannya di Belgium dan Belanda.
Kepelbagaian pendekatan dalam antropologi seperti yang dinyatakan di atas tidak semestinya dibesar-besarkan. Walaupun terdapat perbezaan pada masa lepas (dan juga dewasa ini) antara mereka yang mengamalkan antropologi secara profesional di negara-negara tertentu, perkara pentingya ialah disiplin antropologi itu pada hakikatnya tetap satu — biarpun disiplin ini mempunyai pelbagai pengkhususan serta merangkumi pula aliran pemikiran yang berlainan. Dalam buku ini kita tidak banyak membezakan antara antropologi budaya dengan antropologi sosial, tetapi satu perkara yang harus diingat ialah pengembaraan kita bertolak daripada pendekatan antropologi sosial. Misalnya, dalam bab yang membincangkan konsep-konsep teoritis (Bab 3-5) sebahagian besar daripada kandungannya diasaskan kepada teori-teori sosiologi. Dari segi perspektifnya, buku ini bersifat perbandingan dalam erti kata bahawa setiap contoh atau kes yang dipaparkan itu dibandingkan, sama ada secara langsung atau tidak langsung, dengan fenomena yang sama dalam masyarakat yang berlainan.
Perisian Antropologi Secara Ringkas
Jadinya, apakah itu antropologi? Biarlah kita mulakan dengan etimologi atau asal usul istilahnya. Antropologi terdiri daripada dua patah perkataan Greek, anthropos dan logos, yang boleh diterjemahkan kepada ‘manusia’ dan ‘huraian’. Oleh itu antropologi bermakna ‘huraian tentang manusia’ atau ‘pengetahuan tentang manusia’. Sosial antropologi pula bermakna pengetahuan tentang manusia dalam masyarakat. Takrifan tersebut sudah tentulah merangkumi bidang sains sosial yang lain, tetapi buat permulaan takrifan ini sudah memadai.
Istilah culture (budaya) yang sangat penting dalam disiplin antropologi berasal daripada perkataan Latin colere, iaitu kata kerja yang bermakna ‘mencambah’ (cultivate). (Perkataan Inggeris colony juga mempunyai asal usul yang sama). Tetapi dalam hal ini apa yang dimaksudkan dengan perkara yang ‘dicambah’ itu ialah ‘budaya’, yang merupakan aspek kehidupan yang menjelma bukan secara semula jadi. Proses ini mesti dilalui dan dicapai oleh seseorang individu sebelum ia menjadi anggota sesuatu masyarakat. Oleh itu dalam antropologi ungakapan ‘mencambah budaya’, dalam pengertian yang lebih luas, membawa maksud ‘menanam kemampuan berbudaya seseorang manusia’. Antropologi budaya pula bermakna ‘pengetahuan berkenaan dengan manusia yang dicambah dengan budaya.’
Dalam penggunaannya dalam bahasa Inggeris istilah culture atau ‘budaya’ merupakan salah satu daripada dua atau tiga perkataan yang sangat rumit dan sangat bermasalah dari segi huraiannya (Williams 1981, h. 87). Pada awal 1950an Clyde Kluckhohn dan Alfred Kroeber (1952) telah mengemukakan tidak lebih daripada 161 takrifan budaya. Tidak mungkin dapat dibincangkan di sini sebahagian besar daripada takrifan tersebut; lagipun mujurlah sebilangan besar daripadanya mempunyai makna yang agak sama. Buat permulaan, biarlah kita mentakrifkan budaya sebagai tindak tanduk oleh seseorang sebagai anggota masyarakat, baik dari segi keupayaan melakukan sesuatu, kefahaman serta pola perlakuan, yang mesti dipelajari olehnya dan yang bukan muncul bersamanya secara semula jadi. Takrifan seperti ini sebenarnya merangkumi pandangan Tylor dan Geertz (walaupun Geertz pada hakikatnya lebih menekankan dari segi ‘makna’ daripada ‘perlakuan’). Takrifan ini jugalah yang biasanya dipakai oleh kebanyakan antropologis.
Namun demikian konsep budaya itu pada dasarnya membawa beberapa makna yang agak kabur. Dari satu segi, setiap manusia memang berbudaya; iaitu dalam erti kata bahawa istilah budaya itu sendiri merujuk kepada persamaan asas yang sedia terdapat pada setiap orang. Pada sudut yang lain pula, manusia secara berasingan mempelajari dan mempunyai keupayaan dan kebolehan yang berlainan, serta kefahaman dan pandangan yang berbeza dan sebagainya; justeru itu sesama merekapun terdapat perbezaan semata-mata kerana pengalaman budaya masing-masing yang berlainan. Oleh yang demikian, perkara penting yang harus kita ingat ialah budaya merujuk kepada persamaan asas dan juga kepada perbezaan yang sistematis di kalangan manusia.
Hubungan antara budaya dan masyarakat boleh dihuraikan seperti berikut. Budaya merujuk kepada aspek kehidupan yang dipelajari oleh seseorang atau yang ‘dicambah’ pada diri seseorang, yang bersifat kognitif dan simbolis, manakala masyarakat merujuk kepada organisasi sosial yang merangkumi kehidupan manusia, dari segi pola pergaulan (atau interaksi) dan hubungan kuasa. Perbezaan dari segi analisisnya mungkin nampak mengelirukan pada peringkat ini, tetapi perkara ini akan menjadi lebih jelas dalam perbincangan kemudian nanti.
Satu takrifan ringkas antropologi boleh berbunyi seperti berikut: "Antropologi ialah kajian perbandingan mengenai budaya dan kehidupan sosial. Metod atau kaedah kajiannya yang paling penting ialah pemerhatian ikutserta (participant observation), yang terdiri daripada kerja lapangan yang memakan masa yang lama, yang dijalankan dalam sebuah persekitaran sosial yang khusus." Pendekatan dalam disiplin ini ialah membandingkan aspek-aspek tertentu yang terdapat di kalangan masyarakat yang berlainan, serta terus berusaha mencari unsur-unsur lain yang boleh dijadikan asas perbandingan. Sebagai contoh, jika kita memilih untuk menulis monograf berkenaan dengan sebuah masyarakat di kawasan tanah tinggi New Guinea, biasanya cara terbaik untuk berbuat demikian ialah dengan menggunakan beberapa konsep tertentu (seperti kekerabatan, gender dan kuasa) bagi memerihalkannya; iaitu konsep yang membolehkan kita membuat perbandingan dengan perkara-perkara yang sama dalam masyarakat yang berlainan.
Selanjutnya, disiplin ini menekankan betapa pentingnya kita melakukan kerja lapangan, iaitu pemerhatian terperinci terhadap sesuatu persekitaran sosial dan budaya, yang biasanya memerlukan kehadiran penyelidik untuk satu tempoh masa yang agak lama, biasanya satu tahun atau lebih.
Jelaslah bahawa antropologi mempunyai banyak persamaan dengan disiplin lain dalam sains sosial dan kemanusiaan. Bahkan, satu persoalan yang agak rumit yang sering ditimbulkan ialah menentukan sama ada antropologi itu tergolong dalam bidang sains atau bidang kemanusiaan. Persoalannya ialah adakah kita mencari hukum umum, seperti yang dilakukan oleh ahli sains tulen. Sebaliknya, adakah kita cuba memahami dan membuat pentafsiran terhadap masyarakat yang berlainan? Dua orang tokoh terkenal, E. E. Evans-Pritchard di Britain dan Alfred Kroeber di Amerika Syarikat, pernah menekankan dalam sekitar tahun 1950, bahawa antropologi mempunyai lebih banyak persamaan dengan sejarah daripada sains tulen. Pendapat mereka pada masa itu dianggap hampir karut, tetapi sekarang pandangan tersebut sudah menjadi perkara biasa di kalangan kebanyakan antropologis. Namun demikian, masih terdapat segelintir antropologis yang berpendapat bahawa antropologi sepatutnya mempunyai pendekatan ketat yang lebih saintifik, sama seperti yang diamalkan dalam bidang sains tulen.
Sebahagian daripada pendapat yang berlainan yang disebut di atas akan dibincangkan dalam bab yang menyusul. Beberapa sifat utama yang mencirikan antropologi terdapat pada semua yang mengamalkan disiplin ini; antropologi bersifat perbandingan dan empiris; kaedah atau metodologinya yang sangat penting ialah kerja lapangan; dan antropologilah yang sebenarnya mempunyai fokus kepada sesuatu isu secara sejagat, dalam pengertian bahawa disiplin ini tidak pernah menganggap mana-mana kawasan geografis, atau mana-mana masyarakat sebagai lebih penting daripada yang lain. Berbeza dengan sosiologi, antropologi tidak menumpukan perhatiannya ke atas masyarakat industri; berbeza dengan falsafah, antropologi menekankan peri pentingnya penyelidikan empiris; berbeza dengan sejarah, antropologi mengkaji masyarakat pada detik dan ketika wujudnya masyarakat berkenaan; dan berbeza dengan linguistik, antropologi menekankan konteks sosial dan budaya sesuatu bahasa yang dituturkan. Sudah tentulah terdapat banyak tindan lapis dalam antropologi dengan disiplin sains yang lain. Pastinya juga antropologi mempelajari banyak perkara daripada disiplin tersebut. Namun demikian antropologi mempunyai sifatnya yang tersendiri sebagai salah satu daripada disiplin akademik. Antropologi, pada masa yang sama, cuba menghuraikan kewujudan kepelbagaian dalam dunia, serta cuba pula membina perspektif teori dalam pendekatan terhadap budaya dan masyarakat.
Sebelum kita membincangkan dalam bab yang menyusul kaedah kerja lapangan dalam penyelidikan antropologi, ada baiknya jika disentuh beberapa lagi sifat penting antropologi.

Gambar 1.1: Sebelum Perang Dunia Kedua terdapat beberapa pertunjukan 'kabilah negro' (negro caravans) yang sangat diminati oleh penduduk di bandar-bandar besar Eropah. Dalam pertunjukan itu orang Afrika dijadikan bahan tontonan seperti haiwan di zoo. Gambar ini menunjukkan 'perkampungan negro' di Christiana (sekarang Oslo) dalam tahun 1914. Soalannya sekarang ialah sejauh manakah tanggapan umum orang Eropah terhadap 'masyarakat eksotik' seperti ini telah berubah semenjak zaman tersebut? (Gambar daripada ihsan Museum Etnografi Oslo)

Etnosentrisme
Sesuatu masyarakat atau budaya, seperti yang dinyatakan sebelum ini, mestilah difahami dalam peristilahannya sendiri. Dalam mengatakan demikian bukanlah bermakna bahawa kita bersetuju dengan penggunaan satu bentuk ukuran umum bagi menilai sesuatu masyarakat. Ukuran tersebut tersebut mungkin merangkumi jangka hayat, keluaran negara kasar (gross national product), hak demokrasi, kadar celik huruf, dan sebagainya. Tidak berapa lama dahulu satu amalan yang sering dilakukan oleh masyarakat Eropah ialah menilai masyarakat di luar Eropah mengikut peratusan penduduknya yang memeluk agama Kristian. Seandainya peratusan itu tinggi maka tinggilah kedudukan negara tersebut mengikut kayu ukuran yang digunakan. Penilaian terhadap manusia seperti yang dilakukan itu sesungguhnya sangat tidak sesuai dengan pendekatan antropologi. Oleh itu, jika kita ingin menilai mutu hidup dalam sesebuah negara atau masyarakat luar, kita mestilah terlebih dahulu memahami masyarakat itu dari dalam; jika tidak penilaian yang kita buat itu mempunyai nilai ilmiah yang sangat terbatas. Apa yang dianggap sebagai ‘gaya hidup yang baik’ dalam masyarakat Eropah misalnya, tidak semestinya menarik dan sangat-sangat dikehendaki jika dinilai dari sudut dan kedudukan masyarakat lain. Bagi memahami erti sebenar kehidupan sosial sesuatu masyarakat, maka sangat perlu untuk kita cuba mendalami terlebih dahulu bagaimana alam nyata sesuatu masyarakat difahami dan dirasai sendiri oleh ahli-ahlinya. Untuk berjaya dalam usaha ini, maka tidak memadai jika kita hanya memilih beberapa ‘angkubah’ sahaja. Ternyata bahawa penggunaan konsep seperti ‘pendapatan tahunan’ tidak sesuai sama sekali bagi sebuah masyarakat yang tidak mengenali mata wang serta tidak tahu akan kaedah kerja yang diupah dengan wang.
Penghujahan seperti di atas bolehlah dianggap sebagai amaran awal terhadap etnosentrisme. Istilah tersebut berasal daripada perkataan Yunani (ethnos bermaksud ‘orang’) Etnosentrisme membawa maksud bahawa kita menilai masyarakat lain daripada kaca mata kita sendiri, serta memperihalkan mereka dalam peristilahan kita. Dengan demikian, ciri-ciri ethnos yang ada pada diri kita, termasuk nilai budaya kita, dijadikan kayu ukur dalam penilaian tersebut. Justeru itu tidak hairanlah jika orang lain atau masyarakat asing kelihatan begitu rendah taraf sosial dan budaya mereka jika dipandang dari kaca mata ethnos kita. Misalnya jika kita mendapati bahawa di kalangan masyarakat Nuer kemudahan pinjaman untuk membeli rumah daripada institusi kewangan sukar diperolehi, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa masyarakat Nuer tidaklah sesempurna masyarakat kita. Jika kita mendapati bahawa kemudahan bekalan elektrik tidak terdapat di kalangan orang Kwakiutl di pantai barat Amerika Utara, maka kita tidak boleh membuat kesimpulan bahawa cara hidup orang Kwakiutl itu tidak sejahtera berbanding dengan cara hidup kita. Jika sekiranya orang Kachin di sebelah utara Myanmar menolak agama Kristian, maka kita tidak boleh menganggap bahawa orang Kachin tidak bertamadun. Jika sekiranya orang San (kaum Bushmen) di gurun Kalahari buta huruf, maka kita tidak boleh terus menyatakan bahawa mereka itu tidak pintar. Jika sekiranya kita terus menerus mempunyai pandangan berunsur etnosentrisme, maka ternyata bahawa kita sama sekali tidak memberikan sebarang peluang bagi orang lain untuk mempunyai sebarang perbezaan dan hidup dalam persekitaran sosial dan budaya yang berlainan.
Pandangan etnosentrisme juga merupakan satu halangan besar kepada usaha untuk memahami masyarakat dan budaya lain dalam peristilahan mereka sendiri. Sebenarnya antropologi tidak membandingkan masyarakat asing dengan masyarakat sendiri serta menyusun pelbagai masyarakat pada tahap tinggi rendah, serta meletakkan masyarakat kita pada anak tangga paling atas. Sebaliknya antropologi menghendaki kita memahami masyarakat yang berlainan itu seperti yang kelihatan daripada dalam masyarakat berkenaan. Antropologi tidak dapat memberikan jawapan yang tepat kepada soalan yang berbunyi seperti berikut: "Antara banyak masyarakat, masyarakat manakah yang paling baik." Jawapannya memang tidak akan wujud semata-mata kerana sememangnya bukan sifat semula jadi disiplin antropologi untuk bertanyakan soalan seperti ini. Jika ditanya apakah bentuk hidup dan masyarakat yang sempurna, maka antropologis hanya boleh memberikan jawapan bahawa setiap masyarakat itu mempunyai takrifan masing-masing terhadap soalan tersebut yang sudah pasti mempunyai pengertian yang berbeza-beza.
Lagipun, masalah etnosentrisme sangat sukar untuk dikesan jika dibandingkan dengan pendirian yang bersifat moralis. Etnosentrisme juga boleh mempengaruhi konsep yang kita gunakan untuk memahami pelbagai masyarakat di muka bumi. Misalnya kita tidak boleh menggunakan konsep ‘politik’ dan ‘kekerabatan’ bagi masyarakat yang ternyata tidak mempunyai pemahaman asas terhadap kedua-dua konsep ini. Istilah politik mungkin terdapat dalam masyarakat asal ahli etnografis, tetapi istilah tersebut mungkin tidak ada dalam masyarakat yang dikajinya. Masalah asas seperti ini akan dibincangkan kemudian dengan lebih mendalam lagi.
Relativisme budaya pula sering dikatakan berlawanan dengan etnosentrisme. Mengikut relativisme budaya setiap masyarakat atau budaya itu berbeza-beza antara satu sama lain dari segi mutu hidup dan sebagainya, serta masing-masingya mempunyai logik dalaman yang unik dan tersendiri. Justeru itu agak tidak tepat dari segi kaedah saintifiknya jika kita menilai masyarakat tersebut dengan meletakkan mereka pada skala tinggi rendah. Sebagai contoh, katakan kita menggunakan angkubah ‘celik huruf’ dan ‘pendapatan tahunan’ untuk membuat penilaian terhadap masyarakat San. Oleh kerana di kalangan orang San kadar tersebut sangat rendah, maka kita letakkan masyarakat San pada tahap yang terkebawah pada anak tangga berkenaan. Sebenarnya penilaian seperti ini tidak membawa sebarang makna kerana dalam masyarakat San wang dan buku tidak begitu diutamakan. Jelaslah bahawa dalam kerangka pendekatan relativisme budaya, kita tidak boleh mengatakan bahawa masyarakat yang mempunyai jumlah kereta yang banyak itu adalah masyarakat yang ‘lebih baik’ daripada masyarakat yang mempunyai jumlah kereta yang kurang; atau nisbah bilangan panggung wayang dengan jumlah penduduk adalah satu petunjuk yang tepat terhadap mutu hidup bagi sesebuah masyarakat.
Namun demikian, relativisme budaya adalah ketetapan teoritis yang tidak boleh dipersoalkan serta menjadi satu kemestian dan alat utama sebagai kaedah atau metodologi untuk memahami masyarakat asing sebaik mungkin tanpa menaruh sebarang buruk sangka. Dari segi etikanya, mengamalkan relativisme budaya barangkali agak sukar, kerana nampaknya setiap perkara yang wujud dalam sesuatu masyarakat itu sama baiknya dengan yang terdapat dalam masyarakat lain. Akhirnya pendirian seperti ini mungin akan mengarah kepada nihilisme, iaitu doktrina yang mengatakan bahawa tiada sebarang asas yang kukuh bagi sesuatu kebenaran, sementara kewujudan itu tidak membawa apa-apa makna; justeru itu membuat penilaian ke atas sesuatu yang wujud itu adalah satu usaha yang sia-sia. Sebab itulah kena pada masanya jika dikatakan bahawa walaupun antropologis adalah pengamal relativisme budaya yang sangat ketat semasa menjalankan tugas seharian mereka, tetapi dalam menjalani kehidupan peribadi masing-masing, antropologis adalah manusia biasa. Kadang kalanya mereka juga mempunyai pendirian serta nilai yang dogmatis terhadap apa yang betul dan apa yang salah.
Akhir kata relativisme budaya tidak boleh dianggap bertentangan sama sekali dengan etnosentrisme, kerana relativisme budaya yang sebenar bebas daripada sebarang prinsip moral. Bagi antropologi, prinsip relativisme budaya berguna sebagai alat metodologi atau kaedah sahaja, tidak leboh daripada itu. Alat inilah yang akan membantu kita meneliti dan membandingkan masyarakat tanpa meletakkan mana-mana masyarakat pada anak tangga dan ukuran moral. Tetapi kenyataan ini bukan pula bermakna bahawa dalam pendekatan ini tidak ada perbezaan antara perlakuan yang salah dengan perlakuan yang betul.
Akhir sekali, kita harus sedar bahawa ramai antropologis berhasrat untuk mencari apakah ciri-ciri serta unsur kemanusiaan sepunya yang terdapat pada setiap masyarakat atau kumpulan manusia. Tidak semestinya terdapat sebarang percanggahan antara usaha seperti ini dengan pendekatan relativisme budaya, biarpun universalisme kadangkala dikatakan bertentangan sifatnya dengan relativisme budaya. Pada satu tahap tertentu dalam analisis antropologi, tidak ada salahnya jika seseorang itu menggunakan pendekatan relativisme jika pada masa yang sama ia juga berpendirian bahawa di kalangan masyarakat yang pelbagai itu tetap terdapat satu pola sepunya. Tidak hairanlah jika ramai yang akan mengaku bahawa antropologi adalah berkenaan dengan perkara berikut: mencari keunikan pada setiap persekitaran budaya semua masyarakat dan petunjuk bahawa alam kemanusiaan itu sebenarnya adalah satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar