Sabtu, 18 Juni 2011

Prasangka dan Intoleransi Agama: Mengapa Relevan Dikaji? (Sebuah konsep sosial dalam Kepatuhan beragama dengan pendekatan pendidikan)
_________________________________________________________________________
A.Pendahuluan
Akhir-akhir ini fenomena prasangka dan intoleransi bernuansa agama menguat, terutama setelah peristiwa pengeboman WTC New York pada 11 September 2001. Konflik yang terjadi dewasa ini bukan hanya konflik realistik berdasar perebutan sumberdaya yang terbatas, tetapi juga konflik identitas, termasuk identitas agama, meski konflik realistik dan konflik identitas tak dapat dipisahkan oleh garis batas yang jelas, bahkan keduanya kerap saling mempengaruhi.
Tak dapat dibantahkan bahwa agama memainkan peran sangat penting dalam memajukan peradaban manusia. Dalam upayanya mencari kedamaian dan kebahagiaan, banyak manusia mengandalkan agama sebagai jalan menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri, maupun sebagai jalan menciptakan perdamaian bagi kemanusiaan di muka bumi. Lebih dari membentuk manusia memiliki kesadaran moral dan etika sosial, sejarah sosial juga menunjukkan bahwa agama mampu menjadi inspirasi dan sumber penggerak bagi perubahan sosial positif, termasuk untuk civil rights (Giddens, 2001). Sebagai misal, di Jerman pada 1934, 45% pemimpin agama bergabung dengan Confessing Church melawan rasisme Nazi. Contoh lain, Martin Luther King Jr. dan Malcolm X mendobrak penindasan kulit putih terhadap kulit hitam di AS, masing-masing berlandaskan teologi liberatif dari Kristen dan Islam (Myers, 1994).
Namun, pada saat yang sama, agama dan ajaran agama juga dipakai untuk melegitimasi penganiayaan dan penghukuman terhadap orang dan kelompok yang tak memiliki keyakinan yang sama. Jadi, ada juga bahaya yang mengintai dari balik wajah indah agama, antara lain berupa prasangka dan intoleransi, yang pada gilirannya menjustifikasi kekerasan dan kekejaman. William James, psikolog yang meletakkan fondasi psikologi agama, menyatakan: “Piety is the mask” (1902). Kesalehan adalah topeng. Ia merujuk pada agama yang kadang menampilkan ekspresi indah sambil menyembunyikan motif buruk. Adagium ini tetap relevan hingga saat ini. Sebagai contoh, pastor G. Zabelka saat pemboman Hiroshima di akhir PD II, dan George W. Bush saat menyerbu Irak di 2003, sama-sama menyatakan: “God is on the side of our country; God is our friend.” Tetapi, kalimat serupa juga diucapkan oleh Osama Bin Laden, para pelaku pengeboman Bali, dan separatis Chechnya saat menyandera dan membunuh anak-anak sekolah di Beslan-Russia.
Penelitian psikologis banyak menemukan hubungan korelatif antara agama dan prasangka, meski hubungan itu tidak selalu berupa kausalitas. Penelitian Allport (1954), misalnya, mendapati pemeluk yang menganggap agama sebagai pandangan hidup (beragama secara intrinsik) kurang berprasangka dibanding pemeluk yang keberagamaannya bermotifkan penerimaan sosial (beragama secara ekstrinsik). Ini menunjukkan bahwa orang yang beragama secara mendalam kurang memiliki prasangka disbanding orang yang keberagamaannya superfisial. Sedangkan Batson & Ventis (1982), mendapati jema’at yang jarang menghadiri misa gereja lebih berprasangka daripada jema’at yang rajin ke gereja. Hal ini ternyata disebabkan karena ajaran keagamaan dari gereja yang diteliti tersebut menyebarkan paham egalitarianisme.
John M. Hull dari Birmingham University, Inggris, menciptakan terma religionisme (1992, 2000), yang dimaksudkannya sebagai sebuah isme atau ideologi –serupa seperti rasisme— yang meyakini bahwa agama milik sendirilah yang satu-satunya benar dan valid, sedangkan agama orang lain salah. Religionisme –saya menterjemahkannya sebagai ‘agamaisme’—, menurut Hull, cenderung mendorong para penganutnya pada solidaritas tribalistik. Identitas yang digunakan oleh agamaisme bersandar pada sikap penolakan dan eksklusifisme atau ketertutupan: “kami lebih baik dari mereka; kami terselamatkan, mereka terlaknat; kami shaleh, mereka murtad; kami beriman, mereka kafir”. Mereka adalah orang asing, orang lain, yang mengancam kita dan mengancam jalan hidup kita. Menurut Hull, agamaisme terbentuk bukan semata-mata karena tipe kepribadian atau corak beragama individu. Agamaisme memiliki akar sosio-historis dalam ideologi yang dianut masyarakat dan dikuatkan serta dilanggengkan oleh lembaga-lembaga agen sosialisasi. Struktur agamaisme merengkuh jauh melampaui batas-batas yang ada di benak dan kalbu individu. Secara spesifik, Hull mengarahkan kritiknya pada pelajaran agama di sekolah yang mengajarkan pada murid hanya tentang agama yang dipeluk oleh murid yang bersangkutan, bukan tentang berbagai agama yang ada di lingkungan sekitar murid, atau lebih luas lagi, yang ada di dunia. Akibatnya, muncullah pandangan dan sikap self-glory (kami lebih mulia), self-righteous (kami lebih benar), dan holier-than-thou (kami lebih saleh). Sikap-sikap ini perlu diwaspadai karena cenderung memperburuk konflik sosial, bukan menyelesaikannya.
Senada dengan Hull, Johan Galtung (1996) mengemukakan terma hard religion sebagai lawan dari soft religion. Setiap agama memiliki elemen keras dan lembut, dalam berbagai derajatnya. Dengan elemen lembut atau lunak agama, dimaksudkannya sebagai “warm, compassionate, reaching out horizontally to everybody, to all life, to the whole world.” Sedangkan sisi keras agama diidentifikasikan melalui “its simple, primitive sentiments and a sense of chosenness: ‘my religion is right, yours is simply wrong; the world would be better without you’.” Dalam agama keras: “Hati menjadi beku, cinta tak lagi mendapat jalan; yang mampu dilihat hanyalah apa yang memecah-belah, bukan apa yang menyatukan atau merengkuh yang lain, semua yang lain. Eksklusivitas terbangun dalam pikiran mereka melalui dogma yang aksiomatis, dan dalam perilaku mereka melalui lembaga agama vertikal. Dogma, dan lembaga kuil/sinagog/gereja/masjid merampas hidup mereka dan membawanya jauh dari pesan persatuan, kesatuan, dan kesetaraan; mereka makan dari jiwa yang dingin, yang membeku. Kebencian, kekerasan, dan perang sangat mudah tumbuh subur manakala cinta telah mati.”
Di tengah konteks penguatan agamaisme dan hard religion dewasa ini, makin penting bagi penganut agama yang pacifist (cinta damai) dan inklusif untuk melakukan upaya-upaya eliminasi prasangka dan intoleransi beragama melalui berbagai program strategis secara sistemik. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengeliminir prasangka dan intoleransi beragama, terutama melalui paradigma pendidikan multikultural, dipaparkan pada bagian berikut.


B. Multikulturalisme: Respon Pendidikan Menantang Prasangka dan Intoleransi
Prasangka dan intoleransi yang dibentuk oleh sosialisasi melalui sistem pendidikan yang berjalin-berkelindan dengan pemahaman agama dogmatis-divisif semacam di atas, jelaslah tidak mengapresiasi dan menyantuni multikulturalitas dan pluralitas, melainkan justru menegasikannya sehingga ikut mempertajam segregasi sosial dan mengeskalasi konflik sektarian. Dalam konteks masalah seperti ini, maka amat mendesak dan strategis bagi kita untuk segera merumuskan dan mengimplementasikan paradigma, pendekatan, dan metode pendidikan yang mampu menyantuni multikulturalisme dan pluralisme, sehingga ketegangan dan pertikaian etnoreligius antarkelompok dapat dikurangi, digantikan oleh kehidupan bersama yang lebih adil, damai, dan menebarkan berkah bagi seluruh warga masyarakat. Karena itu, salah satu tugas utama lembaga pendidikan dan agama yang strategis dan mendesak adalah membentuk karakter pasifis atau cinta damai di kalangan peserta didik, serta menginternalisasikan sikap toleran dan apresiatif terhadap perbedaan dan keanekaragaman (diversity).
Dasar pemikirannya adalah bahwa lembaga agama dan lembaga pendidikan mempunyai peran besar dalam membentuk karakter para jamaah/penganut dan peserta didiknya secara klasikal, dimana lembaga-lembaga ini secara langsung maupun tak langsung mengajarkan dan mentransmisikan muatan budaya tertentu, berupa nilai-nilai, sikap, peran, dan pola-pola perilaku. Lembaga agama dan pendidikan seharusnya mampu menjadi guiding light yang berfungsi menuntun manusia berakhlak dan berbudi pekerti luhur, misalnya mampu mempraktikkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban (civility), seperti menghargai pandangan dan hak asasi orang lain, menghindari kekerasan, menghormati keanekaragaman, dan mematuhi hukum. Sikap toleran dan inklusif dalam menghadapi pluralitas harus dipandang sebagai salah satu indikator integral dari akhlak atau budi pekerti luhur. Banyak literatur menyatakan (Mays, 1998; Stephan,1996; St. John, 1975; Allport, 1954), salah satu prasyarat bagi terwujudnya hubungan antarkelompok yang lebih harmonis adalah menghilangkan stereotip dan prasangka negatif terhadap kelompok lain.
Lembaga agama dan pendidikan dapat membantu mengurangi prasangka antarkelompok ini dengan menerapkan dakwah dan sistem pendidikan yang mengapresiasi pluralitas dan multikulturalitas. Tak kurang dari UNESCO menegaskan bahwa fungsi utama pendidikan bukanlah hanya terbatas pada learning to know, learning to do dan learning to be, tetapi juga learning to live together. Artinya, pendidikan seharusnya mengajarkan kepada setiap anggota masyarakat untuk menghargai kemajemukan dan membekali mereka dengan kemampuan untuk hidup bersama secara rukun sebagai sesama umat manusia. Ini sejalan pula dengan Aho (1994), bahwa karena konstruksi “musuh” terjadi secara sosial, maka imaji musuh pun harus didekonstruksi secara sosial pula. Artinya, upaya mengeliminir permusuhan, kebencian, dan intoleransi perlu dilakukan di tingkat institusional-kelembagaan, tremasuk institusi pendidikan dan agama. Aho menganggap terapi dan konseling individual tidak akan efektif menetralisir imaji tentang “musuh” yang telah dibangun secara sosial.
C. Metode Pendekatan bidang Pendidikan
Langkah strategis pertama yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan cita-cita besar ini adalah merubah paradigma dalam menyikapi perbedaan dan kemajemukan budaya dalam lembaga keagamaan dan sistem pendidikan. Wawasan pluralisme dan multikulturalisme yang inklusif, toleran, dan non-sektarian perlu dikembangkan sebagai wujud nyata motto kebangsaan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, yang telah lama diingkari melalui uniformitas yang dipaksakan melalui dominasi sosial-politik Orde Baru yang berlanjut hingga sekarang. Pendekatan truth-claim dogmatis dalam dakwah dan pendidikan agama, serta pendekatan sentralistik dan segregatif dalam pendidikan selama ini kurang mempertimbangkan keunikan lokal indigenous dengan nilai sosial budayanya yang kaya dan beragam, sehingga kurang memberi ruang bagi tumbuhnya apresiasi terhadap budaya-budaya “yang lain” (the others). Pendekatan semacam ini perlu diubah menjadi pendekatan desegregasi, toleransi dan apresiasi yang mengajarkan kepada penganut agama dan peserta didik untuk menghargai dan mengembangkan potensi dan sumber daya sosial-budaya yang ada dalam komunitasnya masing-masing, namun pada saat yang sama mereka juga mampu mengenali dan mengapresiasi budaya-budaya lain yang berbeda.
Langkah selanjutnya adalah melakukan reorientasi visi dan misi, serta restrukturisasi penyelenggaraan pendidikan nasional, termasuk pendidikan mata pelajaran agama, yang sejalan dengan wawasan multikulturalisme. Berkaitan dengan ini, juga diperlukan merumuskan kembali shared concerns dan common goals dari berbagai kelompok etnis dan agama yang hidup bersama dalam payung kebangsaan Indonesia dan paying kemanusiaan yang satu, untuk kemudian mengimplementasikannya bersama-sama. Tugas besar berikutnya adalah menyusun kurikulum yang berpendekatan lintas-budaya (cross-cultural), dan merumuskan metode belajar-mengajar alternatif yang bertujuan menghasilkan warga masyarakat yang mempunyai sikap inklusif dan toleran terhadap kemajemukan masyarakat di sekelilingnya (Mays, 1998). Beberapa gagasan dasar yang mungkin dapat digunakan sebagai masukan untuk menyusun metode pendidikan yang menyantuni multikulturalisme akan dikemukakan berikut ini:
Pertama, menjadikan program pendidikan apresiasi multikulturalisme/pluralisme sebagai kebijakan resmi oleh institusi pendidikan dan institusi agama, untuk kemudian diterjemahkan dan dijabarkan melalui prinsip-prinsip otonomi pendidikan dan manajemen pendidikan berbasis kompetensi sesuai dengan latar belakang, karakteristik, dan kebutuhan komunitas lokal di daerah masing-masing. Materi program ini berisi pengetahuan dan kompetensi interrelasi antarbudaya, yang menekankan pada pembelajaran untuk tinggal dan hidup bersama dengan orang-orang yang berlatar budaya berlainan. Program ini memiliki dua fokus: pelestarian budaya dan partisipasi budaya.
Kedua, mengembangkan proses dan metode belajar-mengajar yang memanfaatkan sebanyak mungkin potensi sosial yang ada pada komunitas lokal setempat, untuk menumbuhkembangkan social competence anak didik (secara individual) dan social capital (secara kolektif), dengan tujuan menciptakan dan memelihara harmoni dalam relasi sosial. Untuk ini perlu dikembangkan materi ajar yang mengadopsi pengetahuan lokal dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Curriculum-based education harus diimbangi dengan community-based education yang berorientasi pada pemberdayaan komunitas lokal, penghargaan pada pluralitas, pemecahan masalah secara kreatif, penyelesaian konflik secara damai, dan penumbuhan moralitas publik serta akhlak sosial.
Ketiga, menyiapkan tenaga pendidik yang kompeten dalam menerjemahkan muatan etika relasi sosial, dan berfungsi sebagai role model yang nyata (living model) dalam menanamkan sikap tepa slira (empathy) dan toleransi serta apresiasi yang inklusif pada anak didik. Tenaga pendidik harus mampu memberi teladan penegakan asas demokrasi yang mengakomodasi perbedaan, baik dalam interaksi vertikal (antara guru dan murid) maupun interaksi horizontal (murid dengan murid atau guru dengan guru). Metode pengajaran otoriter-dogmatis yang menuntut kepatuhan buta harus dihindari, karena ia hanya menghasilkan manusia-manusia robotik yang tidak memiliki sensitivitas terhadap lingkungan sosialnya. Sebagai gantinya, perlu dikembangkan metodologi pengajaran yang dialogis dan interaktif, serta mampu mengembangkan daya pikir, daya nalar, dan empati anak didik. Tenaga pendidik harus membekali anak didik tidak saja dengan kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional (Daniel Goleman, 1995) dan kecerdasan moral (Robert Coles, 1997).
Keempat, memodifikasi kurikulum agar lebih banyak berisi muatan toleransi dan apresiasi terhadap budaya dan kelompok lain. Menanamkan sikap toleran dan apresiatif-inklusif dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, disisipkan pada mata pelajaran Agama dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dasar pemikirannya adalah karena toleransi dan apresiasi terhadap kemajemukan dan perbedaan adalah bagian integral dari sikap keberagamaan yang inklusif dan sikap sebagai warga negara yang santun-beradab, sehingga mata pelajaran Agama dan PPKn tidak dapat menanggalkan pendidikan toleransi. Kedua, diberikan secara mandiri dalam mata pelajaran tersendiri, misalnya dengan nama pelajaran Pendidikan Damai (Peace Education). Dasar pemikirannya adalah karena jika hanya disisipkan pada mata pelajaran lain maka dikhawatirkan penanaman sikap toleran dan inklusif kurang mendapat prioritas dan reinforcement.
Kelima, mempopulerkan program-program pertukaran budaya (cross-cultural exchange program), seperti program Schools Combat Racism di Amerika Serikat misalnya, yang memfasilitasi kontak, komunikasi, interaksi, dan kerja sama di antara anak didik yang berasal dari kelompok etnis dan agama yang berbeda-beda (Slovan, 1997). Exchange program perlu disemarakkan terutama pada sekolah-sekolah yang berafiliasi agama yang cenderung divisif-segregatif. Sekolah yang berbasis agama tertentu perlu difasilitasi untuk banyak melakukan kontak, interaksi, dan kerja sama dengan sekolah berbasis agama berbeda. Dasar pemikirannya adalah bahwa dalam kegiatan pertukaran budaya biasanya terjadi sharing perasaan, pengalaman, dan memori kolektif. Terjadi pertukaran harapan, kecemasan, kerinduan, dan visi tentang masa depan bersama. Juga terjadi komunikasi dan dialog empatik mengenai keserupaan dan keragaman sehingga mampu mengeliminir bias, stereotip dan prasangka, yang pada gilirannya membuat kerukunan dalam kehidupan bersama lebih mudah terwujud. Menurut Allport (1954) dalam bahasannya tentang contact hypothesis, prasyarat agar kontak antarkelompok dapat memberi hasil efektif adalah: a) didukung oleh otoritas –misalnya lembaga agama atau pemimpin masyarakat—secara konsisten; b) frekuensi kontak harus sering supaya anggota kelopmpok mengenal satu sama lain secara lebih utuh, tidak sepenggal-sepenggal; c) setiap kelompok harus menganggap kelompok-kelompok lainnya mempunyai status sederajat dalam situasi kontak; d) terutama pada fase perkenalan, situasi kompetisi harus dihindari sedangkan iklim kooperatif perlu didorong, khususnya antar kelompok yang memiliki ketegangan sosial.
D.Penutup
Mentalitas spesiasi-semu, merujuk kembali pada terma dari Erik Erikson, dapat dijinakkan melalui pengembangan identitas yang lebih luas dan inklusif (wider, inclusive identities), disertai dengan realisme dan kekuatan spiritual agar manusia mampu hidup berdampingan dengan sesamanya dengan rasa saling hormat. Dengan identitas inklusif, manusia tidak hanya mampu melakukan identifikasi empatik dengan orang lain, tetapi juga memiliki kerelaan untuk memahami the otherness (perbedaan) dan persamaan diantara sesamanya dengan mentransendir kotak-kotak dan kategori-kategori sosial yang artifisial. Spesiasi-semu misalnya dapat dieliminir dengan belajar menghargai budaya lain, menanggalkan arogansi nasionalisme dan glorifikasi budaya sendiri yang berlebihan, serta mengakui dan menghargai norma dan tradisi budaya lain dengan menganggapnya memiliki hak hidup dan kesakralan yang sama dengan norma dan tradisi kita sendiri.
Prasangka dan intoleransi agama, merujuk pada John Hull, dapat dieliminir oleh strategi pendidikan yang menghargai perbedaan dan pluralitas agama dan budaya di sekolah-sekolah dan agen-agen sosialisasi penting lainnya, seperti gereja/masjid/ sinagog/kuil/pura, keluarga, dan juga media massa dalam artiannya yang luas. Hull merekomendasikan tiga strategi: 1) mengganti agamaisme dengan tradisi spiritual yang genuine dan otentik, sambil mengupas bias politik dan sejarah yang divisif, 2) menekankan bahwa tujuan universal agama-agama adalah sama, bahwa semua agama bekerja untuk tujuan yang sama (common goals), yaitu menghadirkan spirit Tuhan di bumi, menciptakan surga di muka bumi, 3) mengganti dakwah agamaisme yang cenderung menghujat agama lain dan bertujuan mengkonversi pemeluk agama lain dengan dakwah agama otentik yang bertujuan menegakkan keadilan dan perdamaian, serta menghadirkan Tuhan dalam kehidupan fana manusia.
Terakhir, meminjam Johan Galtung tentang soft religion, maka upaya menciptakan perdamaian di dunia dapat pula dicapai dengan melakukan dialog intra-agama dan antar-agama, yang mengedepankan aspek lembut dari keberagamaan dan agama yang otentik.

**********************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar