Sabtu, 18 Juni 2011

A. Paradigma
Isilah paradigma berasal dari kata Yunani paradeigma artinya memperagakan atau mendemonstrasikan. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya berjudul The Structure of Scientific Revolutions. Dalam buku tersebut, Kuhn mendefinisikan sebuah paradigma ilmiah sebagai : -Apa yang diamati serta diamati dengan cermat
-Jenis pertanyaan yang akan diajukan dan dijelajah untuk mencari jawaban dalam kaitannya dengan subjek
-Bagaimana pertanyaan tersebut akan distruktur
-Bagaimana hasil kajian ilmiah akan ditafsirkan

Bila kita memeriksa Oxford English Dictionary, maka dalam entri paradigma dinyatakan sebagai sebuah model atau pola, sebuah contoh. Jadi bila tambahkan ke definisi Kuhn menyangkut batasan paradigma, maka hasilnya ialah bagaimana sebuah eksperimen dilakukan serta peralatan apa yang digunakan untuk melaksanakan eksperimen.
Jadi dalam sains normal (normal science), paradigma merupakan himpunan eksperimen contoh yang mungkin akan akandigandakan atau diulang, Kuhn mengatakan konsep paradigma kurang cocok untuk ilmu pengetahuan sosial karena ilmuwan bidang tersebut tidak pernah sepakat mengenai teori atau konsep. Hal tersebut diperkuat oleh Mattei Dogan yang mengatakan tidak ada paradigma dalam ilmu pengetahuan sosial karena konsep paradigma bersifat polisemi artinya memiliki banyak makna.
Bila pada ilmu pengetahuan sosial saja yang telah mapan dengan berbagai teori dibandingkan dengan ilmu perpustakaan dan informasi, maka dalam ilmu perpustakaan dan informasi tidak akan ada paradigma. Namun demikian pengertian paradigma dapat ditafsirkan sebagai kerangka berpikir dan pengertian itu lah yang diterapkan di sini menyangkut sikap pustakawan terhadap kegiatannya.
Lebih lanjut, Kuhn mendefinisikan paradigma sebagai “Pertama, paradigma berarti keseluruhan perangkat—‘konstelasi’— keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya yang dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat. Kedua, paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan sebagai model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara yang lain sebagai landasan bagi pemecahan atau teka-teka dalam ilmu pengetahuan normal.”
Paradigma dalam pengertian yang kedua disebut Kuhn sebagai “eksemplar” berarti contoh yang bermutu tinggi dari penelitian yang sukses yang ditanggapi sebagai model ideal oleh para anggota komunitas ilmiah yang bersangkutan. Komunitas ilmiah terdiri dari individu-individu yang secara esensial memiliki pendidikan yang sama, tujuan yang sama, dan mengacu pada perbendaharaan kepustakaan yang sama pula. Komunitas ilmiah, tersebut, dicirikan oleh komunikasi yang relatif intensif di kalangan para anggotanya dan kesepakatan yang relatif bulat dalam hal penilaian profesional dalam peringkat atau jenjang mereka.”
Dalam buku itu, Kuhn menyebut istilah paradigma dengan 21 cara yang berbeda. Maka, Margaret Masterman mencoba mengintrodusir pandangan Kuhn tentang istilah paradigma menjadi 3 tipe, yaitu: Paradigma metafisik (metaphysical paradigm), paradigma sosiologis (sociological paradigm), serta paradigma konstruk (construct paradigm).
Konsep paradigma yang dikenalkan ini kemudian dipopulerkan dalam teori sosial oleh Robert Friedrichs. Ia merumuskan paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Sedangkan George Ritzer, dalam Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, dengan jelas mensintesakan pengertian paradigma yang telah dijelaskan oleh Thomas Kuhn, Margaret Masterman, serta Robert Friedrichs. Ritzer mencoba merumuskan pengertian paradigmna itu secara lebih jelas dan terperinci. Menurutnya paradigma merupakan gambaran fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen yang ada di dalamnya.
Bertolak dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu cabang ilmu pengetahuan nampaknya dimungkinkan terdapatnya beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuan yang masing-masing berbeda titik tolak pandangnya tentang apa yang (menurutnya) menjadi pokok persoalan yang semetinya dipelajari dan diselidiki oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut.
Paradigma adalah suatu jendela di mana peneliti akan memahami dan menafsirkan secara obyektif berdasarkan keangka acuan yang terkandung dalam paradigma tersebut, baik itu konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan kategori tertentu. Oleh karenanya peneliti yang berbeda yang masing-masing menggunakan paradigma yang berbeda pula, meskipun mengkaji satu fenomena yang sama, mereka akan keluar dengan kesimpulan 6yang berbeda.

B. Teori
Ada banyak ahli yang memberikan definisi teori. Kerlinger (1973) menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi dan proposisi yang saling kait mengkait yang menghadirkan suatu tinjauan secara sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan secara spesifik hubungan-hubungan antar variabel yang terkait dengan fenomena, dengan tujuan memberikan eksplanasi dan predikasi atas fenomena tersebut.
Menurut definisi ini teori mengandung tiga hal. Pertama, teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. Ketiga, teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya.
Dengan demikian, teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial maupun natura yang ingin diteliti dan juga merupakan alat dari ilmu (tool of science). Di lain pihak, teori juga merupakan alat penolong teori. Sebagai alat dari ilmu, teori mempunyai peranan sebagai : (a) teori sebagai orientasi utama dari ilmu, (b) teori sebagai konseptualisasi dan klasifikasi, (c) teori meringkas fakta, (d) teori memprediksi fakta-fakta, dan (e) teori memperjelas celah kosong. Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan juga dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan merupakan keterangan-keterangan empiris yang berpencar. Makin banyak penelitian yang dituntun oleh teori, maka makin banyak pula kontribusi penelitian yang secara langsung dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
Setiap teori dapat diterima dengan dua kriteria : (a) kriteria ideal dan (b) kriteria pragmatis. Kriteria ideal mengemukakan bahwa suatu teori akan dapat diakui apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
(1) sekumpulan ide yang dikemukakan memiliki hubungan logis dan konsisten. (2) Sekumpulan ide-ide yang dikemukakan harus mencakup seluruh variabel yang diperlukan untuk menerangkan fenomena yang dihadapi. (3) Kumpulan ide-ide tersebut mengandung proposisi-proposisi di mana ide yang satu dengan yang lain tidak tumpang tindih. (4) Kumpulan ide-ide tersebut dapat dites secara empiris.
Sedangkan kriteria pragmatis mengemukakan bahwa ide-ide dikatakan sebagai teori kalau ide-ide tersebut memiliki : (1) Asumsi dan paradigma. (2) frame reference, yaitu kerangka fikir yang mengidentifikasi aspek-aspek kehidupan sosial yang akan diuji secara empiris. (3) Konsep-konsep, yakni abstraksi atau simbol sebagai wujud suatu ide. (4) variabel, yaitu penjabaran konsep yang mengandung dimensi. (5) Proposisi, yakni hubungan antar konsep. (6) Hubungan yang sistematis dan bersifat kausal diantara konsep-konsep dan proposisi-proposisi tersebut.
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu teori harus : (a) mengandung konsep, definisi, dan proposisi, (b) ada hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-definisi, dan proposisi-proposisi, (c) hubungan tersebu merupakan cermin fenomena sosial, (d) dengan demikian teori dapat digunakan untuk eksplanasi atau ekspedisi.
Adapun fungsi teori adalah : (1) Untuk sistematisasi pengetahuan atau disebut typologies. Setiap konsep dapat digunakan untuk kategori dan klasifikasi. Misalnya, individu dapat mengklasifikasikan menurut tinggi badan, berat badan, kekuatan badan (ciri-ciri fisik), sikap, loyalitas dan sebagainya. (2) Untuk eksplanasi, predikasi, dan kontrol sosial. Eksplanasi berfungsiberhubungan dengan persitiwa yang telah terjadi, prediksi berhubungan dengan peristiwa yang akan terjadi, dan kontrol sosial berhubungan dengan usaha menguasasi atau mampengaruhi peristiwa yang akan terjadi. (3) Untuk mengenbangkan hipotesa. Dengan hipotesis, peneliti mempertanyakan keabsahan sebuah teori dengan kenyataan yang ada. Jika hipotesis cocok dnegan kenyataan, maka hipotesis tersebut akan menjadi teori baru yang lebih mantap atau lebih luas daripada teori yang digunakan untuk mengembangkan hipotesis. Dan, itulah hakikat sebuah penelitian.
Jika konsep digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi fenomena yang diobservasi, maka teori adalah jalur logika atau penalaran yang digunakan oleh peneliti untuk menerangkan hubungan pengaruh antar fenomena yang dikajinya.

C. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dari epistemologi kearah pelaksanaan penelitian. Epistemologi memberi pemahaman tentang cara/teori menemukan atau menyusun pengetahuan dari idea, materi atau dari kedua-duanya serta merujuk pada penggunaan rasio, intuisi, fenomena atau dengan metode ilmiah¬¬ (Rusidi, 2004 :3). Sehingga bagaimana menemukan atau menyusun pengetahuan memerlukan kajian atau pemahaman tentang metode-metode. Dalam pengertian ini perlu dibedakan antara metode dan teknik. Secara keilmuan, metode dapat diartikan sebagai cara berpikir, sedangkan teknik diartikan sebagai cara melaksanakan hasil berpikir. Jadi dengan demikian metodologi penelitian itu diartikan sebagai pemahaman metode-metode penelitian dan pemahaman teknik-teknik penelitian.
Makna penelitian secara sederhana ialah bagaimanakah mengetahui sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis (Garna, 2000:1). Proses sistematis ini tidak lain adalah langkah-langkah metode ilmiah. Jadi pengertian dari metodologi penelitian itu dapat diartikan sebagai pengkajian atau pemahaman tentang cara berpikir dan cara melaksanakan hasil berpikir menurut langkah-langkah ilmiah.
Metode (metodologi) ilmiah dalam pandangan Jujun Suryasumantri merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi membahas mengenai: Apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sejauh mana manusia mampu menangkap pengetahuan?.

D. Konsep
Dalam penelitian, seorang peneliti menggunakan istilah khusus untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak ditelitinya. Inilah yang disebut konsep, yakni istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara anbstrak: kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunbakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan dengan satu dengan yang lainnya.
Dalam penelitian akan ditemui dua jenis konsep;` pertama, konsep-konsep yang jelas hubungannya dengan fakta atau realitas yang mereka wakili;` kedua, konsep-konsep yang lebih abstrak atau lebih kabur hubungannya dengan fakta atau realitas. Salah satu jenis konsep ini adalah meja. Arti konsep tersebut dapat secara mudah diilustrasikan dengan menunjuk kepada meja tertentu. Konsep meja digunakan sebagai abstraksi dari semua karakteristik meja yang dapat diamati secara langsung serta mudah diukur, yakni : mempunyai permukaan datar, memiliki kaki dan digunakan untuk aktivitas-aktivitas tertentu manusia.
Konsep jenis kedua, yang lebih banyak diamati dalam penelitian sosial, tidak mudah menghubungkannya dengan fenomena yang diacunya. Beberapa conteh konsep seperti ini adalah : ambivalensi fungsional, messianisme, kelompok etnis, kekerabatanafiliasi politik, debirokratisasi, deregulasi, dan birokrasi. Dalam penelitrian kependudukan adalah : mobilitas, fertilitas, moralitas, status wanita, status kawin, jabatan, status pekerjaaan, dan pekerjaan sektor informal.
Konsep-konsep semacam ini merupakan inferensi, yakni tingkat abstraksi yang lebih tinggi dari kejadian-kejadian yang konkrit sehingga tidak mudah menghubungkannya dengan kejadian, obyek atau indvidu tertentu. Konsep yang abstrak seperti ini sering disebut konstruk (construct), karena dikonstruksikan dari konsep yang lebih rendah tingkatan abstraksinya. Semakin besar jarak antara konsep atau konstruk ini dengan fakta empiris atau aktivitas yang ingin digambarkannya, semakin besar pula kemungkinan terjadinya salah pengertian serta salah penggunaan.
Adaapun Sofian Effendi berpendapat bahwa konsep adalah abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu. Migrasi, misalnya adalah konsep yang dirumuskan atas dasar generalisasi dan prilaku mobilitas tertentu manusia. Prilaku ini berkaitan dengan perpindahan keluar dari tempat-tempat asal pada jangka waktu tertentu dan dengan tujuan tertentu pula. Perpindahan tesebut mencakup perpindahan ke desa lain, ke kecamatan lain, ke kabupaten lain, atau ke propinsi lain. Perpindahan tersebut dilakukan setiap hari, musiman, atau permanen. Semua perilaku yang menyangkut mobilitas manusia seperti itu diformulasikan menjadi konsep migrasi oleh ahli kependudukan.
Peranan konsep dalam penelitian sangat besar karena dia adalah yang menghubungkan dunia teori dan dunia observai, antara abstraksi dan realitas. Dalam penelitianb sosial peranannya menjadi sangat pentinh kena "realitas sosial" yang menjadi perhatian ilmu sosial banytak yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia sehinbgga sering timbul masalah dalam pengukuran konsep tersebut. Untuk itu konsep perlu didefinisikan secara tepat sehingga tidak terjadi kesalahan pengukuran.
Konsep yang berguna untuk mengembangkan teori memiliki ciri pokok yaitu konsep tersebut memiliki makna yang satu kepada semua pihak yang menggunkannya. Namun demikian, karena suatu konsep seringkali dinyatakan dalam bahsaa sehari-hari, sehingga suulit untukmenghindari penggunaan kata-kata yang bisa mempunyai arti bermacam-macam, sehingga menunjukkan fenomena yang berbeda-beda pula.
Dalam mengembangkan teori, konsep dapat dikelompokkan ke dalam konsep kategori dan konsep dimenasi. Pengelompokan lain, konsep dapat disebut konsep khusus non variabel dan konsep variabel. Konsep khusus non-variabel merupakan sekumpulan konsep kategori yang secara sederhana menunjukkan label suatu fenomena.
J. Hage mengemukakan adanya keuntungan apabila kita menggunakan konsep dimenasi atau konsep variabel dibandingkan kalau kta menggunakan konsep non-variabel atau kategori. Yaitu.
(1) konsep variabel atau konsep dimensi dapat diterapkan untuk budaya manapun juga dan memungkinkan seseorang untuk teori yang relatif universal.
(1) klasifikasi yang kita buat menjadi lebih tepat, mantap, dan cocok. Konsep variabel lebih mudah dipahami dan dibahas.

E. Variabel
Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, mereka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variable, yang berarti mempunyai variasi nilai. Caranya adalah dengan memilih dimensi tertentu konsep yang mempunyai variasi nilai. Suatu contoh sederhana adalah konsep badan. Agar konsep tersebut dapat diteliti secara empiris, konsep tersebut harus dijadikan variable dengan mengambil dimensi-tertentu badan, misalnya tinggi badan, berat badan, dan bentuk badan yang mengandung variasi nilai.dari konsep penduduk dapat dirumuskan variabel-variabel jenis kelamin, suku bangsa, umur, dan variable-variabel lainnya. Beberapa contoh variable yang sering dijumpai dalam penelitian adalah jumlah anak, luas tanah yang dikuasai, tingkat pertumbuhan ekonomi, penggunaan kontrasepsi, dan tempat tinggal.
Dalam penelitian sosial, dikenal dua bentuk variable, yaitu: variable kategorikal (categorical variables) dan variable besambungan (continuous variables). Variable kategorikal adalah variable yang membagi responden menjadi dua kategori atau beberapa kategori. Variable yang terdiri dari dua variable disebut variable dikotomi, sedangkan yang memiliki banyak kategori disebut variable politomi. Variable dikotomi sering dijumpai dalm penelitian sosial, masalnya, jenis kelamin (pria/wanita), status pekerjaan (bekerja/tidak bekerja), status perkawinan (kawin/tidak kawin), penggunaan kontrasepsi (paki/tidak pakai). Beberapa contoh variable politomi adalah jenis pendidikan (tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA, D1-D3, S1-S3), jenis pekerjaan (pegawai negri, pegawai swasta, pemilik toko, buruh tani, dan tukang), dan agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindhu, Budha, Konghucu).
Variable bersambungan adalah variable yang nilai-nilainya merupakan suatu skala, baik bersifat ordinal maupun rasio. Beberapa contoh variable bersambungan dalam penelitian sosial adalah umur, jumkah pendapatan, jumlah pengeluaran rumah tangga, tingkat efektivitas, tingkat prevalensi kontrasepsi modern, tingkat sentuhan media massa, dan tingkat kriminalitas.
Dalam analisa seringkali variable-variabel bersambung ini diubah menjadi variable kategorikal, agar peneliti dapat melkukan analisa-analisa kategorikal seperti tabulasi silang dari analisa varians. Sebaliknya, variable kategorikal tidak dapat langsung diubah nenjadi variable bersambungan.

F. Definisi Operasional
Konsep-konsep sosial yang sudah diterjemahkan menjadi satuan yang lebih operasional, yakni, variable dan konstruk (construct), biasanya belum sepenuhnya siap untuk diukur. Hal ini demikian karena variable dan konstruk sosial mempunyai beberapa dimensi yang dapat diukur secara berbeda. Definisi operasional adalah unsure penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variable. Dengan kata lain, definisi operasinal adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variable. Definisi opersional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variable yang sama. Dari informasi tersebut dia akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variable itu dilikukan. Dengan demikian dia dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan atau diperlukan prosedur pengukuran yang baru.
Formulasi definisi operasional dapat mengambil berbagai bentuk. Contoh-contoh dibawah ini menunjukkan beberapa bentuk definisi operasional yang sering digunakan dalam penelitian sosial. "Tingkat kecerdasan seseorang ditunjukkan oleh skor (score) yang diperoleh dari Teas Kecerdasan". "Fertilitas seorang wanita adalah jumlah kelahiran hidup selama masa reproduksinya". "Kekayaan keluarga oleh skor total indeks pemilikan barang-barang berharga". "Keadaan sarana pendidikan suatu desa adalah skor yang diperoleh pada Indeks Sarana Pendidikan".

G. Indikator
Konsep yuang telah dirumuskna menjadi variable penelitian bisa diukjur berdasarkan definisi operasional yang sudah dirumuskan. Rumusan definisi operasional ini mengandung indicator-indikator yang menandai variable/ konsep yang diukur. Bryman (2004: 540) merumuskan indicator sebagai "a measure that is employed to refer a concept when no direct measure to available". Sarantakos (2004: 264) mendefinisikan indicator sebagai "a direcly observable trait used to empirical dfine avariable". Dengan kata lain, indicator merefleksikan karakteristiuk dasar yang akan diukur sebagai criteria suatu variable. Jadi, dalam proses pnelitian, konsep yang sudah dirumuskan peneliti dijabarkan menjadi beberapa variable yang didefinisikan secara operasional dan variable (-variabel) itu diukur dengam indicator (indicatorr).
Ada beberapa macam cara untuk merencanakan dan menentukan indicator :
1. melalui pertanyaan (-pertanyaaan) yang merupakan bagian dari jadwal/ rencana interview terstruktur.
2. melalui perekaman perilaku individual dengan menggunkan jadwal observasi yang terstruktur.
3. melalui statistic
4. melalui isi (content) media massa, terutama melalui analisis isi (content analysis) (Bryman, 2004: 66)
Dalam proses pengukuran variable/ konsep, ada 3 elemen penting yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :
a. selection indicators
b. quantification of the indicators
c. quantifications of the variable (Sarntakos.2004: 130-131)

H. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,1993:102). Selanjutnya populasi adalah data yang menjadi perhatian dalam suatu lingkup dan waktu yang ditentukan. (Margono, 2000:118).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa populasi merupakan keseluruhan individu atau data yang akan disajikan sebagai sumber penelitian. Populasi atau universe bisa juga dimaknai sebagai jumlah keseluruhan dari unit analisa yang cirri-cirinya akan diduga. Populasi dapat dibedakan pula antara populasi sampling dengan populasi sasaran. Sebagai missal, apabila kita mengambil Rumah Tangga sebagi sample, sedangkan yang diteliti hanya anggota rumah tangga yang bekerja sebagai petani, maka seluruh Rumah Tangga dalam wilayah penelitian disebut populasi sampling. Sedangkan seluruh petani dalam penelitian disebut populasi sasaran (Palte, 1978 : 12).
Dalam setiap penelitian, populasi yang dipilih erat hubungannya dengan masalah yang ingin dipelajari. Dalam penelitian fertilitas misalnya, suatu sample biasanya dipilih dari populasi wanita usia subur (umur 15-49 tahun) yang pernah kawin.dalam penelitian tenaga kerja dipilih populasi penduduk usia kerja; dalam penelitian transmigrasi, para transmigran yang menjadi populasi sasaran`; dan penelitian pemakai alat kontrasepsi, para akseptor yang menjadi sasaran peneliti.
Secara umum populasi adalah semua individu atau unit atau peristiwa yang ditetapkan sebagai objek penelitian. Akan tetapi sebenarnya populasi itu bukan semua individu atau unit atau peristiwa. Secara lebih spesifik sebagaimana dikemukakan oleh Babbie (2004:190), populasi adalah segregasi (kumpulan individu atau elemen) dari mana suatu sampel dipilih, sebagaimana dinyatakan: “a population is that aggregation of elemen from which the sample is actually selected”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam setiap penelitian, objek penelitian itu memiliki atribut atau ciri atau sifat. Ciri-ciri atau sifat-sifat itu memiliki keragaman yang disebut variabel. Unit yang memiliki variabel itu disebut unsur atau elemen, yang selanjutnya disebut unit elementer. Unsur-unsur atau elemen-elemen itu merupakan objek penelitian yang secara teknis nantinya disebut variabel, yang kepadanya akan dikenakan pengukuran. Unit elementer tersebut dapat bersifat kuantitatif dan dapat bersifat kualitatif. Unit elementer yang bersifat kuantitatif misalnya tingkat pendapatan pegawai negeri yang dinyatakan besarannya dalam rupiah. Unit elementer yang bersifat kualitatif dari pegawai negeri misalnya kinerjanya, keramahannya dalam bergaul dengan sesama, serta disiplin dan kepatuhannya.
Berdasarkan ilustrasi sebagaimana digambarkan di atas, secara teknis populasi tidak lain adalah kumpulan dari unit-unit elementer yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu. Oleh karena peneliti akan meneliti sifat-sifat dari unit elementer, dan kemudian dari unit-unit elementer itu akan disimpulkan, maka secara teknis yang disebut populasi adalah kumpulan ukuran-ukuran tentang sesuatu yang kepadanya akan dibuat inferensi atau kesimpulannya.
Suatu populasi memiliki ragam tertentu. Populasi yang jumlah elemen, elemen atau individunya diketahui dan dapat dihitung, dinamakan populasi terbatas (finite population or countable population). Sebaliknya apabila jumlah individunya tidak dapat diketahui dan dihitung, dinamakan populasi tak terhitung (infinite population or countable population). Sebagai contoh misalnya populasi mahasiswa di suatu perguruan tinggi adalah termasuk jenis populasi terbatas dan dapat dihitung (countable population). Sebaliknya jumlah butir padi di suatu lahan adalah populasi tak terhitung (uncountable population).
Setelah kita memperoleh gambaran mengenai populasi tersebut, pembahasan mengenai konsep sampel akan lebih mudah dipahami. Sampel adalah sebagian dari populasi yang memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat yang sama dan atau serupa dengan populasinya. Sesuai dengan rumusan tersebut, maka suatu sampel harus memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat yang dapat menggambarkan secara tepat sifat-sifat populasinya. Sampel yang demikian dinyatakan sebagai sampel yang representatif.
Menurut Babbie, tujuan dari teknik sampling adalah untuk memilih suatu set (satuan) elemen dari populasi dengan melakukan pendiskripsian elemen-elemen tersebut untuk melukiskan keseluruhan populasi secara tepat dari mana elemen-elemen tersebut dipilih, sebagaimana dinyatakan: “the ultimate purpose of sampling: to select a set of elements from population in such way that description of those elements accurately portry the total population from which the elements are selected”(Babbie, 2004:190).

I. Sample
Suatu metode pengambilan sample yang ideal mempunyai sifat-sifat seperti dibawah ini:
1. Dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi yang diteliti.
2. Dapat menentukan presisi (precision) dari hasil penelitian dengan menentukan penyimpangan baku (standat) dari taksiran yang diperoleh.
3. Sederhana, hingga mudah dilaksanakan.
4. Dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya serendah-rendahnya (Teken 1965 : 38).
Dalam menentukan metode pengambilan sample yang akan digunakan dalam suatu penelitian, si peneliti harus memperhatikan hubungan antara biaya, tenaga dan waktu di satu pihak, serta besarnya presisi di pihak lain. Apabila jumlah biaya, tenaga, dan waktu sudah dibatasi sejak semula, si peneliti harus berusaha mendapatkan suatu metode pengambilan sample yang dapat menghasilkan presisi yang tertinggi. Perelu disadari bahwa tingkat presisi yang tinggi tidak munkin dicapai dengan biaya, tenaga, dan waktu yang terbatas. Yang mungkin dapat dicapai adalah tingkat presisi tertentu dengan biaya, tenaga, dan waktu yang terbatas.
Kita perlu memperhatikan masalah efisiensi dalam memilih metode pengambilan sample. Menurut Teken (1965 : 39), metode A dikatakan lebih efisien daripada metode B apabila untuk sejumlah biaya,tenaga, dan waktu yang sama, metode A itu dapat memberikan tingkat presisi yang lebih tinggi; atau, untuk tingkat presisi yang sama diperlukan biaya, tenag, dan waktu yang lebih rendah.
Sering timbul pertanyaan, berapa besarnya sample (sample size) yang harus diambil untuk mendapatkan data yang representative. Ada empat factor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan besarnya sample dalam penelitian:
1. Derajat keseragaman (degree of homogenity) dari populasi. Makin seragam populasi itu, makin kecil sample yang dapat diambil. Apabila populasi itu seragam sempurna (completely homogenity), maka satu satuan elementer saja dari seluruh populasi itu sudah cukup representative untuk diteliti. Sebaliknya, apabila populasi itu secara sempurna tidak seragam (completely heterogenous) maka hanya pencacahan lengkaplah yang dapat memberikan gambaran yang representative.
2. Presisi yang dikehendaki dari penelitian. Makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar jumlah sample yang harus diambil. Jadi sample yang besar cenderung memberikan penduga yang lebih mendekati nilai yang sesungguhnya (true value). Pada sensus lengkap, presisi ini menjadi mutlak karena nilai taksiran sama dengan nilai parameter. Atau dengan cara lain dapat pula dikatakan bahwa, antara besarnya sample yang diambil dengan besarnya kesalahan (error) terdapat hubungan yang negative. Besar sample yang diambil, semakin kecil pula kesalahan (penyimpangan terhadap nilai populasi) yang diperoleh.
3. Rencana analisa. Adakalanya besarnya sample sudah mencukupi sesuai dengan presisi yang dikehendaki, tetapi kalau dikaitkan dengan kebutuhan analisa, maka jumkah sample tersebut kurang mencukupi. Misalnya kita ingin menghubungkan tingkat pendidikan responden dengan pemakaian alat-alat kontrasepsi. Kalau kita membagi tingkat pendidikan responden secara terinci, misalnya belum sekolah, belum tamat SD, tamat SD, belum tamat SMTP, tamat SMTPdan seterusnya, mungkin tidak cukup dengan mengambil 100 responden karena akan terdapat sel-sel dari matrik yang kosong. Begitu juga untuk perhitungan analisa yang menggunakan penghitungan statistic yang rumit.
4. Tenaga, biaya, dan waktu. Kalau menginkan presisi yang tinggi mak jumlah sample harus besar. Tetapi kalau dana, tenaga, dan waktu terbatas, mak tidaklah mungkin untuk mengambil sample yang besar, dan ini berarti presisinya akan menurun.
Walaupun besarnya sample yang harus diambil dalam suatu penelitian didasarkan atas keempat pertimbangan diatas, tetapi agar dapat menghemat waktu,biaya, dan tenaga maka seorang peneliti harus dapat memperkirakan besarnya sample yang diambil sehingga presisinya dianggap cukup untuk menjamin tingkat kebenaran hasil penelitian. Jadi peneliti sendirilah yang menentukan tingkat presisi yang dikehendaki, yang selanjutnya berdasarkan presisi tersebut dapat menentukan besarnya jumlah sample.
Sebelum pembicaraan lebih lanjut, perlu dijelaskan bahwa pada dasarnya ada dua macam metode pengambilan sample, yaitu 1. pengambilan sample secara acak (random) yang dalam literature Inggris disebut random sampling atau probability sampling dalam literatue Amerika; dan 2. pengambilan sample yang bersifat tidak acak, dimana sample dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Contoh sample ini adalah : Purposive sampling dan Quota Sampling.
Dalam uraian selanjutnya, berturut-turut akan dibicarakan beberapa metode pengambilan sample secara acak, kemudian disusul dengan pembicaraan mengenai purposive sampling. Uraian ini akan disertai contoh-contoh serta kelebihan dan kekurangan metode pengambilan sample yang bersangkutan. Suatu metode mungkin memberikan hasil yang memuaskan untuk suatu penelitian tertentu, tetapi tidak memuaskan untuk penelitian yang lain.
A. Pengambilan Sample Acak Sederhana (Simple Random Sampling)
Sample acak sederhana adalah sebuah sample yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sample. Apabila besarnya sample yang diinginkan itu berbeda-beda, maka besarnya kesempatan bagi tiap satuan elementer untuk terpilih pun berbeda-beda pila. Misalnya besar populasi adalah N, sedang unsure dalam sample (sample size) adalah n, maka besar kesempatan bagi tiap satuan elementer untuk terpilih dalam sample adalah n/N.
Jelasnya, sample acak sederhana itu merupakan sample kesempatan (probability sampling), sehingga hasilnya dapat dievaluasi secara obyektif. Terpilihnya tetap satuan elementer ke dalam sample itu harus benar-benar berdasarkan factor kebetulan (chance), bebas dari subyektivitas penelitiatau subyektivitas orang lain.
Ada dua metode pengambilan sample acak sederhana, yaitu:
1. Dengan pengundi unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer dalam popilasi.
Terlebih dahulu semua unit penelitian (unit elementer) disusun dalam daftar kerangka sampling (sampling frame), kemudian dari kerangka sampling ditarik sebagai sample beberapa unsure atau satuan yang akan diteliti. Dalam hal ini pengambilannya harus dengan cara undian sehingga tiap unit punya peluang yang sama untuk dapat dipilih. Misalnya setiap nomor unit penelitian dalam daftar kerangka sampling ditulis dalam secarik kertas. Kertas-kertas tersebut kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam sebuah kotak. Setelah dikocok, sejumlah gulungan kertas diambil sesuai dengan jumlah sample yang direncanakan. Nomor-nomor yang terambil, menjadi unit elementer yang terpilih sebagai sample.
Penggunaan cara ini tidak praktis apabila populasinya besar; karena a. Hampir tidak mungkin untuk mengocok dengan seksama seluruh gulungan kertas undian, b. Manusia selalu cenderung memilih angka-angka tertentu.
2. Dengan mengundi table angka acak (random)
Cara ini dipilih karena selain meringankan pekerjaan, juga memberikan jaminan yang jauh lebih besar, bahwa setiap unit elementer mempunyai probabilitas yang sama untuk terpilih.















Sosial Research Methods By Lawrence Neuman

a. Ilmu Sosial Positivis
Positivist sosial science atau Ilmu sosial berfaham positivis disebut juga positivisme (positivism) adalah ilmu sosial yang mengadopsi pendekatan ilmu-ilmu alam (natural scinces). Positivisme mengasumsikan bahwa pendekatan positivis adalah ilmu, “the positivist approach is science” (Neuman, 2000:65) dan “there is only one logic of ‘science’ must conform” (keat dan Urry, 1975 dalam Neuman, 2000:66). Namun, sebagai teori tertua dalam ilmu sosial (Sarantakos, 2004:35) positivisme mengalami kemunduran makna (peyoratif).
August Comte adalah yang mula-mula memperkenalkan Positivisme dalam ilmu sosial melalui hukum tiga tingkatan/ tahap (the three stages), yaitu tahap teologik, tahap metafisik, dan tahap positivistik. Comte mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dalam melakukan pengamatan terhadap alam fisik dan dunia sosial untuk mengetahui hukum-hukum yang mengaturnya. Ilmu pengetahuan adalah rasionalitas (reasoning) dan observasi. Sedangkan Ilmu sosial adalah studi tetang kesatuan sosial yang lebih besar (sosial whole), bukan individu. Masyarakat adalah sesuatu yang primer dan konkret, dari pada personal individual (Gordon, 1991:289—293).
Positivisme Comte yang terkenal dengan fisika sosial yang masih berbau filsafat kemudian dikembangkan oleh Emille Durkheim (1858—1917) dalam ilmu sosial melalui buku The Division of Labour in Society (1893/1964) dan studinya tentang prilaku bunuh diri dalam buku Suicide (1897/1951). Selanjutnya, perkembangan positivisme sosial dikaitkan dengan teoritisi-teoritisi lain yang berfaham sama, meski berbeda “branch” seperti logical positivism, methodological positivism, atau neopositivism, atau dengan aliran-aliran pemikiran sosial lain, seperti fungsionalism dan exchange theory (Sarantakos, 2004:35) atau variasi positivisme yang lain, seperti “logical empirism, the accepted or conventional view, postpositivism, naturalism, the concering law model, and behaviorism” (Neuman, 2000:65).
Inti pokoknya, menurut Neuman (2000:66), ialah bahwa positivisme melihat ilmu sosial sebagai metode yang diorganisasikan untuk mengombinasikan logika eduktif dengan ketepatan observasi empiris pada perilaku individual dalam keteraturan untuk menemukan dan mengonfirmasikan seperangkat kemungkinan hubungan sebab-akibat yang dapat digunakan untuk memprediksi pola-pola umum aktivitas manusia. penelitian sosial, tidak lain adalah penjelasan ilmiah untuk menemukan dan mendokumentasikan hukum universal perilaku manusia, “to discover and document universal law of human behavior”.
Dalam konteks ini, apa yang ditulis Gordon (1991:302—304) ketika membahas kaitan antara positivisme Perancis dengan filsafat ilmu layak untuk dikutip. Dia mengtakan bahwa ada beberapa perbedaan proposes yang perlu diperhatikan dalam ilmu-ilmu sosial positivis sebagai berikut.
1. Ilmu sosial mesti meniru metodologi ilmu-ilmu alam apa adanya. Ini sebenarnya kurang tepat. dalam ilmu-ilmu alam (fisika, biologi), secara epistemologis, ilmuan bekerja dengan cara yang bervariasi untuk menemukan dunia yang objektif. Ilmuan sosial bekerja with only moderate ingenuity would have no difficullty in finding research.
2. Studi ilmu-ilmu alam bersifat kualitatif dan penelitian sosial yang saintifik juga bersifat kualitatif. Tingkat kesalahan data kuatitaif dalam ilmu alam dan ilmu sosial berbeda.
3. Pada tahun-tahun belakangan, seperti ilmu ekonomi, ilmuan sosial menggunakan model matematika dan kadang isi proposisi keilmuannya dirumuskan dalam kalimat matematika. Padahal, korpus data ilmu alam dan sosial berbeda.
4. Di antara profesional filosof, lebih melihat any of the above is that are valid general principles of epistemology which are applicable to all fields of empirical investigation, and the significance of the natural science but that they exemplify them most clearly.
5. Sudut pandang lain ilmu sosial adalah bahwa it can achieve true scientific status only by basing itself substantivey upon the finding of biology. Perilaku manusia dan fenomena sosial diatur oleh kesadaran biologis manusia, sehingga ilmu-ilmu seosial juga dikembangkan sebagamana ilmu biologi.
6. Akhirnya, pandangan yang konprehensif melihat bahwa fenomena sosial diatur oleh hukum-hukum umum dan tugas ilmuwan sosial adalah menemukan hukum-hukum tersebut.
b Landasan Dalam Realitas Sosial Positivis
Sebagaimana ditulis Sarantakos (2004:36) positivisme mendefinisikan realitas sebagai sesuatu yang dapat dinyatakan/jelaskan melaui pikiran/akal sehat (sense), sealitas itu ada di “luar sana” bersifat independent (dari kesadaran manusia), objektif, berada dalam keteraturan, terjag dengan ketat, alamiah dengan hokum-hukum yng tidak mudah berubah, dan dapat dibuktikan melalui pengalaman.
Realitas sosial itu, sebagaimana realitas fisik, dalah nyata (real), eksis (ada) di “luar sana” dan menunggu untuk ditemukan (Neuman, 2000,67). Lebih lanjutnya Neuman menulis bahwa positivisme itu dibangun atas dua sumsi berikut. Pertama, realitas sosial itu nyata (real), “out there, not random”, terpola, dan tertur. Tanpa asumsi ini (misalnya terjadi chaos sehingga tak ada aturan yang bisa dipegang), maka logika dan prediksi adalah sesuatu yng tidak mungkin. Kedua, pola dasar realitas sosial adalah stabil dan pengetahuan tentang hal tersebut adalah penjelasan (additive). Ini berarti, aturan-aturan dalam realitas sosial itu tidak mudah berubah setiap saat. Bahkan dengan bahasa lain, keteraturan alam itu terciptakan dan sekalugis merupakan eksistensi Tuhan.
c Ilmu Sosil Berfaham Interpretif
Dimulai dari kerja Vico (1668—1744), Dilthey (1833—1911), dan yang terutama dan terpenting Weber (1864—1920) dengan verstehen-nya, ilmu sosial interpertif (juga disebut interpretatif) membangun pemahaman empatetik terhadap perilaku manusia (tepatnya: tindakan (individual) manusia) (Sarantakos, 2004:35). Sebagaimana dijeaskan Neuman (2000:70), menurut dilthey, terdapat dua tipe ilmu sosial (human science) yang berbeda secara fundamental, yaitu ilmu-ilmu sosial yang natural (Naturwissenshaft) yang berakar pada pemahaman empatetis atau verstehen (weber) dari pengalaman hidup manusia sehari-hari dalam setting sejarah yang spesifik. Weber mengatakan bahwa ilmu sosial memerlukan studi tentang tindakan sosial yang bermakna (meaningfull sosial action) atau tindakan sosial yang bertujuan (sosial action with a purpose). Jenis ilmu sosial yang kedua itulah yang disebut sebagai ilmu sosial berfaham interpretif (interpretive sosial science).
Dalam pandangan ilmu sosial interpretif ini, pengalaman dan alasan personal, motif, dan perasaan-perasaan mendalam seseorang dalam kehidupan manusia sehari-hari menjadi pemandu penting bagi peneliti untuk bekerja. Dengan demikian, ilmu sosial bukanlah ilmu yang mencari dan menemukan hokum-hukum universal yang abstrak. Ilmu sosial mesti kembali pada kenyataan hidup sihari-hari dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan bermakna dalam kehidupan mereka. Untuk memahami realitas sosial tersebut, ilmu sosial interpretif sering menggunakan observasi partisipan dan riset lapangan. Bila positivisme berorientasi instrumental, pendekatan sosial interpretative berorientasi praktis.
Ilmu sosial interpretif ini kemudian secara signifikan berkontribusi pada interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, dan hermeneutic. (Sarantakos, 2004:35). Awalnya, hermeneutic memang menjadi teori yang penting tentang studi makna yang dilakukan ilmu sosial interpretif. Kemudian, ilmu sosial interpretif ini berkembang secara bervariasi, seperti hermeneutic, konstruktivisme, etnometodologi, kognitif, idealis, fenomenologi, subjektivisme, dan sosiologi kualitatif (Neuman, 2000:71).
Pendek kata, pendekatan interpretative adalah analisis stematis atas tindakan sosial yang bermakna melalui observasi langsung terhadap masyarakat (people) dalam setting alamiah dalam keteraturan untuk samapai pada pemahaman dan interpretasi tentang bagaimana masyarakat mencipta dan menjaga dunia sosial mereka (Neuman, 2000:71)
d Landasan Dasar Realitas Sosial Interpretif
Teoritisi interpretative percaya bahwa realitas tidak ada di “luar sana” sebagamana diyakini kaum positivistic, tetapi ada didalam pikiran orang-orang (people). Realitas itu dialami secara internal yang berarti dikonstruksi secara sosial melalui interaksi dan diinterpretasikan melalui actor dan didasarkan pada definisi orang-orang yang mengalaminya. Realitas itu bukan objektif, tetapi subjektif, realitas adalah apa yang dilihat oleh orang-orang yang bersangkutan (sarantakos, 2004:36). Dengan kata lain, pendekatan interpretative melihat kehidupan sosial manusia sebagai accomplishment (sesuatu pencapaian/prestasi) yang secara internasional diciptakan sesuai dengan tindakan-tindakan dengan makna tertentu pada keberadaan interaksi sosial (Neuman, 2000:72).
Ilmu sosial interpretif melihat bahwa realitas sosial tidak menunggu untuk ditemukan, namun dunia sosial adalah apa yang diyakini dan dialami oleh orang-orang yang bersangkutan. Kehidupan sosial itu ada sbagaimana orang-orang mengalaminya dan memberinya makna. Jadi, dunia sosial itu dicari dan dipecah-pecah (fluid and fragile). Orang-orang melihatnya melalui interaksi dengan yang lain dalam proses komunikasi dan negosiasi yang berjalan.
Karena pendekatan interpretif percaya bahwa kehidupan sosial itu didasarkan pada interaksi sosial dan system makna yang dikonstruksikan, maka bagi peneliti, realitas sosial didasarkan pada definisi orang-orang tentang realitas sosial yang dimaksud. Tidak seperti positivis yang mengasumsikan bahwa semua orang memilki system makna dan pengalaman yang sama, ilmu sosial interpretif mempercayai bahwa definisi orang-orang atas situasi mencerminkan bagaimana dia memberikan makna dalam kondisi yang berubah-ubah. Dengan demikian, pengalaman sosial dan realitas fisik orang-orang bisa sama, namun bisa juga tidak. Bisa dikaitakan secara ringkas bahwa ilmu sosial interpretif melihat realitas sosial sebagai “consisting of people who construct meaning and create interpretations thought their daily sosial interaction” (Neuman, 2007:72).
e Ilmu Sosial Berfaham Ilmu Sosial Kritis
Ilmu sosial kritis (critical sosial science) dengan versi lain, seperti metodologi dialektik, analisis klas, dan strukturalisme adalah alternative ketiga dalam memaknai metodologi yang bersifat campuran pendekatan nomotetis dan ideografis (Neuman, 2000:75—76) atau kombinasi dari teori konflik, sosiologi kritis, dan marxisme dan feminisme (Sarantakos, 2004:36). Dikatakan campuran atau kombinasi karena menolak positivisme dan sekaligus juga tidak menerima beberapa butir penting ilmu sosial interpretif. Memang, ilmu sosial kritis sering dikaitkan dengan teori konflik, analisis feminis, dan psikoterapi radikal, serta teori kritis yang semula dikembangkan di frankfrut school Jerman.
Dikembangkan oleh marx (1818—1883) dan Freud (1856—1939) lalu diikuti oleh Adorno (1903—1969), Fromn (1900—1980), dan Marcuse (1898—1079), belakangan ilmu sosial kritis juga dikembangkan oleh Habermas (1929--), Fraire, dan Bourdieu. Pierre Bourdieu, misalnya menggunakan pendekatan yang antipositivisme dan anti interpretative. Dia menolak pendekatan yang objektif, seperti pendekatan kuantitatif-empirik, juga menolak yang subjektif seperti pendekatan voluntaristik. Menurut Bourdieu, peneliti sosial mesti relative dan selalu bersifat politis (reflexive and necessarily political).
Ilmu sosial kritis sepakat dengan ilmu sosial interpretif yang mengkritik positivisme yang tidak memperhatikan makna nyata bagi orang-orang dan kapasitas perasaan dan pikiran orang-orang tersebut sehingga mengbaikan konteks sosial dan bersifa ahumanis. Termasuk juga positivime yang melanggengkan stasutquo. Namun, ilmu sosial kritis juga mengkritik ilmu sosial interpretative yang pendekatannya terlalu subjektif dan relativis. Bagi ilmu sosial kritis, pada umumnya, ilmu sosial adalah “critical process of inquiry that goes beyond surface illusion to uncover the real structures in the material world in order to help people change conditions and build a better foe themselves (Neuman, 2007:76).
f Landasan Dasar Realitas Sosial Kritis
Dengan cara pandang yang berbeda, teori sosial kritis melihat bahwa realitas diciptakan “not by nature but by the people” (Srantakos, 2004:36). Ini tidak berarti tindakan individu, tetapi kekuatan orang-orang untuk memanipulasi kondisi dan membawa pikiran oang lain untuk menerima dan menginterpretasi cara mereka menginginkannya. Realitas dikonstruksikan oleh kekuatan untuk melayani/memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian, realitas tidak dalam keteraturan, tetapi konflik, ketegangan, dan kontradiksi, yang menghasilkan perubahan dunia secara konstan. Prespektif ini membedakan penampilan dan realitas (appearance and reality), apa yang ditampilkan bukanlah realitas karena tidak merefleksikan konflik, ketegangan, dan kontradiksi dan hanya didasarkan pada ilusi dan distorsi.
Menurut Neuman (2000:77), ilmu sosial kritis mengadopsi posisi realis, namun, sekaligus berbeda. Realitas sosial bukanlah sesuatu yang stabil/tetap dan tak berubah, melainkan selalu berubah dan perubahan itu berakar pada ketegangan, konflik, dan kontradiksi dari relasi sosial dan institusional. Paradoks ini disebut juga dengan dealektik. Dalam prespektif ilmu sosial kritis, perubahan sosial tersebut tidak selalu tampak dan bisa diobservasi karena duani sosial ini penuh ilusi, mitos, dan distorsi. Dengan demikian, realitas sosial itu meiliki multiple layers. Di samping surface reality (relitas permukaan), terdapat juga struktur dalam (deep structure) yang tidak bisa diobservasi secara mekanis.
Sebgaimana ilmu sosial interpretif, ilmu sosial kritis melihat bahwa realitas sosial itu berubah dan dubjek secara sosial menciptakan makna. Namun, penciptaan makna itu bukan pada level mikro interaksi-intersonal, tetapi nyata, relasi objektif, yang merupakan realitas sosial yang mapan. Dengan demikian, peneliti sosial kritis bersangkut-paut dengan situasi sosial dan tempat-tempat yang luas, level makro, dan dalam konteks histories (Neuman, 2000:78).
g Untuk Membedakan ketiga faham tersebut Neuman (2004: 85) membuat bagan berikut beserta penjelasnnya.

No Positivism Interpretive sosial science Critical sosial science
1 Alasan untuk penelitian Untuk menemukan hukum alam maka orang-orang dapat memprediksi dan mengendalikan peristiwa Untuk memahami dan menguraikan tindakan sosial Untuk menghantam hal-hal yang bertentangan dengan logika dan memberdayakan masyarakat ke arah perubahan secara radikal
2 Realitas sosial yang alami Kesetabilan (Stabe) yang ada pada pola atau sebuah perintah yang seblumnya sudah ada dapat ditemukan Definisi suatu situasi yang diciptakan oleh interaksi manusia Konflik yang diisi dan yang diatur oleh struktur dasar yang tersembunyi
3 Alam manusia Ketertarikan pribadi dan individu rasional yang dibentuk oleh kekuatan luar Mahluk sosial yang menciptakan makna secara konstan yang bisa dipertimbangkan pada dunia mereka orang-orang Kreatif, adaptip dengan potensi tidak direalisir, menjerat dengan penghisapan dan ilusi
4 Peran akal sehat dengan jelas membedakan keabsahan ilmu pengetahuan teori sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang kebanyakan Kepercayaan palsu yang menyembunyikan kekuasaaan dan kondisi obyektif
5 Teori "kelihatan seperti" Suatu hal yang logis, yang memakai deductive yang saling berhubungan dengan definisi, aksioma, dan hukum Suatu uraian bagaimana suatu sistem kelompok dihasilkan dan didukung Suatu kritik yang mengungkapkan kondisi-kondisi benar dan membantu masyarakat lihat [jalan/cara] [bagi/kepada] suatu dunia lebih baik
6 Suatu penjelasan yang adalah benar Hubungan yang logis antara hukum/ peraturan yang berdasarkan atas fakta Merasakan apa yang sedang dirasakan oleh meraka yang sedang dileajari Menjadi alat untuk bagi mereka yang ingin merubah dunia
7 Bukti baik Berdasarkan atas pengamatan bahwa (orang) lain dapat mengulanginya Menempel pada interaksi sosial yang cair Diinformasikan oleh teori yang tak terselubung oleh ilusi
8 Tempat bagi nilai-nilai Ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, dan nilai-nilai tidak memiliki tempat kecuali ketika memilih suatu topik Inilai adalah bagian dari kehidupan sosial. Tak ada kelompok yang salah, hanya berbeda saja Semua ilmu pengetahuan harus dimulai pada posisi nilai, yang bisa benar, bisa pula salah

Metodologi penelitian sosial menurut Neuman (2000: 85) didasarkan pada tiga pendekatan yang berbeda asumsi secara filosofi tentang tujuan ilmu dan realitas sosial alamiah. Ketiga pendekatan tersebut adalah positivism, interpretive sosial science, dan critical sosial science. Seorang peneliti yang menggunakan pendekatan positivist mengemukakan hipotesis deduktif dari teori umum tentang hubungan mayoritas-minoritas. Teori yang mendasari biasanya merupakan pernyataan kausal atau prediksi. Peneliti yang menggunakan pendekatan interpretif mengamati kelompok orang tertentu yang digunakan untuk mempelajari apa yang dirasakan kelompok sebagai fokus penelitian. Critical sosial science memulai penelitian dengan melihat sosial yang lebih besar dan pada konteks sejarah. Berbagai teknik yang digunakan dalam penelitian sosial didasarkan pada asumsi pendekatan yang berbeda.
Inti setiap penelitian terletak pada perspektif pertanyaan penelitian dan bagaimana pertanyaan tersebut dapat diterima sebagai eksplanasi. Berbagai pertanyaan tentang organisasi dipandang sebagai suatu perspektif normatif. Untuk menyeleksi persepsi tersebut, orang menganalisis permasalahann dengan cara yang berbeda-beda.
Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib hukum. Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat. Dalam hal ini, positivisme menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui: pertama, verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal); dan kedua, penemuan lewat logika (rasional).
Pendekatan metodologi yang positivis antara lain: empirisme, rasionalisme, behavioristik, behavioral, struktural, fungsionalisme, mekanistik, deterministik, reduksionis, sistemik, dan lain-lain. Metode peneltian komunikasi yang tercakup dalam paham antara lain: model mekanistis, model komunikasi Shannon dan Weaver, pendekatan behaviorisme, analisis isi klasik-kuantitatif, dan lain-lain.
Komponen-komponen pokok teori dan metodologi positivis adalah sebagai berikut:
Metode penelitian: kuantitatif
Sifat metode positivisme adalah obyektif.
Penalaran: deduktif.
Hipotetik













Transkrip Wawancara
Nama Pewawancara : Drs. H.Izzat Abidy, M.Ag
Subyek Wawancara : Dra. Hj. Noer Endah Nizar
Alamat : Jl.Karangrejo Timur I No. 33 Wonokromo Surabaya


Bisa diceritakan latar belakang Anda sebagai ibu rumah tangga yang sekaligus menjadi anggota legislative?
Assalamualaikum..Terima kasih saya sampaikan. Mungkin untuk mengawali tatap muka atau wawancara kita bahwa tadi telah diperkenalkan nama saya berikut bahwa saya sudah dijelaskan tugas dan kedinasan saya. Kemudian dari harapan pertama tadi, kenapa saya selain menjadi ibu rumah tangga masih juga kemudian masih juga kerja atau melaksanakan… e.. amanah rakyat yang didudkung oleh parpol. Dan parpol tersebut diremokememdasi oleh ormas masyarakat.
Jadi Ibu dulu aktif di ormas masyarakat?
Saya sejak kecil memang mulai tingkatan pelajar, pemudi, mahasiswa, sampai ke LSM, yaitu Muslimat Nahdlatul Ulama.
Berarti tingkat organisasi ibu sudah mulai awal sudah mempunyai basic, dan menjadi anggota dewan bukanlah hal yang baru atau aneh?
Insya Allah begitulah. Apalagi di di DPR ini saya ada atau duduk diamanati untuk melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan kesra, kesejahteraan masyarakat. Di antara kesejahteraan masayarakat itu antara lain yaitu pendidikan, kesehatan, sosial dan lain sebagainya. Jadi itu semua. Jadi seakan-akan saya meneruskan langkah pada saat saya masih berada di organisasi Muslimat NU yaitu keagamaan dan kemasyarakatan. Saya merasa e…nyaman untuk betul-betul bisa membantu masyarakat memperjuangkan, mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat dalam berbagai masalah.
Dengan penugasan anda di legislative, apakah tidak ada halangan dari keluarga?
Untuk melangkah kesana, saya selalu minta izin kepada suami. Mulai awal saya berjuang, pada saat anak-anak saya masih kecil, masih kecil-kecil…saya tidak boleh bekerja kecuali mendidik anak-anak saya sendiri. Karena pada saat itu saya juga mengajar. Jadi saya guru mulai dulu.
Jadi, berhadapan dengan orang sudah biasa ya bu?
Insya Allah seperti itu..
Anda tadi mengatakan bahwa Tupoksi ada keterkaitan antara kesra mulai pendidikan dan kesehatan, dlsb. Yang tentunya saya garap ini Bu….Lalu, bagaimana pandangan Anda tentang masa depan pendidikan kita?
Masalah pendidikan ini betul-betul masalah yang sampai saat ini kita belum mencapai target yang diharapkan, yang disepakati bersama. Saat ini pendidikan baru memenuhi tidak sampai 25% dari target. 20%. Jadi mungkin masih sepertiga dari yang betul-betul telah kita peroleh.
Apakah terhambat dengan anggaran?
Saya kira juga begitu. Anggaran yang selama ini kita perjuangkan selama ini. Pendidikan yang sangat amat membutuhkan anggaran yang cukup besar dari anak dini usia, dari TK, SD, SMP, SMA, dan sebagainya itu sudah menjadi garapan kami. Sehingga kami tidak bosan-bosan saat hearing dengan pemerintahan propinsi yang menangani bidang pendidikan. Kami selalu mengejar kenapa dan apa yang sedang diperjuangkan oleh pemerintah.
Selain anggarn, yang sering datang yang berkaitan dengan tugas kesra itu sendiri?
Sebelumnya saya jelaskan dulu tupoksi dari DPRD Prov Jatim. Adalah pertama legislasi, yang kedua kedua bank dana atau budgeter, dan yang ketiga adalah monitoring. Ketiganya selalu harus selalu kita kerjakan sebagai amanah dari konstituen dan rakyat yang selalu harus kita perjuangkan.
Banyak sekali permasalahan yang muncul, terutama pendidikan. Yang terakhir adalah masalah Unas. Itu sempat kacau di pada saat mengumpulkan kabupaten dan kota dalam membahas musyawarah tentang hal ini. Sehingga sampai sekerang beleum menemui, mendapatkan kesepakatan. Ada yang pro dan kontra. Sehingga sampai sekarang sepertinya belum mendapatkan kesepakatan. Meskipun pemerintah masih terus melakukan….tetapi di bawah masih belum nenerima Unas ini, terumata di daerah-daerah kecil. Tentu materi yang mereka terima tidak seperti materi yang diberikan di kota-kota besar.
Kalau pendidikan seudah sedemikian kacau, lalu bagaimana nasib anak-anak didik kita?
Dalam hal ini perlu saya sampaikan, di samping kasus atau harapan tentang Unas. Disamping itu banyak juga yang berhasil, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Yaitu pemerintah memberikan dana operasional sekolah pada semua siswa siswi diberikan BOS. Itu antara lain. Kemudian tidak hanya Dinas P dan K, tapi Depag pun juga diperjuangkan untuk bisa tidak ada diskriminasi antara keduanya. Ini yang kita perjkuangkan. Rupanya antara provinsi dan kabupaten/kota selalu mengadakan koordinasi, dan kita mengusahakan dana itu sharing, mulai dari provinsi hingga kabupaten/ kota.
Dengan kondisi anak didik kita yang sampai saat ini banyak sekali penyimpangan perilaku, misalnya kenakalan remaja, yang dihasilkan karena nilai-nilai pendidikan yang mereka dapatkan di sekolah, apalagi di keluarga tidak mereka dapatkan, bagaimana menurut ibu?
Jadi dalam hal ini merupakan keprihatinan pendidik, orang tua dan juga masyarakat. Jadi karena dalam UU UU 23/2002 tentang perlindungan anak, sudah jelas sekali bagaimana hak dan kewajiban anak. Disitu jelas sekali bagaimana kewajiban dan tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat, serta juga yang tidak bisa lepas adalah tanggungjawab orang tua. Jadi saling terkait antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat.
Kalau orang tua sendiri perhatian terhadap pendidikan sang anak sangat kurang, apakah itu menjadi salah satu factor yang menyebabkan penyimpangan perilaku tadi?
Saya kira bagi orang tua yang merasa SDM-nya rendah, bisa diusahakan tidak mengajar sendiri, tetapi mencari guru untuk memberikan pendidikan kepada anaknya. Jadi selain disekolah anak-anak pun juga harus kita dididik di rumah. Tentang keagamaan, kemasyarakatan, moral, akhlak dan budaya.
Itu lebih penting dari pada peningkatan SDM?
Moral itu harus…
Pendidikan itu terkait erat dengan peningkatan penyimpangan perilaku anak. Karena dengan kurang mendapat pendidikan formil. Mereka akan jauh dengan nilai dan norma yang berlaku di masayarakat. Pendapat Ibu?
Menurut saya tidak cukup hanya dengan pendidikan formil. Jadi pendidikan itu saling terkait. Misalnya di rumah, meskipun orang tua kurang berpendidikan tetapi dalam hal memperjuangkan anak ini harus diperjuangkan dengan sebaik-baiknya. Jadi kemesraan kenyamanan keluarga yang ada di rumah itu sangat membantu. Contoh keteladanan dari orang tua itu sangat terkait. Jadi bukan kemudian anak itu tidak bisa meningkatnkan SDM-nya. Banyak sekali contoh-contoh yang orang tuanya hanya jualan tempe, tetapi anaknya menjadi professor. Nah itu kenapa? dan itu yang harus kita cari diteliti bagaimana bisa melakukan cara-cara demikian itu.
Kalau lebih luas lagi, Keluarga menjadi salah satu faktor terpenting dalam proses perkembangan mental spiritual anak sendiri. Saya contohkan, keluarga kurang mengajarkan nilai-nilai moral agama, orang tua terlalu sibuk dll. Sikap orang tua dalam mendidik juga kurang tepat.
Saya akan menambah jawaban pertanyaan tadi yang kurang sempurna. Jadi mengapa saya yang notabene seorang ibu seusia seperti saya yang sudah lansia, 63 tahun. Jadi saya menungggu sampai anak-anak saya sudah dewasa, karena saya dituntut oleh hati nurani saya juga keluarga., kenapa mendidik orang tetapi anak sendiri kok tidak tidak dididik.
Jadi saya dulu tidak jadi PNS, saya tenaga sukarela. Saya jadi pekerja sosial kemasyarakatan yang hal itu betul-betul menuntut keikhlasan di dalam mendidik, di dalam menata rumah tangga dan memperjuangkan pendidikan anak–anak dan kemasyarakatan.
Di samping faktor keluarga, berarti faktor lingkungan juga ikut membentuk jiwa sang anak?
Jelas, jelas itu sangat. Orang tua bisa memberikan keteladanan, jadi komunitas dalam keluarga itu harus betul-betul tertata, betul-betul diperjuangkan, karena tanpa perjuangan juga meskipun sebatas unit terkecil di negara ini tapi itu sangat membutuhkan perhatian, sehingga betapapun sibuknya orang tua tersebut tidak boleh meninggalkan kepedulian terhadap anak. Betapa sangat berpengaruh. Karena itu kita kalau di dalam agama Islam kita dengan pernikahan itu harus tercipta mawaddah wa rahmah, sehingga keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah itu insya Allah keluarga itu akan bisa menelurkan hasil yang baik yaitu bagaimana agama, bagaimana moral akhlak dari anak-anak jadi sangat terkait dengan pekerjaan orang tua. Kalau orangtua bekerja harusnya bagaimana, boleh-boleh saja memang itu antara lain untuk mencari nafkah untuk keluarga.
Tetapi kita harus bisa membagi waktu kita sebagai orang tua. Pekerjaaan dilakukan di kantor, di tempat kedinasan masing masing. Tetapi kalau di rumah harus bisa memperhatikan sebaik-baiknya apa kebutuhan anak, mulai dari hal yang terkecil sampai yang terbesar. Dan masalah pendidikan bagaimana kita lihat kita teliti perilaku anak ini bagaimana di rumah, bagaimana di masyarakat. Juga harus disempatkan berkoordinasi dengan pihak sekolah, dengan para gurunya. Jadi tidak bisa orang tua itu hanya pasrah bongkokan pada sekolah.
Jadi itu yang betul-betul akan mendapatkan hal yang positif. Kemudian masalah keutuhan keluarga. Saya katakan mawaddah sakinah wa rahmah. Keutuhan keluarga itu harus diprioritaskan betapapun permasalahan yang terjadi di dalam rumah tangga itu harus dicari solusi terbaik, agar keluarga menciptakan iklim yang harmonis kondusif sehingga yang tua menyanyangi yang muda, dan yang muda menghormati yang tua.
Adanya kasih sayang antara yang tua dan yang muda, Insya Allah keutuhan keluarga akan tercermin, akan menjadi suatu keniscayaan di dalam keutuhan keluarga.
Ada faktor-faktor lain?
Kehidupan beragama di keluarga. Ini hal yang sangat penting. Saya kira beragama apapun, bangsa Indonesia yang saya pelajari, tidak ada satu agamapun yang negative dalam masalah pendidikan. Moral, akhlak karimah. Jelas kalau di dalam Islam maslah akhlak karimah, budi pekerti itu harus betul-betul diupayakan. Karena kalau kita ingat nabi kita sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlaqul karimah. Sehingga kalau ada seorang muslim yang tidak bermoral, amoral, sangat dipertanyakan.
Kalau demikian ia akan tersingkir dari masyarakat. Sehingga ia tidak dihargai oleh masyarakat. Jadi hal ini betul-betul dasar atau prinsip beragama untuk anak-anak itu harus diberikan. Sehingga hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan itu pun harus....

Kalau berbicara kenakalan, kita tadi hanya berbicara dalam tataran normative, Toh kanakalan remaja menjadi penyakit atau patologi sosial yang terjadi di masyarakat. Kata Emile Durkheim, disebabkan oleh tidak berfungsinya organisasi keluarga itu sendiri. Lalu bagaiman riilnya kenakalan remaja itu sendiri?
Itulah permasalahan yang sampai saat ini itu tidak bisa lepas dari faktor yang saling terkait tadi.
Kalau kenakalan remaja itu artinya tidak bersifat negative, atau wajar-wajar saja. Asal jangan sampai menentang hukum atau terjerumus ke hal-hal negative. Maka komentar anda?
Itu kata orang yang barangkali kurang menyadari tanggung jawabnya. Jadi kalau orang tua berkata anak nakal itu biasa. Nah, memang kenakalan pada waktu kecil itu ada kenakalan posistif dan kenakalan negative. Kalau masih masa kanak-kanak, nakal itu tidak ada, artinya dalam hal ini bermain, kenakalan yang biasa saja. Bukan kenakalan yang meresahkan masyarakat.
Jadi dalam hal ini orang tua harus ada interaksi yang baik. Harus ada kepedulian yang baik, harus ada pendidikan agama yang kuat. Insyaallah dengan demikian anak-anak itu tidak akan melakukan perilaku menyimpang. Dikawal, di tata oleh orang rua.
Artinya kan, disini kalau tidak salah ada perbedaan antara kenakalan remaja. Ada satu sisi yang ibu katakan tadi atau dari sisi kebiasaan sehari-hari yang tidak menyimpang dari hukum. Artinya ada dua bagan yang bisa kita sebut. Bagaimana menurut anda?
Jadi, masalah pembahasan atau tinjauan dari segi hukum kanakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum. Yaitu yang dikatakan dalam buku yang ditulis oleh Singgih Sunarto (1988). Pada tahun itu sudah disebutkan bahwa kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam UU sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Kedua, kenakalan yang bersifat melanggar hukum, dengan penyelesaian sesuai dengan UU dan hukum yang berlaku. Sama dengan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang dewasa.
Bisa dicontohkan?
Menurut bentuknya, buku Sunarwiyati (1985) membagi kenakalan remaja itu dalam tiga tingkatan. Pertama, kenakalan biasa; seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. Itu merupakan kenakalan biasa. Meskipun ini kenakalan biasa kita harus mulai mengawasi dan mengawal. Orang tua itu misalnya mengawalnya dengan memberikan dongeng atau cerita bagaimana figur-figur yang berhasil di kehidupannya. Jadi, kita harus menjaga komunikasi dengan anak, dan menunjukkan kepedulian kita. Sehingga mereka yang sebelumnya suka berkelahi itu sebab-akibatnya apa. Sehingga kalau anak kecil diganggu syetan, iblis. Dengan sambil bergurau, anak insya Allah betul betul tidak akan keluyuran. Itu tidak akan terjadi jika orang tua selalu mengawal, bukan memarahi.
Ada contoh lagi?
Kedua, misalnya kanakalan yang menjurus pada kejahatan, dan pelanggaran hukum. Seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.
Kalau misalkan contoh-contoh tadi, sebelum ada contoh lain, ibu pernah nggak empati dengan kondisi riil sekarang?. Lalu kalau misalnya kondisi tersebut menimpa keluarga Anda?. Apakah ibu akan merasa bahwa ini tidak adil, bahwasannya saya sudah mendidik, akan tetapi yang terjadi kok seperti ini, apakah anda tidak empati?
Tentu saja kekecewaan saya merupakan keprihatinan orang tua, sudah dididik begini, sudah sering didekati, kok tetep saja. Kita harus meneliti kenapa dan ada apa dengan anak ini?. Kita juga bisa berkoordinasi dengan gurunya di sekolah. Itu juga perlu. Bagaimana pergaulan misalnya kalau ada karang taruna. Apalagi di karang taruna pun terjadi. Ada anak-anak yang nakal. Jadi sebaiknya kita teliti kondisi karang taruna itu. Apakah mengarah pada positif atau sebaliknya. Kita juga tidak boleh melepaskan itu.
Lalu yang ketiga adalah kenakalan khusus. Nah disini permasalahan kita yang sekarang harus kita perangi bersama. Seperti penyalahgunaan narkotika. Hubungan seks di luar nikah, pemerkosaan dan lain-lain. Kemudian masalah perkelahian yang sampai menyebabkan kematian. Itu semuanya betul-betul harus kita perangi. Kita tidak boleh nantinya mengeluh, menyesal. Sehingga kalau melihat gejala anak ini akan mengarah ke narkoba, disini kita bisa berkoordinasi dan meminta bantuan kepada pihak-pihak terkait.
Penyakit seperti ini kan juga merasahkan masyarakat. Bagimana mencegahnya itu dan fungsi keluarga?
Dalam keberfungsian keluarga itu memang hal yang harus dilakukan. Namun kadang-kadang ada keluarga yang sudah merasa melakukan dan memberikan fungsi keluarga yang sebaik-baiknya. Tetapi tidak berhasil karena katerlaluan dari anak yang bersangkutan. Dan itu tidak lepas daripada kehidupan anak mulai kecil.
Jadi seperti yang saya sampaikan tadi, kita harus mencari pihak ketiga. Dalam hal ini pemerintah sekarang sudah berupaya masalah kenakalan anak khusus. Misalnya dalam masalah narkoba. Dalam seminar-seminar, dalam kegiatan sekolah, di LSM-LSM itu sudah melakukan upaya bagaimana melakukan antisipasi jika terjadi hal itu. Misalnya dari Polda ada tenaga ahli yang khusus menangani masalah narkotiika ini. Jadi bagaimana jangan sampai anak kita melakukan penyalahgunaan narkotika ini.
Lalu mengenai peranan lingkungan, misalnya kawan dekat, tetangga, atau kampus, dalam membantu melakukan terapi kenakalan ini?
Saya katakana bahwa masalah lingkungan, keluarga, masyarakat dan pemertintah itu yang banyak mempengaruhi. Karena itu di dalam agama dianjurkan untuk carilah kawan yang baik. Dalam hal ini kadang-kadang anak kita kurang memperhatikan. Tanpa terasa bergaul dengan anak nakal,. Sehingga betapapun di rumah sudah dididik tetapi mereka sudah terlanjur terpengaruh hal-hal buruk dari kawannya tadi.
Ini banyak sekali terjadi. Jadi kita harus bisa mengkondisikan anak ini selamat di keluarga, selamat di lingkungan dengan pendidikan yang sempurna.
Lalu pengaruh media massa?.
Misalnya tontonan-tontonan. Kadang kita menyebut TV… kadang yang dicontohkan kejahatan kenakalan yang orang tua harus betul-betul mengatur bagaimana anak-anak kita mengikuti atau menonton acara-acara TV. Salah satunya dengan memberi mereka bacaan yang bermanfaat.
Di sekolah misalnya, pada suatu saat kita melakukan sebuah kurikulum atau pengawasan terhadap kondisi anak, meskipun di sekolah agama, kita harus tetap teliti, apa yang mereka baca. Kalau bacaan itu sampai mengganggu sekolahnya, itu juga harus diteliti. Karena itu guru harus melakukan waktu khusus pengawasan. Dan bagaimana bisa menyadarkan anak untuk mengkonsumsi bacaan yang tidak merusak..
Sebagai praktisi yang telah lama menggeluti bidang pendidikan, bagaimana hubungan sejak awal anak itu sekolah (formil), anak di keluarga, pengaruh lingkungan, media, apakah ibu pernah melakukan survey atau turun langsung ke lapangan?
Itu terlalu sering saya lakukan. Mulai di sekolah dasar, menengah hingga perguruan tinggi yang saya lihat dan saya perhatikan memang beragamnya permasalahan itu. Saya dalam hal ini saat mengajar mata pelajaran, saya tak hanya mengajarkan pelajaran, tetapi saya menyelipkan ajaran-ajaran yang bisa mempengaruhi anak. Meningkatkan, mengurangi kemalasan anak-anak. Pada anak-anak saya, saya masih ingat pada waktu tidur saya memberikan dongeng. Hingga mereka saat sudah dewasa masih ingat dengan inti dongeng tersebut, bahwa kita harus bisa berhati-hati di dalam terjun ke masayarakat. Di sekolah bagaimana yang saya lakukan. Itu semuanya saya sangat peduli dan mengkhawatirkan, sehingga kadangkala saya gelisah sendiri sebelum anak-anak datang dari sekolah. Saya gelisah sampai saat mereka keluar. Saya berpesan, kalau ada apa-apa tolong ibu diberi tahu sampai……komunikasi harus tetap lancar, kapan pun dan dimanapun. Apalagi sekarang dengan adanya teknologi kita lebih mudah menjalin komunikasi dengan anak.
Zaman telah berubah, selanjutnya teknologi ini disalahgunakan oleh anak didik kita. Tanggapan Ibu?
Jadi alat-alat canggih pun punya pengaruh positif dan negative. Kita melihat kondisi anak. Contoh saja, hand phone. Anak TK saja sudah mampu menggunkannya. Bahkan menyalahgunakannya. Jadi memang bagaimana kita membentuk keluarga yang sakinah tadi. Seisi rumah harus kita tata. Misalnya TV, bacaan. Kita teliti dan kita survey mereka. Alasannya kadang capek bu, buat refreshing. Sekarang kita tanya, "Kamu belajarnya berapa jam, kamu sholatnya berapa menit. Bercandanya berapa….Semua harus bisa dibagi waktunya. Proporsional untuk semuanya. Tetapi orang tua tidak boleh menyuruh dan memerintah saja, sebaliknya orang tua juga nggak boleh menolak kalau anak memberi masukan. Kita harus merespon. Karena dengan respon itu anak-anak akan merasa mendapatkan saya dapat kepercayaan dari orang tua. Itu sangat dibutuhkan dalam keluarga.
Tadi ibu sebutkan beberapa penanggulangan terjadap kenakalan remaja. Di samping UU tadi, langkah praktis oleh orang tua. Lalu ibu juga punya payung hukum yang lain. Dalam hal ini upaya pemerintah atau legislasi untuk meminimalisir kenakalan remaja ini?
Saya sampaikan di awal tadi, beberapa fakta kejadian. Seperti bagaimana kondisi yang terjadi pada orang kaya. Seringkali terjadi kekerasan oleh majikan pada pembantu rumah tangga. Oleh orang tua kepada anaknya, oleh suami kepada istrinya. Di keluarga miskin juga begitu. Tekanan-tekanan psikologis juga terjadi pada suami pada istri atau anak-anaknya. Masalah psikologis itu yang betul-betul sangat tidak kita harapkan dan tidak kelihatan terjadinya. Tetapi akibatnya sangat kejam. Kekerasan orang tua terhadap anak, misalnya status anak tiri, anak kandung, itu juga akan berakibat. Ada pembedaan anak tiri dengan anak kandung. Kemudian kekerasan suami terhadap istri. Kekerasan anak terhadap orang tua. Misalnya anak samapi memperkosa ibunya.
Berarti ini terkait dengan faktor keutuhan keluarga yang telah anda jelaskan di awal tadi?
Kemudian banyak juga faktor timbulnya kekerasan. Kekecewaan keluarga. Tuntutan yang melebihi batas-batas kepatuhan. Adanya perasaan dan nafsu menguasai. Dorongan nafsu rendah yang menimbulkan pelecehan seksual. Itu misalnya kekerasan orang tua terhadap anak bisa disebabkan kondisi anak yang tidak sepertti yang mereka dambakan. Kedua, kesayangan yang berlebihan, inipun tidak baik. Rasa sayang yang berlebihan yang mengimplementasikan rasa cintanya. Ini juga berakibat negative. Lalu tekanan ekonomi yang menggangu keseimbangan psikis orang tua dalam menghadapi tuntutan kebutuhan hidup yang tidak terjangkau.
Jadi tuntutan ekonomi bisa menyebabkan perilaku yang katakanlah kurang lurus?
Sudah jelas. Di dalam agama Islam kadal fakru ayyakuna kufron jadi kefakiran itu menjadikan kekufuran. Nah disini ekonomi kita perhatikan antara keluarga yang ekonominya sehat dengan keluarga yang ekonominya jauh dari cukup. Itu bisa kita lihat dari situ. Karena itu masalah ekonomi memang maasalah yang rumit, yang membutuhkan kepedulian dari orang-orang yang kaya. Apalagi yang terjadi sekarang korupsi yang ada di pihak-pihak orang kaya yang punya jabatan. Sehingga akan menimbulkan efek ketidakpuasan pada mereka yang ekonominya lemah.
Dari pemprov Jatim sendiri apakah sudah menuangkannya dalam payung hukum?
Alhamdulillah. DPRD Prov Jatim, khususnya di komisi E untuk membahas masalah KDRT, juga korban kekerasan anak. Dalam hal itu dianggap merupakan insiatif membuat raperda penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Sehingga pada 2005 disitu sudah disepakati tinggal ditindaklanjuti oleh Pergub. Jadi payung hukum itu kan dimulai dari UU. UU ini tidak bisa direalisasikan tanpa adanya peraturan daerah. Ini tidak bisa lepas dari perhatian dari provinsi setempat. Jadi masalah ini eksekutif dengan legislatif dalam hal ini mengadakan musyawarah-musyawarah dan bukan hanya dari eksekutif, melainkan juga dari LSM, pakar pendidikan, dari tenaga-tenaga ahli, kita ajak musyawarah bagaimana nantinya tercipta suatu peraturan daerah tentang penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
Bisa dijelaskan lebih rinci tentang perda tersebut?
Ini menjadi Perda nomor 9 tahun 2005. Jadi ini masih beberapa perda yang kita lahirkan.
Sampai sekarang belum ada revisi?
Jadi Perda ini tidak bisa disosialisasikan ke daerah tanpa adanya Pergub. Oleh karena itu pada saat kami melakukan seminar, sosialisasi, dalam hal perda hal ini tidak bisa sempurna. Kita menunggu agak lama Pergubnya. Sebab pro dan kontra tetap saja dibahas. Tetapi alhamdulillah bisa dilakukan, dilahirkan dengan Insyaallah hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan sangat dibutuhkan oleh terutama orang tua.
Poin penting apa di dalam perda tersebut yang menyangkut pembicaraan kita tersebut?.
Jadi dari asas perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan itu adalah penghormatan terhadap hak-hak korban, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi, kepentingan terkait bagi korban. Tujuannya adalah penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Itu memberikan perlindungan pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan yang terjadi di rumah tangga dan atau publik.
Jadi mau tidak mau kita akhirnya lari ke masalah gender juga ya Bu?
Terkait. Kalau kita menyinggung masalah gender, itu akan luas sekali. Jadi dari perda ini misalnya disebut hak-hak korban. Setiap korban berhak mendapatkan perlindungan, informasi, pelayanan terpadu, penanganan berkelanjutan, sampai hak-hak rehabilitasi dan penangan secara rahasia. Baik dari individu, kelompok, atau lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah. Setiap korban juga berhak mendapatkan pendampingan baik secara psikologis maupun hukum, serta mendapatkan jaminan atas hak-haknya yang berkaitan dengan statusnya sebagai istri, ibu, anak, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat.
Yang tidak bisa kita lepaskan juga yaitu kewajiban dan tanggungjawab pemerintah provinsi untuk melakukan upaya pencegahan terjadinya kekerasan yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi tentang kekerasan-kekerasan. Kedua, melakukan pendidikan tentang nilai-nilai arti kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ketiga, melakukan sosialisasi perundang-undangan tentang yang berkaitan dengan perlindungan itu tadi.
Keempat, melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan dan anak tadi. Nah untuk mengantisipasi terjadinya tindakan kekerasan pemerintah provinsi berkewajiban menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan bagi korban dalam bentuk. (1) mendirikan dan memfasilitasi terselenggaranya lembaga layanan terpadu untuk korban dengan melibatkan unsur masyarakat, (2) mendorong kepedulian masyarakat terhadap pentingnya perlindungan terhadap korban, (3) pemerintah provinsi dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud tadi adalah memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, suami, atau orang lain yang secara hukum bertanggungajawab terhadap korban.
Misalkan Perda tadi sudah disosialisasikan mulai dinas P dan K sampai ke sekolah-sekolah, tetapi ternyata pada akhirnya masih ditemukan jalan buntu yang menyebabkan perda ini sulit diaplikasikan secara optimal. Lalu, bagaimana perasaan atau beban Anda sebagai Ibu rumah tangga, dan tugas sebagai legislator?
Jadi memang dalam hal ini ada job description-nya. Untuk legislative itu kan kita hanya membuat legislasi. Jadi melahirkan Perda itu sekaligus memonitornya. Dalam pelaksanaan sosialisasi, itu (tugas) eksekutif. Jika di bawah masih terjadi hal itu, maka kita mengingatkan eksekutif sampai dimana (pelaksanaannya)?. Kadang-kadang jawabannya "terkait masalah dananya bu". Dana kan bisa kita usulkan dan kita rencanakan, dan kita dalam hal APBD harus ada khusus untuk melaksanakan Perda-Perda yang sudah ada.
Lalu bagaimana pandangan Anda sebagai ibu, jika tuntutan-tuntutan ini belum maksimal, apakah ini menjadi suatu keprihatinan yang mendalam?
Kalau saya, selain anggota legislative, sejak dulu saya adalah seorang guru. Dalam hal ini, saya selalu mensosialisasikan materi-materi ini ke masyarakat, misalnya dalam pengajian. Jadi, rasanya nggak sabar. Pada saat reses, misalnya, kami turun ke daerah pemilihan masing-masing. Disitu kami melakukan jaring aspirasi masyarakat. Disitu kita minta laporan dan masukan apa yang terjadi. Setelah itu, kami harus menindaklanjuti. Tidak hanya bertanya, menerima, tanpa memberikan masukan, tanpa melakukan sesuatu. Tetapi kami mengingatkan kepada pemerintah daerah setempat untuk melaksanakan ini. Mulai dari seminar-seminar, hingga masyarakat dapat mengerti dan memahami perda ini. Jadi, tentu saja bukan hanya sedih, kita betul-betul merasakan beban itu, kalau kita mendengar banyak hal yang menjatuhkan harkat dan martabat bangsa.
Yang mungkin bisa kita kita garis bawahi dari pembicaraan kita mulai awal hingga saat ini, usul atau masukan yang paling konkrit yang sekiranya menurut ibu yang paling manjur dan paling bisa diterima untuk menjadi suatu resep tentang penyimpangan atau kekerasan bukan hanya bersumber dari anak itu sendiri, tetapi juga bersumber dari hal-hal lain yang Anda sebutkan tadi?
Sebagaimana yang banyak saya sampaikan tadi. Yaitu saling terkait kiat meminta dan mengharapkan kepada seluruh bangsa Indonesia terutama kepada pemerintah, para elit, pada orang orang tua, pada para pendidik, untuk betul-betul mengawal anak secara baik dan ketulusan. Karena memberikan pendidikan tanpa ketulusan dan keikhlasan di situ gagal pendidikan yang diberikan oleh si pendidik atau orang tua. Jadi semuanya harus dengan ketulusan menjadikan anak orang terhormat, orang yang soleh, itu kita harus betul-betul dengan pengorbanan. Sehingga mulai dari dana, kepdeulian, kesempatan,pemrintah maupun orang yang kaya betul-betul ikut membantu. Misalnya ekonomi lemah, itu harus kita bantu. Para orang kaya, misalnya anggota DPR, insya Allah kita selalu mendapatkan dana yang harus diteruskan ke konstituen. Nah, dana-dana itu juga dalam rangka penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, sosial dan lain sebagainya. Jadi, kami mengharapkan kepada orang tua, betapapun sibuknya kita harus berjuang untuk bisa mencetak kader-kader keluarga, anak, generasi sehat yang tidak samapi terkena kekerasan-kekerasan, atau kenakalan remaja itu tadi.
Kalau misalkan masalah ini menimpa keluarga Anda, bagaimana Anda menyikapinya?
Itu yang betul-betul akan memakan pikiran. Jadi, kita harus menyadari bahwa semakin tinggi tingkat sosial keluarga, akan semakin rendah tingkat kenakalan remaja. Demikian sebaliknya. Jadi masalah ini bagaimanapun dari keluarga. Baik buruknya anak itu berasal dari keluarega itu sendiri. Kita tidak boleh menyalahkan anak. Kita harus melihat siapa orang tuanya, bagaimana pendidikan orang tuanya, bagaimana keteladanan orang tuanya. Jadi misalnya orang tua masih itru ada beda pendapat samapi ramai diantara keduanya, jangan sampai di hadapan anak-anak. Kita bisa melanggengkan, melestarikan keutuhan keluarga, kita harus bisa menekan hal-hal yang biosa mempengaruhi hal-ha yang negative terhadap anak kita. Sehingga mungkin tidak akan terjadi.
Artiinya kita tidak mengharapkan hal ini menimpa siapapun, juga kepada keluarga kita. Maka, Perda tersebut, kalau bisa saya katakan, merupakan salah satu faktor atau cara mengerem hal-hal seperti itu. Bagaimana menurut Anda?
Jelas kita sebagai manusia, kita wajib berusaha semaksimal mungkin. Melakukan pa yang mampu kita lakukan. Kalau kita sendiri tidak mampu melakukan, maka kita minta tolong pada pihak ketiga untuk membantu masalah ini. Kalau kita sudah berusaha, ya juga tidak lepas dari berdoa. Kita sebagai orang tua harus bisa mendoalkan anak-anak kita pada setiap saat kita berdoa minta kepada Allah mudah-mudahan anak-anak kita menjadi anak yang sholeh, anak yang baik, alim, pinter, berkualitas, terhormat, dan yang akan menjadi pemimpin bagi bangsa ini. Jadi, kita harus tetap berusaha. Mekipun akhirnya kita kembalikan pada Allah. Karena Dia, lebih tahu, lebih bijaksana dalam hal ini.
Dari wawancara yang kita lakukan ini, apakah ada manfaatnya untuk masyarakat, baik dari sisi metodologis, pengembangan dan penggalian informasi?
Tentu saja ini sangat bermanfaat dan sangat saya harapkan semua pihak melakukan hal seperti ini. Jadi koordinasi, komunikasi, menimba ilmu, mencari masukan-masukan, itui semuanya harus kita lakukan. Jadi, bukan hanya melakukan sebuah program yang tingkat elit, tetapi sampai ke bawah pun, harus peduli dalam hal ini. Betapa manfaatnya kita peroleh. Insya Allah.
Apa yang saran ibu bagi saya yang sedang menempuh program Doktoral ini?
Saran saya, kita tidak hanya melihat program doktor, tetapi kita meningkatkan pendidikan, meningkatkan belajar kita ini untuk mencari ilmu, dan mengamalkan ilmu itu sendiri. Jadi jangan hanya merupakan masukan sekedar ilmu, buku-buku tidak terbaca dan tidak terealisasikan kepada masyarakat dan keluarga. Jangan sampai terjadi. Kita harus berjuang dengan pengorbanan. Kita harus membuang jauh-jauh sifat malas.












III. Analisa terhadap hasil Wawancara
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk meninjau lebih lanjut permasalahan kenakalan remaja, kami sengaja mewawancarai ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai anggota legislative di DPRD Jawa Timur. Berdasarkan transkrip wawancara, kami menggunakan analisa kualitatif terhadap subyek penelitian. Hal ini untuk mengetahui bagaimana sudut pandang subyek penelitian terhadap fungsi keluarga sebagai salah satu organisasi social, sekaligus mengetahui pandangannya terhadap kenakalan remaja.
A. Latar belakang keluarganya
Subyek penelitian dibesarkan keluarga yang cukup agamis, hal ini tercermin dari latar belakanganya yang sejak muda menjadi aktivis di ormas keagamaan, "Saya, sejak kecil memang mulai tingkatan pelajar, pemudi, mahasiswa, sampai ke LSM, yaitu Muslimat Nahdlatul Ulama."

B. Pandangan Tentang Keluarganya
Latar belakang keluarganya, termasuk harmonis dan berlandaskan nilai nilai agama. Hal ini tercermin dalam kalimat "Kalau lebih luas lagi, Keluarga menjadi salah satu faktor terpenting dalam proses perkembangan mental spiritual anak sendiri." Lalu, "Jadi saya dulu tidak jadi PNS, saya tenaga sukarela. Saya jadi pekerja sosial kemasyarakatan yang hal itu betul-betul menuntut keikhlasan di dalam mendidik, di dalam menata rumah tangga dan memperjuangkan pendidikan anak–anak dan kemasyarakatan.
Berikutnya "Untuk melangkah kesana, saya selalu minta izin kepada suami. Mulai awal saya berjuang, pada saat anak-anak saya masih kecil, masih kecil-kecil…saya tidak boleh bekerja kecuali mendidik anak-anak saya sendiri. Karena pada saat itu saya juga mengajar. Jadi saya guru mulai dulu.

C. Fungsi keluarga
Baginya, fungsi keluarga harus dinomorsatukan dalam mendidik anak. Sebab, keberadaaan keluarga menjadi benteng moral dalam menjada anak. Komentarnya "Karena itu kita kalau di dalam agama Islam kita dengan pernikahan itu harus tercipta mawaddah wa rahmah, sehingga keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah itu insya Allah keluarga itu akan bisa menelurkan hasil yang baik yaitu bagaimana agama, bagaimana moral akhlak dari anak-anak jadi sangat terkait dengan pekerjaan orang tua. "
Subyek wawancara tampak menomorsatukan keberfungsian sosial keluarga, yang mengandung pengertian pertukaran dan kesinambungan, serta adaptasi antara keluarga dengan anggotannya, dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi soaial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.
Berikutnya ia mencoba menganalisa seandainya kasus kenakalan remaja menimpa keluarganya. "Jadi, kita harus menyadari bahwa semakin tinggi tingkat sosial keluarga, akan semakin rendah tingkat kenakalan remaja. Demikian sebaliknya. Jadi masalah ini bagaimanapun dari keluarga. Baik buruknya anak itu berasal dari keluarega itu sendiri. Kita tidak boleh menyalahkan anak. Kita harus melihat siapa orang tuanya, bagaimana pendidikan orang tuanya, bagaimana keteladanan orang tuanya. Jadi misalnya orang tua masih itru ada beda pendapat samapi ramai diantara keduanya, jangan sampai di hadapan anak-anak. Kita bisa melanggengkan, melestarikan keutuhan keluarga, kita harus bisa menekan hal-hal yang biosa mempengaruhi hal-hal yang negative terhadap anak kita. Sehingga mungkin tidak akan terjadi.




D. Pengaruh orang tua dalam mendidik anak
Menurutnya, orang tua harus diposisikan sebagai teladan. Dinatranya dengan menciptakan kondisi rumah tangga yang harmonis dan tenteram. "Jadi kemesraan kenyamanan keluarga yang ada di rumah itu sangat membantu. Contoh keteladanan dari orang tua itu sangat terkait. Jadi bukan kemudian anak itu tidak bisa meningkatnkan SDM-nya."
Labih lanjut, subyek penelitaian mengungkapkan bahwa kalaupun orang tua merasa memiliki SDM rendah, maka sebaiknya menyerahkan anaknya ke mereka yang memiliki kompetensi untuk mengajar dan mendidik anaknya. "Saya kira bagi orang tua yang merasa SDM-nya rendah, bisa diusahakan tidak mengajar sendiri, tetapi mencari guru untuk memberikan pendidikan kepada anaknya. Jadi selain disekolah anak-anak pun juga harus kita dididik di rumah. Tentang keagamaan, kemasyarakatan, moral, akhlak dan budaya."

E. Kenakalan Remaja
Dengan mengutipbuku karya Singgih Sunarto, subyek penelitian mengungkapkan bahwa kenakalan remaja terbagi menjadi dua. "Pada tahun itu sudah disebutkan bahwa kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar dalam UU sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Kedua, kenakalan yang bersifat melanggar hukum, dengan penyelesaian sesuai dengan UU dan hukum yang berlaku. Sama dengan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang dewasa."
Berikutnya subyek penelitian juga mengutip buku Sunarwiyati yang membagi kenakalan remaja itu dalam beberapa tingkatan. "Pertama, kenakalan biasa; seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit. Itu merupakan kenakalan biasa. Meskipun ini kenakalan biasa kita harus mulai mengawasi dan mengawal. Orang tua itu misalnya mengawalnya dengan memberikan dongeng atau cerita bagaimana figur-figur yang berhasil di kehidupannya. Jadi, kita harus menjaga komunikasi dengan anak, dan menunjukkan kepedulian kita. Sehingga mereka yang sebelumnya suka berkelahi itu sebab-akibatnya apa. Sehingga kalau anak kecil diganggu syetan, iblis. Dengan sambil bergurau, anak insya Allah betul betul tidak akan keluyuran. Itu tidak akan terjadi jika orang tua selalu mengawal, bukan memarahi.
Kedua, misalnya kanakalan yang menjurus pada kejahatan, dan pelanggaran hukum. Seperti mengendarai mobil tanpa SIM, mengambil barang orang tua tanpa izin. Ketiga, kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll."
Di samping itu, kenakalan remaja, baginya juga diakibatkan oleh kondisi lingkungan sekitarnya "Saya katakan bahwa masalah lingkungan, keluarga, masyarakat dan pemerintah itu yang banyak mempengaruhi. Karena itu di dalam agama dianjurkan untuk carilah kawan yang baik. Dalam hal ini kadang-kadang anak kita kurang memperhatikan. Tanpa terasa bergaul dengan anak nakal,. Sehingga betapapun di rumah sudah dididik tetapi mereka sudah terlanjur terpengaruh hal-hal buruk dari kawannya tadi. Ini banyak sekali terjadi. Jadi kita harus bisa mengkondisikan anak ini selamat di keluarga, selamat di lingkungan dengan pendidikan yang sempurna. "
Berdasarkan komentar di atas, menurut subtyek penelitian, proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang diserap. Dalam hal ini penulis menitik beratkan pada fungsi keluarga sebagai proses sosialisasi pada tahap awal.
Faktor media juga berperan penting dalam proses penyimpangan perilaku anak/ remaja. Katanya "……..orang tua harus betul-betul mengatur bagaimana anak-anak kita mengikuti atau menonton acara-acara TV. Salah satunya dengan memberi mereka bacaan yang bermanfaat.
Di sekolah misalnya, pada suatu saat kita melakukan sebuah kurikulum atau pengawasan terhadap kondisi anak, meskipun di sekolah agama, kita harus tetap teliti, apa yang mereka baca. Kalau bacaan itu sampai mengganggu sekolahnya, itu juga harus diteliti."
Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, diantaranya adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan hasil wawancara, peneliti bia mengambil beberapa inti hasil wawancara yang mempengaruhi perkembangan anak.
1. Pekerjaan Orang Tua
Hubungan antara pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan remaja. Untuk mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan pekerjaan orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi kebutuhannya.Bagi keluarga yang hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang mengarahkan pada kehidupan yang normative.

2. Keutuhan Keluarga
Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan remaja Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Namun demikian ketidakutuhan sebuah keluarga bukan jaminan juga karena ada mereka yang berasal dari keluarga utuh yang melakukan kenakalan bahkan kenakala khusus. Begitupun dengan tingkat interaksi keluarga mempengaruhi kenakalan remaja, bagi keluarga yang interaksinya baik maka pengaruhnya baik begitupun sebaliknya. Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus.

3. Kehidupan Beragama Keluarga
Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga sebaliknya.

4. Sikap Orang Tua Dalam Mendidik
Hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan. Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang tuanya otoriter overprotection kurang memperhatikan dan tidak memperhatikan sama sekali dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan anak.
Hubungan antara interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat kenakalan Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau harus berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya bagi keluarga yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak serasi.






Social Research Methods
Dibuat untuk tugas ujian akhir semester
Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pengampu : Daniel Sparringa Ph.D




Oleh : H. M. Izzat Abidy
NIM : 090710175D


PROGRAM PASCA SARJANA S-3 ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar