Sabtu, 18 Juni 2011

Reposisi Spiritualitas dalam Birokrasi



Dalam kehidupan berbagai negara di berbagai belahan dunia, birokrasi merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Disamping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sebab itu disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government) dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan yang baik (good governce). Namun pengalaman bangsa kita dan bangsa-bangsa lain menunjukan bahwa birokrasi, tidak senantiasa dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya tersebut secara otomatis dan independen serta menghasilkan kinerja yang signifikan. Keberhasilan birokrasi dalam pemberantasan KKN juga ditentukan oleh banyak faktor lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut yang perlu diperhitungkan adalah koplitmen, kompetensi, dan konsistensi semua pihak yang berperan dalam penyelenggaraan negara - baik unsur aparatur negara maupun warga Negara dalam mewujudkan clean government dan good governance, serta dalam mengaktualisasikan dan membumikan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi negara kita, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam negara dan bermasyarakat bangsa. Yang perlu diingat adalah bahwa semuanya itu berada dan berlangsung dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan, Republik Indonesia (SANKRI), dan masing-masing memiliki tanggung jawab dalam mengemban perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan NKRl. Pertanyaannya, dapatkah kita memikul tanggung jawab tersebut? dimana sistem birokrasi kita sedang berada dalam kondisi kritis dan mengidap penyakit yang sudah akut?.

Pendahuluan
Topik yang dibahas dalam artikel ini adalah “Reposisi spiritualitas dalam Birokrasi”. Topik tersebut rasanya memiliki konotasi bahwa daya spiriualitas adalah obat yang bisa mengobati penyakit akut yang diderita birokrasi di Negara kita, birokrasi dan sistemnya yang merupakan faktor ataupun aktor utama baik dalam terjadinya KKN maupun dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan KKN; meskipun kita mengetahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan terdapat di lingkungan birokrasi, tetapi juga berjangkit dan terjadi pula pada sektor swasta, dunia usaha, dan lembaga-Iembaga dalam masyarakat pada umumnya. Dalam hubungan “spiritualitas dalam birokrasi” ini sekalipun secara konseptual kita dapat membatasi permasalah dalam lingkup “urusan-urusan publik yang ditangani birokrasi”; namun secara aktual, interaksi birokrasi dengan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat dan dunia usaha merupakan suatu keniscayaan. Dalam
hubungan “interaksi dengan publik utamanya dalam pelayanan publik” itulah penyakit KKN bisa berkembang pada kedua pihak, dalam dan antar birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat, dengan jenjang yang panjang dan menyeluruh.
Sebab itu, usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks “reformasi birokrasi”, bahkan dalam rangka “reformasi sistem administrasi negara” secara keseluruhan. Dalam hubungan itu, agenda utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah : terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN; peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi rakyat di seluruh wilayah negara; berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari etika, semangat pelayanan dan pertanggung jawaban publik, serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara.

Spiritualitas dalam Birokrasi
Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap pula telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah yang tidak hanya merugikan tapi juga menghancurkan martabat bangsa kita dimata dunia yang konon terkenal dengan etika ketimurannya. Dalam hal ini penulis ingin mengemukakan penyebab dari bobroknya birokrasi serta penanggulangannya. Dalam diri aparatur birokrasi dan pada warga negara kita pada umumnya telah mengidap “penyakit jiwa” yang penulis bagi dalam tiga misal. Pertama, penyakit spiritual. Kedua, penyakit mental. Ketiga penyakit intelektual. Produk dari ketiga penyakit tersebut adalah penyakit yang keempat, yakni penyakit moral.
Maka dari itu sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa penyakit akut yang sedang kita derita ini harus diobati dengan “pencerahan jiwa”; yang nantinya akan menghasilkan produk “ketercerahan moral”. Dalam hal ini hubungan antara tiga faktor yang tersebut diatas sangatlah signifikan. Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan. Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa “mandul”, ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.
Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak mampu menuntunnya. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pintar bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah akan memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik. (naudzu billah)
Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian berjuang. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi tetap saja tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer (dangkal) untuk meladeni kompleksitas keadaan. Langkahnya keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis ekstremis - justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu. Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensi keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.
Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadahnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya. Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Dari contoh yang diuraikan diatas, untuk memperbaiki sistem birokrasi kita diperlukan tiga hal secara bersamaan. Tidak boleh hanya cerah intelektual saja atau cerah mental tanpa dibarengi dengan pencerahan spiritual. Bangsa kita memerlukan aparatur negara yang tidak sepertiga, tetapi utuh satu, yang dalam dirinya tergabung ketiga-tiganya. Yang pasti, dari birokrat yang sepertiga, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi pelayanan masyarakat dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa.
Dalam kasus kebobrokan birokrasi di Indonesia, secara umum kita tidak meragukan lagi tingkat kecerahan intelektualitas birokrat kita, banyak sekali ide-ide cemerlang, rumusan-rumusan brilian yang mereka lontarkan untuk perubahan dan perbaikan sistem birokrasi, namun kita belum bisa melihat perubahan signifikan dalam pelaksanaannya, ini berkenaan dengan belum munculnya pencerahan dalam sisi mental-spiritual para birokrat kita. Maka sangat diperlukan sekali sisi pencerahan mental spiritualitas dalam merekontruksi birokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimanakah mencerahkan moral spiritual dalam diri masyarakat kita?

Reformasi Birokrasi dengan Pencerahan Spiritual
Meskipun Indonesia adalah negara yang multikultural dan multireligius, tidak bisa dipungkiri bahwa Islam adalah agama mayoritas penduduknya, secara otomatis para pelaku pemerintahan adalah muslim secara mayoritas. maka menurut hemat penulis merupakan suatu kewajaran dalam topik ini penulis mengajukan solusi Islam yang rahmatan lil’alamin dan selalu merujuk pada Al-qur’an untuk melakukan perubahan-perubahan untuk menuju perbaikan. Dalam Islam, syarat utama untuk mencapai perbaikan adalah adanya tekad dan keyakinan bersama untuk berubah. Secara qauliyah Allah menegaskan, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri mereka (sikap mental mereka (QS. 13: 11). Demikian halnya, Allah telah mengajarkan melalui ayat-ayat kauniahNya tentang keyakinan dan tekad perubahan.
Mari kita ambil contoh proses metamorphose ulat menjadi satu dari sekian banyak ayat-ayat kauniah Allah yang bisa dijadikan contoh. Ulat dengan anatomi fisiknya yang cenderung dijauhi orang (biasanya karena jijik melihat dan menyentuhnya) melakukan ’uzlah untuk mereformasi dirinya menjadi kupu-kupu yang cantik yang disukai banyak orang. Proses perubahannya dilalui tidak dengan cara instan. Ulat melakukan metamorphose karena secara biologis telah mematuhi “aturan main” bermetamorfose. Ulat mampu melakukan ‘uzlah untuk mereformasi dirinya ke bentuk yang lebih baik dan menarik. Ulat berhasil mereformasi dirinya karena telah memenuhi dua syarat pokok, pertama, tekad untuk mau berubah yang ditunjukkan dengan ‘uzlah dan kedua, menaati “aturan main” metamorphose yang ditunjukkan dengan dilaluinya tahapan berubah bentuk dari menjadi kepompong sampai akhirnya dapat terbang karena berubah lagi menjadi kupu-kupu yang cantik.
Merujuk analogi tersebut, proses perubahan dapat dimulai dari dua arah. Pertama, secara individual tentu harus dimulai dari diri sendiri. Formula 3 M (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil, Mulai sekarang juga) yang ditawarkan AA Gym sangat relevan untuk perubahan individual ini. Kedua, secara sosial (kemasyarakatan) harus diawali dari para pemimpinnya sebagai uswah hasanah. Mengapa harus dimulai dari pemimipin? Gambaran yang paling sederhana adalah menganalogikan keteladanan layaknya benda dengan bayang-bayangnya ketika disinari cahaya. Ketika benda miring, tentu bayang-bayang akan ikut pula miring. Demikian halnya ketika benda tegak, maka tegak pula bayang-bayangnya. Demikianlah penjelasan sederhana tentang keteladanan. Rakyat akan bisa bertindak lurus, jujur, adil, manakalah pemimpinnya juga memiliki sifat-sifat terpuji, seperti jujur, adil, ramah, dll.
Kembali kepada al-qur’an bukan berarti sekedar membaca secara rutin (meskipun baik). Menjadi jauh lebih baik, ketika penghayatan terhadap Alquran dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari mampu mengantarkan menuju masyarakat Islami, masyarakat anti korupsi yang tidak menuhankan uang, sebagaimana yang telah terjadi di Negara kita.
Allah menurunkan ajaranNya yang termaktub dalam al-quran adalah untuk mengEsakan Allah, menuhankan Allah, bukan uang, jabatan, pangkat, istri, anak, atau hal lain selain Allah. Diutusnya Rasululah Muhammad Saw dengan membawa ajaran al-quran adalah untuk rahmat bagi seluruh alam.
Oleh karenanya perlu dan wajib diyakini bahwa konsepsi solutifnya adalah konsepsi yang mengantarkan para birokrat pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya untuk kembali kepada ajaran Alquran. Ajaran fundamental yang menyandarkan seluruh aspek kehidupannya dengan sandaran tauhid yang kuat, "berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah". Disaat sudah bersandar pada tauhid yang benar, maka para birokrat yang bertugas melayani masyarakat akan menjalankan tugasnya secara komprehensif; sebagai mana yang sudah tertera dalam kode etik birokrasi, dan dia akan selalu melihat tugas sebagai amanat bukannya sarana untuk menumpuk harta dan merampas hak masyarakat yang harus dilayaninya.


Penutup
Di dalam menghadapi berbagai tindak korupsi dan kebobrokan yang timbul dalam birokrasi di Indonesia sebagai akibat dari tidak segera diatasinya krisis multi dimensi yang saat ini sedang kita hadapi, pertama-tama sangat diperlukan adanya kemampuan untuk dapat melihat keterkaitan dari setiap permasalahan yang sedang dihadapi.
Dengan dimilikinya kemampuan untuk melihat permasalahan secara holistik, diharapkan kita dapat menjadi lebih fleksibel dalam menentukan etika baru yang akan kita pergunakan untuk menggantikan etika lama yang cenderung penuh dengan kepentingan suatu golongan. Diperlukan pula adanya seseorang pemimpin yang penuh dengan pengabdian, mampu untuk melepaskan dirinya dari kepentingan-kepentingan sempit kelompok, aliran atau partai politik yang dianutnya dan kemudian menjadikan kepentingan mayoritas dari bangsa ini sebagai acuan sikapnya.
Kita harus dapat melepaskan diri dari pengaruh budaya masyarakat modern yang saat ini sangat dipengaruhi oleh humanisme barat, yang menurut Danah Zohar dan Ian Marshall memiliki daya spiritual kolektif yang rendah. Manusianya berada dalam budaya yang secara spiritual bodoh yang ditandai oleh materialisme, kelayakan, egoisme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Oleh karena itu ajaran Islam (al-qur’an) akan sangat membantu kita untuk dapat menuju pencerahan moral-spiritual agar dapat menjadi tinggi dan dapat keluar dari konflik sosial yang saat ini telah sampai pada ujung tanduk.

Sudah saatnya kita sebagai masyarakat Indonesia memperbaiki sistem birokrasi dan pelaksanaannya dengan menggabungkan tiga pencerahan; pencerahan intelektual, pencerahan mental dan pencerahan spiritual, untuk mencapai masyarakat yang aman tentram dan sejahtera.wallahu a’lam.(albi).


Referensi
Prof, Dr, Mustopadidjaja AR, Reformasi birokrasi sebagai syarat pemberantasan KKN, seminar pembangunan nasional VIII, denpasar, bali 14-18 juli 2003

Wahidin halim, Manajemen Spiritual, tanpa tahun Dr, Muzaffar Iqbal, Political Implications of Tawheed, the News, 2&9 february 2007 Danah Zohar & Ian Marshall , SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, Great Britain: Blomsbury, 2000 Tim Pusdiklat Pegawai, Materi Pokok Etika Birokrasi, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Departemen Keuangan, 2006

Muhamad Ali, KKN dan Masa Depan Birokrasi Agama, KOMPAS kunjungi www.albi4ever.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar