Sabtu, 18 Juni 2011

Jalan Menuju Qana'ah
Qana'ah (rela dan menerima pemberian Allah subhanahu wata’ala apa adanya) adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi siapa yang diberikan taufik dan petunjuk serta dijaga oleh Allah dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta.

Namun meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana'ah. Berikut ini beberapa kiat menuju qana'ah yang jika kita laksanakan maka dengan izin Allah seseorang akan dapat merealisasikan nya. Di antaranya yaitu:

1. Memperkuat Keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah subhanahu wata’ala, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu.

Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.

2. Yaqin bahwa Rizki Telah Tertulis.

Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu, disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya, "Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya." (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Seorang hamba hanya diperintah kan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala yang memberinya rizki dan bahwa rizkinya telah tertulis.

3. Memikirkan Ayat-ayat al-Qur'an yang Agung.

Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). 'Amir bin Abdi Qais pernah berkata, "Empat ayat di dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, (yaitu):

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathiir:2)

“Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (QS.Yunus:107)

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud:6)

“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. ath-Thalaq:7)

4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki

Di antara hikmah Allah subhanahu wata’ala menentu kan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya saling memberi kan pelayanan dan jasa.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentu kan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. az-Zukhruf:32)

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al an'am 165)

5. Banyak Memohon Qana'ah kepada Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling qana'ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah subhanahu wata’ala agar diberikan qana'ah, beliau bedoa,
"Ya Allah berikan aku sikap qana'ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik." (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi)

Dan karena saking qana'ahnya, beliau tidak meminta kepada Allah subhanahu wata’ala kecuali sekedar cukup untuk kehidu pan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau, "Ya Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah kebutuhan pokok saja." (HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi)

6. Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian

Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran secara pasti.

Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana'ah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.

7. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia

Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
"Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah." (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya. Jika anda melihat ada orang lain yang mendapatkan harta dan kedudukannya lebih dari anda, padahal dia tidak lebih pintar dan tidak lebih berilmu dibanding anda, maka mengapa anda tidak ingat bahwa anda telah mendapatkan sesuatu yang tidak dia dapatkan?

8. Membaca Kehidupan para Salafus Sholeh

Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana'ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.

9. Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta

Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemilik nya jika dia tidak mendapatkan nya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.

Ketika seorang hamba ditanya tantang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang lebih sedikit hartanya.

10. Melihat Realita bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak Jauh Berbeda.

Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan dia memiliki seratus potong baju maka dia hanya memakai sepotong saja, sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia manfaatkan maka itu relatif (nisbi).

Sungguh indah apa yang diucapkan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, "Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kami pun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedang kita terbebas darinya."

Telah banyak air mata yang tumpah atas nama taubat
Sebanyak itu pula diri ini menghianat
Setiap air mata itu menjadi cerminan dosa yang penuh kabut
Namun cerminan itu juga memudar dengan cepat
Atas nama keinsafan
Air mata menitik dalam seduh sedan
Galau yang meronta di hati insan
Meluluh lantakkan keimanan
Duhai Rabb…
Diri ini kembali terjerembab
Dalam hina yang biadab
Kaki tak bisa lagi menapak
Atas nama keinsafan
Kembali bulir air mata mengguncang
Wahai Rabb yang membolak balikkan hati insan
Terima taubatku…
Pagi itu..
Sang surya tak seperti biasanya
Membawa kehangatan dan kebahagiaan
kepada semua makhluk yang di sapanya..
pagi itu..
sang surya tak sehangat biasanya
cahayanya redup, sapaannya dingin..
hai sang surya.. ada apa gerangan denganmu?
Sang surya pun bercerita..

…..
“aku sangat sedih..sedih sekali..
Dulu.. saat aku terbit, aku mendengar tasbih, tahmid, takbir dan istighfar
Dari hamba-hamba Rabb-ku yang senantiasa berdzikir
Dan mereka menyambutku dengan segenap rasa syukur..
Tapi kini..
Aku tak mendengar lagi suara-suara itu..
Yang aku dengar hanyalah celaan dan dengkuran
Mereka mencelaku karna mengganggu dengkuran mereka..
Tasbih, tahmid dan dzikir yang dulu slalu kudengar kini sudah tak ada
Padahal dulu, semua itu membuatku bersemangat untuk terbit di pagi hari..
Kini yang kudengar hanyalah dengkuran, musik dan nyanyian
Dulu mereka gunakan cahayaku untuk membaca Al-Qur’an
Tapi kini mereka gunakan cahayaku hanya untuk baca Koran
Kalau bukan karna perintah Rabb-ku, nisacaya aku tak mau lagi berjalan
Rasanya aku ingin sekali untuk berhenti bersinar..
Aku rindu orang-orang yang dulu ku dengar suaranya
Yang senatiasa menyambutku dengan lantunan dzikir, do’a dan Al-Qur’an
….”
Setelah itu sang surya diam seribu bahasa.. dan akhirnya menangis hingga
Air matanya barcucuran membasahi bumi..

Mendeteksi Sehatnya Qalbu (Hati)
Qalbu yang sehat memiliki beberapa tanda, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam kitab 'Ighatsatul Lahfan min Mashayid asy-Syaithan.Dan di antara tanda-tanda tersebut adalah mampu memilih segala sesuatu yang bermanfaat dan memberikan kesembuhan. Dia tidak memilih hal-hal yang berbahaya serta menjadikan sakitnya qalbu. Sedangkan tanda qalbu yang sakit adalah sebaliknya. Santapan qalbu yang paling bermanfaat adalah keimanan dan obat yang paling manjur adalah al-Qur'an. Selain itu, qalbu yang sehat memiliki karakteristik sebagai berikut: 1.Mengembara ke Akhirat Qalbu yang sehat mengembara dari dunia menuju ke akhirat dan seakan-akan telah sampai di sana. Sehingga dia merasa seperti telah menjadi penghuni akhirat dan putra-putra akhirat. Dia datang dan berada di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing, yang mengambil sekedar keperluannya, lalu akan segera kembali lagi ke negeri asalnya. Nabi shallallhu 'alaihi wasallam bersabda, "Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau (musafir) yang melewati suatu jalan." (HR. al-Bukhari) Ketika qalbu seseorang sehat, maka dia akan mengembara menuju akhirat dan terus mendekat ke arahnya, sehingga seakan-akan dia telah menjadi penghuninya. Sedangkan bila qalbu tersebut sakit, maka dia terlena mementingkan dunia dan menganggapnya sebagai negeri abadi, sehingga jadilah dia ahli dan hambanya. 2.Mendorong Menuju Allah subhanahu wata'ala Di antara tanda lain sehatnya qalbu adalah selalu mendorong si empunya untuk kembali kepada Allah subhanahu wata'ala dan tunduk kepada-Nya. Dia bergantung hanya kepada Allah, mencintai-Nya sebagaimana seseorang mencintai kekasihnya. Tidak ada kehidupan, kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan kecuali hanya dengan ridha Allah, kedekatan dan rasa jinak terhadap-Nya. Merasa tenang dan tentram dengan Allah, berlindung kepada-Nya, bahagia bersama-Nya, bertawakkal hanya kepada-Nya, yakin, berharap dan takut kepada Allah semata. Maka qalbu tersebut akan selalu mengajak dan mendorong pemiliknya untuk menemukan ketenangan dan ketentraman bersama Ilah sembahan nya. Sehingga tatkala itulah ruh benar-benar merasakan kehidupan, kenikmatan dan menjadikan hidup lain daripada yang lain, bukan kehidupan yang penuh kelalaian dan berpaling dari tujuan penciptaan manusia. Untuk tujuan menghamba kepada Allah subhanahu wata'ala inilah surga dan neraka diciptakan, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Abul Husain al-Warraq berkata, "Hidupnya qalbu adalah dengan mengingat Dzat Yang Maha Hidup dan Tak Pernah Mati, dan kehidupan yang nikmat adalah kehidupan bersama Allah, bukan selain-Nya." Oleh karena itu terputusnya seseorang dari Allah subhanahu wata'ala danl ebih dahsyat bagi orang-orang arif yang mengenal Allah daripada kematian, karena terputus dari Allah adalah terputus dari al-Haq, sedang kematian adalah terputus dari sesama manusia. 3.Tidak Bosan Berdzikir Di antara sebagian tanda sehatnya qalbu adalah tidak pernah bosan untuk berdzikir mengingat Allah subhanahu wata'ala. Tidak pernah merasa jemu untuk mengabdi kepada-Nya, tidak terlena dan asyik dengan selain-Nya, kecuali kepada orang yang menunjukkan ke jalan-Nya, orang yang mengingatkan dia kepada Allah subhanahu wata'ala atau saling mengingatkan dalam kerangka berdzikir kepada-Nya. 4. Menyesal jika Luput dari Berdzikir Qalbu yang sehat di antara tandanya adalah, jika luput dan ketinggalan dari dzikir dan wirid, maka dia sangat menyesal, merasa sedih dan sakit melebihi sedihnya seorang bakhil yang kehilangan hartanya. 5. Rindu Beribadah Qalbu yang sehat selalu rindu untuk menghamba dan mengabdi kepada Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana rindunya seorang yang kelaparan terhadap makanan dan minuman. 6.Khusyu' dalam Shalat Qalbu yang sehat adalah jika dia sedang melakukan shalat, maka dia tinggalkan segala keinginan dan sesuatu yang bersifat keduniaan. Sangat memperhatikan masalah shalat dan bersegera melakukannya, serta mendapati ketenangan dan kenikmatan di dalam shalat tersebut. Baginya shalat merupakan kebahagiaan dan penyejuk hati dan jiwa. 7.Kemauannya Hanya kepada Allah Qalbu yang sehat hanya satu kemauannya, yaitu kepada segala sesuatu yang diridhai Allah subhanahu wata'ala. 8. Menjaga Waktu Di antara tanda sehatnya qalbu adalah merasa kikir (sayang) jika waktunya hilang dengan percuma, melebihi kikirnya seorang yang pelit terhadap hartanya. 9. Introspeksi dan Memperbaiki Diri Qalbu yang sehat senantiasa menaruh perhatian yang besar untuk terus memperbaiki amal, melebihi perhatian terhadap amal itu sendiri. Dia terus bersemangat untuk meningkat kan keikhlasan dalam beramal, mengharap nasihat, mutaba'ah (mengontrol) dan ihsan (seakan-akan melihat Allah subhanahu wata'ala dalam beribadah, atau selalu merasa dilihat Allah). Bersamaan dengan itu dia selalu memperhatikan pemberian dan nikmat dari Allah subhanahu wata'ala serta kekurangan dirinya di dalam memenuhi hak-hak-Nya. Demikian di antara beberapa fenomena dan karakteristik yang mengindikasikan sehatnya qalbu seseorang. Dapat disimpulkan bahwa qalbu yang sehat dan selamat adalah qalbu yang himmah (kemauannya) kepada sesuatu yang menuju Allah subhanahu wata'ala, mencintai-Nya dengan sepenuhnya, menjadikan-Nya sebagai tujuan. Jiwa raganya untuk Allah, amalan, tidur, bangun dan bicaranya hanyalah untuk-Nya. Dan ucapan tentang segala yang diridhai Allah lebih dia sukai daripada segenap pembicaran yang lain, pikirannya selalu tertuju kepada apa saja yang diridhai dan dicintai-Nya. Berkhalwah (menyendiri) untuk mengingat Allah subhanahu wata'ala lebih dia sukai daripada bergaul dengan orang, kecuali dalam pergaulan yang dicintai dan diridhai-Nya. Kebahagiaan dan ketenangannya adalah bersama Allah, dan ketika dia mendapati dirinya berpaling kepada selain Allah, maka dia segera mengingat firman-Nya, �Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. (QS. 89:27-28) Dia selalu mengulang-ulang ayat tersebut, dengan harapan dia akan mendengarkannya nanti pada hari Kiamat dari Rabbnya. Maka akhirnya qalbu tersebut di hadapan Ilah dan Sesembahannya yang Haq akan terwarnai dengan sibghah (celupan) sifat kehambaan. Sehingga jadilah abdi sejati sebagai sifat dan karakternya, ibadah menjadi kenikmatannya bukan beban yang memberatkan. Dia melakukan ibadah dengan rasa suka, cinta dan kedekatan kepada Rabbnya. Ketika disodorkan kepadanya perintah atau larangan dari Rabbnya, maka hatinya mengatakan, "Aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi dengan suka cita, sesungguhnya aku mendengarkan, taat dan akan melakukannya. Engkau berhak dan layak mendapatkan semua itu, dan segala puji kembali hanya kepada-Mu. Apabila ada takdir menimpanya maka dia mengatakan, " Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, miskin dan membutuhkan-Mu, aku hamba-Mu yang fakir, lemah tak berdaya. Engkau adalah Rabbku yang Maha Mulia dan Maha Penyayang. Aku tak mampu untuk bersabar jika Engkau tidak menolongku untuk bersabar, tidak ada kekuatan bagiku jika Engkau tidak menanggungku dan memberiku kekuatan. Tidak ada tempat bersandar bagiku kecuali hanya kepada-Mu, tidak ada yang dapat memberikan pertolongan kepadaku kecuali hanya Engkau. Tidak ada tempat berpaling bagiku dari pintu-Mu, dan tidak ada tempat untuk berlari dari-Mu Dia mempersembahkan segalanya hanya untuk Allah subhanahu wata'ala, dan dia hanya bersandar kepada-Nya. Apabila menimpanya sesuatu yang tidak dia sukai maka dia berkata, "Rahmat telah dihadiahkan untukku, obat yang sangat bermanfaat dari Dzat Pemberi Kesembuhan yang mengasihiku." Jika dia kehilangan sesuatu yang dia sukai, maka dia berkata, "Telah disingkirkan keburukan dari sisiku." Semoga Allah subhanahu wata'ala memperbaiki qalbu kita semua, dan menjaganya dari penyakit-penyakit yang merusak dan membinasakan, Amin. Sumber: Mawaridul Aman al Muntaqa min Ighatsatil Lahfan fi Mashayid asy-Syaithan, penyusun Syaikh Ali bin Hasan bin Ali al-Halabi. -------------- Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya. Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita. Aamiin

Lampu senter, alat ini populer dikenal para satpam, dan petugas pos kamling. Lampu ini seolah menjadi perangkat wajib bila bertugas malam. Lampu senter menjadi alat penerangan alternatif di tengah kegelapan. Saat listrik padam, atau menyusuri lorong-lorong hutan lampu senter juga bak penyelamat. Perannya juga sangat dinantikan pada saat mencari benda asesoris kecil yang hilang di sudut – sudut ruangan sempit.
Memang, lampu senter ini menjadi vital saat malam hari tiba. Adapun di saat siang lampu ini tidak berguna. Tak ada bedanya menenteng lampu senter atau tidak di siang hari. Hal ini mengingat lampu senter adalah bekal yang hanya diperlukan pada saat yang tepat.
Namun demikian, perangkat ini harus selalu tersedia bila kita hendak berpetualang dalam gua – gua panjang. Begitu pun ketika menyusuri hutan, ataupun menolong korban bencana di pedalaman dalam waktu yang lama. Siapa saja yang enggan bersusah payah membawa senter di ranselnya, akibatnya baru terasa saat kegelapan mulai menyapa.
Belajar dari lampu senter ini, tak ubahnya dengan ibadah kita. Amal shalih dan ibadah kita juga hanya akan berfungsi dengan baik pada saat yang tepat. Di dunia ini, seolah tak ada beda antara ahli ibadah dan ahli maksiat. Logika awam akan mengatakan ibadah maupun tidak ibadah, sama – sama tidak akan membuat kaya bila tidak berikhtiar.
Pemandangan di depan mata justru memberikan kesan shalat seolah tidak bermanfaat. Padahal perbedaannya terletak pada saat kegelapan kiamat tiba. Shalat, zakat, qurban dan haji kita akan menjadi penerang. Ibadah kita ibarat lampu senter tadi, sebagai perbekalan pada saat tidak ada lagi penerangan dan syafaat.
Perjalanan panjang yang akan dilewati manusia sejatinya untuk ibadah. Pengabdian seorang hamba kepada Allah untuk menggapai ridha-Nya. Firman Allah, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah.” (QS. Ad-Dzariat: 59)
Manusia berjuang mempersiapkan bekal terbaik untuk kehidupan yang akan datang. Namun ada saja yang merasa malu, dan malah enggan untuk mempersiapkan diri. Hal ini sebagaimana seseorang yang enggan membawa ransel perbekalan. Malu membawa lampu senter di siang hari, padahal perjalanan menyongsong malam sangat membutuhkan alat penerangan.
Tidak perlu enggan dan malu untuk menyiapkan bekal terbaik, demi menyongsong perjalanan menuju kampung akhirat. Allah berfirman, “Berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik- baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197).

Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah, dia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang guru agama, Kyai atau siapa saja yang bisa menjawab tiga pertanyaannya. Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kiyai.
(Pemuda): Anda siapa dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
(Kyai): Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda. (Pemuda) : Anda yakin? Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
(Kyai): Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
(Pemuda) : Saya ada tiga pertanyaan: 1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukkan wujud Tuhan kepada saya. 2. Apakah yang dinamakan takdir. 3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berpikir sejauh itu? Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.
(Pemuda) : (sambil menahan sakit). Kenapa anda marah kepada saya?
(Kyai): Saya tidak marah. Tamparan itu adalah jawaban saya atas tiga pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
(Pemuda): Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
(Kyai) : Bagaimana rasanya tamparan saya?
(Pemuda): Tentu saja saya merasakan sakit.
(Kyai) : Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
(Pemuda): Ya!
(Kyai): Tunjukkan pada saya wujud sakit itu!
(Pemuda): Saya tidak bisa.
(Kyai): Itulah jawaban pertanyaan pertama kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
(Kyai) : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
(Pemuda): Tidak.
(Kyai) : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini? (Pemuda) : Tidak.
(Kyai) : Itulah yang dinamakan takdir. Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
(Pemuda) : Kulit.
(Kyai) : Terbuat dari apa pipi anda?
(Pemuda): Kulit.
(Kyai) : Bagaimana rasanya tamparan saya?
(Pemuda): Sakit.
(Kyai): Walaupun setan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk setan.

DIALOG ANTARA HATI DAN MATA BAG 1
Rabu, Maret 17, 2010


Rate This

Mata adalah penuntun, dan hati adalah pendorong dan penuntut. Yang pertama memiliki kenikmatan pandangan, dan yang kedua memiliki kenikmatan pencapaian. Dalam dunia nafsu keduanya merupakan sekutu yang mesra, dan jika terpuruk ke dalam kesulitan dan keduanya bersekutu dalam cobaan, maka masing-masing akan mencela dan mencaci yang lain.
Hati Berkata kepada Mata
Hati berkata kepada mata, “Kaulah yang telah menyeretku kepada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saat saja. Kau lemparkan kerlingan matamu ke taman itu, kau mencari kesembuhan dari kebun yang tidak sehat, kau salahi firman Alloh, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya’, kau salahi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Alloh Azza wa Jalla, maka Alloh akan member balasan iman kepadanya, yang akan didapati kelezatannya di dalam hatinya.” (Diriwayatkan Ahmad)
Umar bin Syabbata berkata, “Kami diberitahu Ahmad bin Abdullah bin Yunus, kami diberitahu Anbasah, bin Abdurrahman Al-Qursyi, kami diberitahu Abul-Hasan Al-Madany, kami diberitahu Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pandangan laki-laki terhadap keelokan wanita adalah panah dari berbagai macam panah Iblis yang beracun. Barangsiapa menghindar dari panah itu, maka Alloh akan menggantinya dengan ibadah yang membuatnya senang.”
Lalu adakah orang yang lebih tercela daripada orang yang terkena panah beracun? Apakah engkau tidak tahu bahwa tidak ada yang lebih berbahaya bagi manusia selain dari mata dan lidah? Tidak ada kerusakan yang lebih banyak daripada kerusakan yang diakibatkan mata dan lidah. Berapa banyak kebinasaan yang disebabkan mata dan lidah? Berapa banyak sumber kehinaan yang muncul karena mata dan lidah? Barangsiapa ingin hidup bahagia dan terpuji, maka hendaklah dia menjaga ujung pandangan matanya dan lidahnya, agar dia selamat dari bahaya, karena mata menyimpan kelebihan pandangan dan lidah menyimpan kelebihan bicara.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa dua mata itu bisa berzina. Keduanya merupakan permulaan zina kemaluan, penuntun dan pendorongnya. Beliau pernah ditanya tentang pandangan secara tiba-tiba. Maka beliau memerintahkan orang yang bertanya itu untuk mengalihkan pandangannya. Beliau memberi petunjuk kepada yang bermanfaat baginya dan menghindari apa yang mendatangkan mudharat kepadanya. Beliau juga bersabda kepada Ali bin Abu thalib, “Janganlah engkau susuli pandangan dengan pandangan lagi.”
Inilah perkataan para ulama, “Siapa yang mengumbar pandangannya akan menuai akibatnya. Siapa yang berlama-lama memandang, penyesalannya juga akan terus berkelanjutan, hilang waktunya dan berkepanjangan deritanya.”
Seorang penyair berkata,
Mata yang beradau mata dalam pandangan
adalah jalan kerusakan ke dalam hati
beberapa saat terjadi peperangan
hingga berlumuran darah dan mati
Penyair lain berkata,
Wahai kedua mata, kau nikmati pandangan
lalu kau susupkan kepahitan ke dalam hati
jangan lagi kau ganggu hati ini
berbuat lalim dengan sekali tebasan
Sanggahan Mata terhadap Hati
Mata berkata, “Kau zhalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan penuntun yang menunjukkan jalan kepadamu.”
“Engkau adalah raja yang ditaati. Sedangkan kami hanyalah rakyat dan pengikut. Untuk memenuhi kebutuhanmu, kau naikkan aku ke atas kuda yang binal, disertai ancaman dan peringatan. Jika kau suruh aku untuk menutup pintuku dan mejulurkan hijabku, dengan senang hati aku turuti perintah itu. Jika engkau memaksakan diri untuk menggembala di kebun yang dipagari dan engkau mengirimku untuk berburu di tempat yang dipasangi jebakan, tentu engkau akan menjadi tawanan yang sebelumnya engkau adalah seorang pemimpin, engkau menjadi budak yang sebelumnya engkau adalah tuan. Yang demikian ini karena pemimpin manusia dan hakim yang paling adil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah membuat keputusan bagiku atas dirimu, dengan bersabda,
“Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula, dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.” (Diriwayatkan Al-Bukhary, Muslim, dan lain-lainnya).
Abu Hurairah Radhiyallah Anhu berkata, “Hati adalah raja dan seluruh anggota tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik, maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya.” Jika engkau dianugerahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya para pengikutmu adalah karena kerusakan dirimu, dan kebaikan mereka adalah karena kebaikanmu. Jika engkau rusak, rusak pula para pengikutmu. Lalu engkau lemparkan kesalahanmu kepada mata yang tak berdaya. Sumber bencana yang menimpamu ialah karena engkau tidak memiliki cinta kepada Alloh, tidak menyukai dzikir kepada-Nya, tidak menyukai firman, asma’ dan sifat-sifat-Nya. Engkau beralih kepada yang lain dan berpaling dari-Nya. Engkau berganti mencintai selain-Nya. Padahal engkau telah mendengar kisah pengingkaran Alloh terhadap Bani Israil, karena mereka mengganti makanan yang ada dengan makanan lain yang justru lebih hina. Maka Alloh mencela mereka,
“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah:61)
Bagaimana keadaan pengganti cinta kepada Pencipta, Pelindung, dan yang menangani urusannya, yang tidak memiliki keberuntungan, kenikmatan dan kesenangan? Bandingkanlah Alloh dengan sesuatu yang engkau jadikan pengganti-Nya dan pengganti cinta kepada-Nya. Apakah engkau ridha berada di jamban, sementara orang-orang yang mencintai Alloh berkeliling di Arsy? Jika engkau menghadapkan diri kepada Alloh dan berpaling dari selan-Nya, tentu engkau akan melihat berbagai macam keajaiban, engkau aman dari bencana dan kerusakan. Tentunya engkau sudah tahu bahwa Dia mengkhususkan keberuntungan dan kenikmatan kepada orang yang mendatangi-Nya dengan hati yang bersih, atau bersih dari kemusyrikan, yang di dalamnya tidak ada cinta kepada selain-Nya dan hanya mengikuti ridha-Nya.
Mata berkata, “Antara dosaku dan dosamu di tengah manusia seperti antara kebutaanku dan kebutaanmu dalam membuat analog.”
Alloh telah berfirman tentang orang yang mengalami krisis,
“Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj:46)
Limpa Ikut Berbicara
Tatkala mendengar dialog antara hati dan mata serta perdebatan mereka berdua, maka limpa berkata, “Kalian berdua saling bahu-membahu untuk menghancurkan dan membunuhku. Ada orang yang telah menggambarkan perdebatan kalian ini,
Mata menganggap hati menimpakan derita
hatilah yang telah memaksakan kehendaknya
namun tubuh menjadi saksi atas kedustaan mata
bencana hati memang berasal dari mata
andaikata tidak karena mata tak ka nada derita
hati tak kan terkapar menjadi korbannya
limpa merana sebagai korban yang teraniaya
karena hati dan mata tidak tunduk kepada Pencipta
Penyair lain berkata,
Kulemparkan cacian kepada hati
karena kulihat badanku kurus kering
hati mengikuti apa yang diinginkan mata
dengan berkata, ‘Engkaulah sang duta’
mata berkata kepada hati,
‘Justru engkaulah yang menjadi penunjuk jalan’
limpa berkata, ‘Hentikan perdebatan ini’
kalian biarkan diriku sebagai korban
Limpa berkata lagi, “Saya akan menjadi pembuat keputusan di antara kalian berdua (mata dan hati). Kalian berdua bahu-membahu dalam bencana, begitu pula dalam kenikmatan dan kesenangan. Mata meyerap kesenangan dan hati bernafsu serta selalu berangan-angan. Oleh karena itu seorang penyair berkata tentang kalian bedua,
Ada rona kegembiraan tatkala cinta menghilang
keselamatan atas kalian wahai mata dan hati
aku tidak lagi berjaga pada malam hari
bebas dari kesepian dan penderitaan
kita semua layak mendapatkan kebahagiaan
jika kembali tiada lagi canda dan tawa
Limpa berkata lagi, “Jika engkau tidak mendapat uluran pertolongan yang bisa merubah hati dan pandangan, maka jangan harap akan ada ketenangan hati.” Seorang penyair berkata,
Aku tak tahu mengapa kucerca cinta
ataukah matamu yang tercemar ataukah hati
mengapa kucerca hati yang bisa melihat
hatilah yang berdosa jika kucerca mata
mata dan hatiku membagi-bagi darahku
ya Rabbi tolonglah mata dan hatiku
Limpa berkata lagi, “Jika engkau mengguyur hati dengan air cinta dari gelas-gelasmu, berarti engkau meyalakan api kerinduan kepadanya, lalu engkau membumbung naik bersama uap kemudian jatuh ke bawah. Engkau yang pertama kali meminum dan engkau pula yang pertama kali merasakan panasnya.
Hakim yang membuat keputusan di antara kalian berdua adalah yang menetapkan antara ruh dan jasad, jika keduanya saling berselisih. Dikatakan dalam sebuah atsar yang masyhur, “Pertentangan di antara makhluk senantiasa ada hingga Hari Kiamat tiba, hingga ruh dan jasad pun juga saling bertentangan. Jasad berkata kepada ruh, ‘Engkaulah yang menggerakkan aku, menyuruh dan membalikkan aku. Jika tidak begitu, tentu aku tidak akan bergerak dan berbuat seperti itu.’ Ruh berkata kepada jasad, ‘Engkaulah yang makan, minum, bergembira dan merasakan kenikmatan. Maka engkaulah yang layak mendapat siksaan.’ Lalu Alloh mengirim seorang malaikat kepada keduanya untuk memutuskan perkara mereka, seraya berkata, ‘Perumpamaan kalian berdua adalah seperti orang melihat yang hanya bisa duduk dan orang buta yang bisa berjalan. Keduanya memasuki sebuah kebun. Orang yang bisa melihat berkata kepada orang yang buta, “Di kebun ini saya melihat ada buah-buahannya, tetapi saya tidak bisa berdiri.”
Orang buta berkata, “Saya bisa berdiri tapi tidak bisa melihat sesuatu pun.”
Orang yang bisa melihat berkata, “Panggullah aku lalu berjalanlah, agar aku bisa memetiknya.”
Lalu siapakah yang harus menanggung beban? Kedua-duanya yang menanggung beban. Begitulah gambaran kalian berdua.
Ghibah adalah penyakit hati yang memakan kebaikan, mendatangkan keburukan serta membuang waktu sia-sia. Penyakit ini meluas di masyarakat karena kurangnya pemahaman Agama, kehidupan yang semakin mudah dan banyaknya waktu luang. Kemajuan teknologi, telepon misalnya, juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini. Lebih lanjut, ikuti penjelasan berikut ini.
Hakikat Ghibah
Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila ia mengetahuinya, baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan, nasab, ucapan hingga pada pakaian. Menyebut kekurangan pada badan seperti mengatakan ia pendek, hitam, kurus dan lain sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong, fasik, munafik dan lain-lain.
Kadang orang tidak sadar kalau ia telah melakukan ghibah, dan saat diperingatkan ia mengatakan: “Yang saya katakan ini benar adanya!”, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam dengan tegas menyatakan perbuatan tersebut adalah ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau, bagaimana jika yang dikatakan itu benar adanya pada orang yang digunjingkan, beliau menjawab:
“Jika yang engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut, maka engkau telah melakukan ghibah, dan jika yang engkau sebut tidak ada pada orang yang engkau sebut, maka engkau telah melakukan dusta atasnya.” (HR. Muslim)
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada Aisyah r.a. Ketika wanita itu sudah pergi, Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek Rasulullah lantas bersabda: “Engkau telah melakukan ghibah!”. Semisal dengan ini adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan jalan seseorang, cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah, karena disamping memberitahu kekurangan orang, juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.
Tak kalah meluasnya adalah ghibah dengan tulisan, karena tulisan adalah lisan ke dua. Media massa sudah tidak segan lagi membuka aib seseorang yang paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian sensor perasaan malu masyarakat menurun sampai pada tingkat yang paling rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yang seharusnya ditutupi, perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.
Macam dan Bentuk Ghibah
Ghibah mempunyai berbagai macam dan bentuk, yang paling buruk adalah ghibah yang disertai dengan riya’ seperti mengatakan: “Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu semacam ini, semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu.” Padahal maksudnya mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain, namun ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya.
Kadang orang yang melakukan ghibah dengan cara pujian, seperti mengatakan: “Betapa baik orang itu, namun sayang ia mempunyai perangai seperti yang banyak kita miliki, kurang sabar.” Ia juga menyebut dirinya dengan maksud mencela orang lain dan mengisyaratkan dirinya termasuk orang-orang shalih yang selalu menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yang lain misalnya mengucapkan: “Saya kasihan terhadap teman kita yang selalu diremehkan ini. Saya berdoa kepada Allah agar dia tidak lagi diremehkan.” Ucapan seperti ini bukanlah doa, karena jika ia menginginkan doa untuk nya, tentu dia akan mendoakannya dalam kesendirian dan tidak mengutarakan semacam itu.
Ghibah Yang Diperbolehkan
Pertama: Melaporkan perbuatan aniaya. Orang yang teraniaya boleh melaporkan kepada hakim dengan mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adalah perbuatan ghibah, namun karena dimaksudkan untuk tujuan yang benar, maka hal ini dibolehkan dalam agama.
Kedua: Usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang dari perbuatan maksiat, seperti mengutarakan kepada orang mempunyai kekuasaan untuk mengubah kemungkaran: “Si Fulan telah berbuat yang tidak benar, cegahlah dia!” Maksudnya adalah meminta orang lain untuk mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah ghibah yang diharamkan.
Keempat: Untuk memperingati atau menasehati kaum muslimin. Contoh dalam hal ini adalah jarh (menyebut cela perawi hadits) yang dilakukan oleh para ulama hadits. Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ ulama, bahkan menjadi wajib karena mengandung maslahat bagi umat Islam.
Kelima: Bila seseorang berterus terang dengan menunjukkan kefasikan dan kebid’ahan, seperti minuman arak, berjudi dan lain-lain, maka boleh menyebut orang tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun tidak boleh menyebutkan aib-aib yang lain.
Keenam: Untuk memberi penjelasan dengan dengan suatu sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang. Seperti menyebutkan dengan sebutan di bisu, si pincang dan lainnya. Tapi alangkah baiknya bila menyebutnya dengan julukan yang ia senangi.
Taubat dari Ghibah
Menurut ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya yang melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan: kejahatan terhadap Allah Ta’ala karena telah melakukan perbuatan yang jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil untuk menghindari maksiat ini adalah dengan taubat yang mencangkup tiga syarat, yaitu meninggalkan perbuatan tersebut, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.
Selanjutnya, harus diikuti langkat kedua untuk menebu kejahatannya atas hak manusia, yaitu dengan mendatangi orang yang digunjingnya kemudian meminta maaf atas perbuatannnya dan menunjukkan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicarakan mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahui, maka bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan kebaikan dan berjanji pada dirinya untuk mengulanginya.
Kiat Menghindari Ghibah
Untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit dideteksi dan diobati ini, ada beberapa kiat yang bisa dilaksanakan.
Pertama: Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya azab dariNya.
Kedua: Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yang digunjingnya. Jika ia tidak sama sekali mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambil dari timbangan kejahatan orang yang digunjingnya dan ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu, niscaya seseorang akan berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan ghibah.
Ketiga: Hendaknya orang yang melakukan perbuatan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri bila membuka aib orang lain, sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.
Keempat: Jika aib orang yang hendak digunjingnya tidak ada pada dirinya sendiri, hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah karena Dia telah menghindarkannya dari aib tersebut, bukannya malah mengotori dirinya dengan aib yang lebih besar yang berupa perbuatan ghibah.
Kelima: Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya, maka ia seperti makan bangkai saudaranya, sebagaimana yang difirmankan Allah: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (Al-Hujurat: 12).
Keenam: Hukumnya wajib mengingatkan orang sedang melakukan ghibah, bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram dan dimurkai Allah.
Ketujuh: Selalu mengingat ayat-ayat Allah dan hadits-hadits yang melarang ghibah dan selalu menjaga lisa agar tidak terjadi ghibah.
Mudah-mudahan Allah menjauhkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji ini, amin.

Mawaddah, Warohmah
Selasa, Oktober 13, 2009


4 Votes

Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyari’atkan.
Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas, lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah.” (al-Furqan:54).
Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti menantu, mertua, ipar, dan sebagainya.
Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang, mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang perbuatan keji.
Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.
Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar.” Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (al-A’raf:189).
Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang dimaksud istrinya adalah Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala sebagaimana dalam firman-Nya, artinya,
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”(an-Nisa`:3)
Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.
Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah:187)
Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah
Al-Qur’an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)
Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan tutur kata yang lembut.
Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata “Ketentraman (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal bersamanya.
Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:
Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, “Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat pendapat:
Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).
Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-Walad (anak).
Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda).
Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-’Uyûn)
Ibn Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya” (Tafsir Ibn Katsir)
Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak firman-Nya, “dari jenismu sendiri.” Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-Baqarah:228).
Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.
Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu ‘lembaga’ yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”
Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat an-Nisâ`, ayat 34.
Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.
Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah.”
Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar