Sabtu, 18 Juni 2011

PANDANGAN PRIBUMI
TERHADAP ETNIS CINA

Diajukan dalam tugas mata kuliah Bacaan Politik
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ramlan Surbakti, PhD









Oleh : H.M. Izzat Abidy
NIM : 090710175 D
PROGRAM PASCASARJANA S-3 ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2 0 0 8

PANDANGAN PRIBUMI TERHADAP ETNIS CINA

A. Pendahuluan
Keberagaman bukanlah hal yang aneh lagi bagi masyarakat Indonesia. Sekurang-kurangnya terdapat 300 suku bangsa (Geertz dalam Sanjatmiko, 1999; Suryadinata, 1999) yang mendiami seluruh wilayah nusantara. Dari sejumlah golongan etnis (suku bangsa) tersebut secara umum bangsa Indonesia terbagi dalam dua golongan besar yakni golongan etnis pribumi seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Minang dan golongan etnis pendatang seperti etnis India, Arab, Eropa (yang diwakili Portugis dan Belanda) serta etnis Cina. Di bidang agama, setidaknya ada lima agama yang resmi diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha dan Hindu serta satu aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Suryadinata, 1999; Sanjatmiko, 1999). Kesemuanya itulah yang membentuk satu masyarakat yang masuk dalam wadah negara Republik Indonesia.
Untuk menjaga kondisi aman dan tentram dalam kemajemukan bangsa Indonesia diperlukan bentuk hubungan antarkelompok yang harmonis. Adanya toleransi antargolongan etnis dan antarumat beragama merupakan satu bentuk keharmonisan yang perlu dipertahankan. Akan tetapi beberapa waktu terakhir ini (setidaknya kurun waktu 1998 1999) banyak peristiwa yang amat memilukan. Contoh peristiwa yang mungkin masuk ke dalam halaman hitam dalam sejarah Indonesia adalah peristiwa kerusuhan 13 15 Mei 1998, konflik Maluku dan masih banyak lagi konflik yang berbau golongan. Pada peristiwa 13 15 Mei 1998 lalu memperlihatkan pengrusakan dilakukan terhadap segala bentuk kepemilikan atas nama etnis Cina (juga termasuk sarana umum yang dibangun oleh pemerintah).
Selepas Revolusi Kemerdekaan ketegangan hubungan antarmasyarakat pribumi dan nonpribumi terutama yang beretnis Cina kembali muncul. Keadaan ini muncul pada era Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Para politikus dan pihak militer terutama TNI AD yang antikomunis menaruh curiga adanya hubungan sebagian masyarakat etnis Cina dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Republik Rakyat Cina (RRC) yang pada masa itu (1950) sudah dikuasai Partai Komunis Cina (PKC). Kedekatan dan banyaknya masyarakat etnis Cina yang menjadi anggota Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan PKI serta hubungan PKI yang kerap membela kepentingan masyarakat etnis Cina menjadi indikasinya. Ini terlihat pada peristiwa anti Cina pada tahun 1959 1960 dan 1963 (Sukma dalam Wibowo, 1999).
Pemerintah Orba yang lahir pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 memutuskan bahwa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan masalah Cina yakni melalui proses asimilasi (Lan dalam Wibowo, 1999). Solusi ini juga dijadikan sebagai solusi nasional sebagaimana tercermin pada berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orba berkenaan dengan masyarakat etnis Cina. Semua dilakukan agar masyarakat etnis Cina dapat terasimilasi dengan baik dan prasangka buruk terhadapnya berkurang. Beberapa peraturan itu adalah keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/1966 mengenai pergantian nama sehingga mulai saat itu masyarakat etnis Cina harus memakai nama khas Indonesia bukan nama khas Cina. Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan dan adat istiadat keturunan Cina akibatnya setiap warga etnis Cina harus masuk dalam agama agama yang resmi diakui oleh pemerintah dan pagelaran seni seperti tari Barongsai dilarang dipertontonkan di depan khalayak umum (dicabut oleh pemerintah berdasarkan Keppres No. 6/2000). Peraturan lainnya seperti keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/1967 tentang kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina (Lan dalam Wibowo, 1999; Warta Kota, 20 Januari 2000; Kompas, 5 Februari 2000) turut memperkuat kebijakan asimilasi tadi. Hasil nyata dari beberapa peraturan tadi adalah berkurangnya tampilan budaya Cina dalam kehidupan sehari hari.
Dari sekian banyak tulisan, belum ada yang mengungkap secara eksplisit bagaimana sebenamya pandangan masyarakat pribumi terhadap masyarakat golongan etnis Cina pada umumnya. pandangan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai evaluasi menyeluruh seseorang tentang suatu kelompok sosial dalam dimensi yang global seperti positif negatif, baik buruk, disukai tidak disukai dan sebagainya (Esses, Zanna, Haddock; 1993). Dengan mengetahui pandangan masyarakat golongan pribumi terhadap masyarakat golongan etnis Cina, kita dapat mengetahui sejauh mana golongan etnis Cina dinilai positif atau negatif, baik atau buruk, disukai atau tidak disukai oleh golongan pribumi. Berangkat dari hal tersebut, kita dapat melihat apakah pandangan masyarakat terhadap masyarakat golongan etnis Cina cukup berperan dalam kesenjangan hubungan antara kedua golongan etnis tersebut. Dengan melihat keadaan yang terjadi dalam masyarakat yang menunjukkan adanya gejala pandangan tidak baik terhadap golongan etnis Cina. "Sebenarnya bagaimana gambaran pandangan masyarakat golongan pribumi terhadap golongan etnis Cina ?"

B. Pengertian Etnis
Koentjaraningrat (1990) antropolog Indonesia memberikan batasan sebagai berikut:
"Suatu golongan manusia yang terikat dalam kesadaran dan identitas akan kesatuan, kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tapi tidak selalu)diikatkan oleh kesatuan bahasa pula”
Sementara Tumin (dalam Gardner dan Aronson, 1968) mendefinisikan golongan etnis demikian:
"A collection of people considered themselves and by other people to have in common one or more of the following characteristics: a) Religion; b) Racial origin (as indicated by identitifiable physical characteristics); c) National origin; d) Language & cultural traditions," (hal. 3)
Jadi sebuah kelompok disebut golongan etnis memerlukan karakteristik karakteristik tertentu seperti agama, ras pribumi, wilayah dan budaya dan tradisi tersendiri.
Thompson (1991 dalam Baron dan Byrne, 1994) mengemukakan bahwa aspek aspek yang terkait dengan kelompok etnis adalah aspek fisik, aspek psikologis dan aspek sosial budaya. Menurutnya aspek fisik adalah mengenai rasa penerimaan diri atas atribusi fisik pada etnis atau ras seperti warna kulit, jenis rambut, dan bentuk fisiologis lainnya. Pada aspek psikologis hal ini menunjukkan rasa kepedulian pada komitmen pada kelompok etnis atau ras, termasuk rasa bangga pada keanggotaan dan tanggung jawab pada kelompoknya. Dan yang terakhir, aspek sosial budaya merupakan perwujudan tingkah laku individu terhadap masalah sosial budaya dan isu isu kemasyarakatan.
Sebagai perumpamaan dapat kita lihat pada kasus orang 3erman pada periode NAZIHitler. Orang Jerman memiliki wilayah tersendiri di benua Eropa. Mereka mempunyai bahasa khas yang berbeda dengan bahasa kelompok etnis tetangga (semisal Perancis, Polandia dan Checz Slovakia). Agama yang dianut sebagian besar etnis Jawa adalah Protestan (Perancis sebagai tetangga mayoritas Katolik). Kewilayahan dan tempat tinggal mereka ada dalam batas batas yang relatif jelas. Ketika Jerman memulai Perang Dunia II, NAZI Hitler menyatakan bahwa kondisi Jerman yang luluh lantak dalam hal ekonomi dan sosial adalah disebabkan oleh orang orang Yahudi. Mereka sebagai kelompok non jerman dianggap menggerogoti kehidupan orang Jerman. Perlahan isu yang dikembangkan NAZI Hitler untuk mendapatkan daerah diajukanlah pemikiran upaya perlindungan orang Jerman yang tinggal di Cekoslowakia dan menyatukan warga Jerman yang tinggal di Austria dengan orang Jerman yang tinggal di Jerman.





1. Wacana Etnisitas dalam Teori Sosial
Kajian tentang etnik sebagai sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bemuara pada ranah politik. Kajian aspek sosio politik tentang etnik ini pula yang belakangan disebut studi etnisitas (Bahar, 1995:139).
Perhatian dan pandangan terhadap wilayah kajian ini memang cukup berkembang dalam antropologi fisik maupun antropologi budaya. Namun demikian, telaah bersudut pandang sosiologis dan politik masih kurang berkembang. Kita bisa menyimak pendapat dari Bahar (1995:139), "... Kajian aspek politik dari etnik masih langka dan kurang menarik perhatian ilmuwan politik. Ada kesan bahwa dari segi politik, masalah etnik adalah masalah lampau".
Sementara menurut Berghe (1981:17), etnisitas disikapi dan dipandang sebagai gejala pramodern. Sebagai gejala pra modern, etnisitas merupakan limbah partikularime dan askripsi yang tidak sesuai dengan kecenderungan ke arah prestasi, univeralisme dan nasionalisme yang menjadi ciri utama masyarakat industri. Untuk memperjelas pernyataan tersebut Berghe mengatakan, "Ethnicity was seen as pre modem phenomenon, a residue of particularism and ascription incompatible with the trend toward achievemnt, universalism and nationality supposedly exhibited by industrial societies" (Berghe, 1981:17).
Hal senada juga pernah dikemukakan oleh Graetz dan McAllister (1984:75). Secara normatif, memang ada kecenderungan harapan agar sejalan dengan kemajuan teknologi dan integrasi sosio politik yang lebih besar, bayang bayang etnisitas sebagai kekuatan mundur ( declining force ), secara bertahap akan menghilang. Walaupun demikian, kecenderungan empirik.
Menunjukkan betapa masih kuat daya ikat etnik terhadap para anggotanya. Hal demikian seperti yang dikatakannya, " In the 1950s and early 1960, racial and ethnic identity was often viewed as a declining force in modem society. With technological advances and greater social and political integration, these vestiges of pre industrial society were expected to gradually disappear" (Graetz and McAllister, 1984:75).
Benarkah kenyataan dan persoalan etnisitas merupakan karakteristik masyarakat pramodern ? Apakah ada cukup bukti yang mendukung penyisihan atau pengabaian masalah etnisitas dari kajian ilmu ilmu sosial ?
Kita bisa menjawabnya dengan pendapat Bahar (1995:140). Ia menekankan bahwa masalah etnik yang dalam kehidupan politik lazim berada di latar belakang dan dipandang sebagai sekedar masalah masa lampau, sejak tahun 1970 an kembali tampil ke atas pentas politik. Didorong oleh berbagai kekecewaan berlarut dalam negara nasional, telah muncul gerakan¬-gerakan etnik yang mengajukan ragam tuntutan politik. Senada dengan itu, Toffler(1990:249 250) meramalkan bahwa masalah etnik akan berlanjut terus sampai abad ke 21.
Bukan tidak mungkin, etnisitas yang disebut sebagai fenomena pra modern ataupun kekuatan mundur ini menguat dan memicu berbagai pertikaian sosiopolitik. Sebab, tidak jarang kelompok kepentingan berdasar kesamaan etnik memiliki cenderung mengental dan menjadi salah satu pemicu disintegrasi social (Habib, 2004:17).
Disukai maupun tidak, realitas etnik ada dalam sebagian besar negara nasional. Menurut Koentjaraningrat (1993:3), dari 175 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), hanya 12 negara yang penduduknya relatif homogen. Karena itu, pengabaian terhadap masalah etnik dapat menyebabkan terjadinya gejolak sosio politik. Karena itu, secara praktispun kajian mendalam terhadap relasi antar etnik amat perlu dilakukan sebagai landasan pemikiran kebijakan integrasi sosial.
Lazimnya, berdasarkan ciri ciri utama biologisnya, umat manusia dikelompokkan ke dalam berbagai ras. Bila ras tersebut dikaitkan dengan kebudayaan mereka, maka terbentuk kelompok etnik. Karena itu, dari satu rasa yang sama, bisa terbentuk berbagai etnik. Setiap manusia pasti menjadi warga negara dari salah satu ras dan etnik. Dari latar belakang ras dan etnik itu pula, suatu masyarakat membentuk tipe kepribadian dasar, yang selanjutnya menjadi acuan bagi pembentukan kepribadian warganya (Linton, 1962:110 111).
Menurut Barth (1998: 1), kelompok etnik adalah suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai nilai budaya yang sama dan sadar akan kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan sendiri ciri kelompoknya, yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Sebagai pembeda satu sama lain, lazimnya suatu etnik mempunyai tanah leluhur ( homeland ). Adanya kebudayaan serta tanah leluhur sendiri merupakan ciri khas etnik yang membedakannya dengan ras.
Dalam konteks Indonesia , perbedaan kultural antar etnik yang relatif besar memang masih ditemukan, misalnya antara etnik Jawa dengan etnik Cina. Secara kultural, mayoritas rakyat Indonesia lebih intensif memperoleh pengaruh dari kebudayaan India dibanding dengan kebudayaan Cina. Padahal, antara kedua orientai budaya ini terdapat perbedaan cukup besar (Nakamura, dalam Bahar, 1995:148).
Pada dasarnya setiap kebudayaan hampir selalu memiliki sifat ethnosentris, tidak terkecuali budaya Jawa dan Cina. Ungkapan " ora lowo " (Tidak Jawa) yang sering disamakan dengan tidak berpengertian dalam masyarakat Jawa misalnya, mencerminkan ethnosentrisme Budaya Jawa. Demikian pula dengan kebudayaan Cina. Menurut Isaacs (1993:76), kepercayaan melekat terhadap keunggulan bangsa Han dan pandangan mereka yang menganggap orangorang non Cina sebagai orang biadab merupakan ciri ciri terkenal dari dasar pandangan orang Cina terhadap diri mereka sendiri.
Secara sosio ekonomi, posisi ekonomi yang kuat dari warga Indonesia keturunan Cina telah berhadapan dengan ketertinggalan warga negara Indonesia asli. Secara historis, posisi ekonomi tersebut berawal dari kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda yang menjadikan orang Cina sebagai kelas perantara (go between) ataupun kalangan menengah (middlemen).
Penduduk keturunan Cina telah dilihat oleh sebagian etnik Jawa sebagai orang luar (out group), tetapi juga menempatkan diri mereka sebagai orang luar. Badan badan usaha milik etnik Cina dinilai tidak pernah mempercayakan jabatan jabatan puncak manajemen kepada tenaga profesional yang bukan etnik Cina. Demikian pula, perkawinan campuran antara Cina dan yang bukan Cina amat jarang terjadi, terutama antara pria bukan Cina dengan wanita Cina. Dengan demikian, baik dalam segi sistem ekonomi maupun dalam sistem sosio budaya, secara umum etnik Cina tampak terpisah dari masyarakat lingkungan sekitarnya (Koentjaraningrat, 1993:16).
Mempertimbangkan gejala gejala tersebut, tidak mengejutkan bila hubungan laten antara etnik asli Indonesia dengan etnik Cina digambarkan sebagai "api dalam sekam". Kalau pada 1970 an terjadi huru hara anti Cina di beberapa kota besar di Jawa (Mackie, 1976:82 129), maka pada awal 1994 berlangsung aksi anti Cina di Medan ( Tempo, 30 September 1994).
Ketegangan antar etnik demikian, ternyata tidak hanya berlangsung pada tataran kesadaran kelompok, tetapi juga mengemuka pada tataran perilaku. Sebab, ada cukup laporan bahwa pada kerusuhan Mei 1998 pun ditengarai memuat kecenderungan untuk memusuhi etnik Cina (Wibowo, 1999:ix).
Secara substantif, kajian terhadap masalah etnisitas memang memberikan perhatian lebih besar terhadap bentuk interaksi konflik dan dalam konteks perkotaan. Begitu besar perhatian diberikan pada potensi konflik antar etnik di perkotaan, seakan akan hanya interaksi yang bersifat konflik sosial yang terjadi, dan hanya berlangsung di perkotaan. Padahal, pengamatan awal penelitian ini juga menemukan gejala interaksi kerjasama antara etnik Cina dan etnik Indonesia lain di daerah pedesaan.
Bentuk kerjasama itu antara lain berupa pemilikan tanah atas nama warga desa setempat, penyewaan tanah yang dikelola oleh warga desa, dan perkreditan dengan modal milik pengusaha Cina. Penyewaan tanah terutama dilakukan oleh warga desa yang tidak memiliki modal cukup untuk bersaing dalam pertanian komersial. Selain itu, sebagian warga desa tersebut juga lebih tertarik pada peluang kerja di luar sektor pertanian sehingga cenderung menyewakan tanahnya dan meninggalkan sektor pertanian. Sebagian lain lagi menjadi buruh di sektor pertanian komersial yang relatif membutuhkan moda lebih besar.
Masuknya pengusaha Cina bersama modal dan teknologi ke pedesaan, menimbulkan dampak baik positif maupun negatif bagi integrasi sosial dan pekembanan masyarakat desa setempat. Secara hipotetik, dampak positinya berupa pengalihan teknologi pertanian, tersedianya lapangan pekerjaan serta penularan sikap kewirausahaan. Sedangkan dampak negatifnya berupa kesenjangan sosial yang memicu kecemburuan sosial bernuansa etnik dan keagamaan.
Pertanyaan lain yang juga diajukan oleh para peneliti ilmu sosial berkenaan dengan hubungan antar etnik adalah: kondisi sosial apa saja yang menyumbang pada konflik antar kelompok? Terhadap persoalan ini, paling tidak ada tiga perspektif teori sosial yang lazim digunakan sebagai piranti analisis. Pertama, teori fungsionalisme yang secara tradisional mempertimbangkan kelas sosial dan status merupakan faktor yang lebih penting daripada persoalan ras dan etnisitas. Kedua, teori modernisasi dan pembangunan menegaskan bahwa pengelompokan manusia berdasarkan ras dan etnik akan menghilang ketika masyarakat dan pembagian kerja menjadi lebih rumit. Ketiga, teori teori Marxian yang menegaskan bahwa etnisitas merupakan bagian dari mode produksi pra kapitalis. Karena merupakan penghalang bagi munculnya kesadaran akan kepentingan sejatinya, maka model ini digunakan oleh elit kekuasan untuk memecah belah kelas pekerja.
Menurut Kleden (1999:152), permusuhan dan kekerasan terhadap sebuah kelompok etnis, seperti yang terjadi pada kelompok etnik Cina, tidak pernah bersifat murni etnik. Memang benar, perbedaan etnis, perbedaan budaya dan perbedaan ras bisa menimbulkan kesulitan berkomunikasi, tetapi tidak dengan sendirinya menimbulkan dendam antar etnik yang mendalam, yang membawa kepada kekerasan. Perbedaan budaya dan berkelainan etnik, paling mungkin hanya menimbulkan salah pengertian. Hubungan antar etnik baru menimbulkan permusuhan dan kekerasan kalau perbedan antar etnik yang satu dengan etnik yang lain disertai juga dominasi politik ataupun ekonomi oleh etnik yang satu terhadap etnik yang lain.
Hubungan dominasi itu sendiri pada dasarnya sudah mengandung suatu kekerasan struktural, karena tidak merupakan hubungan setara, melainkan ditandai oleh keunggulan dominan satu pihak dan ketergantungan pada pilhak lain. Kalau dominasi ini kemudian menimbulkan represi langsung oleh pihak yang kuat dalam bidang politik, atau perbedaan yang terlalu besar dalam penguasaan aset dan penghasilan ekonomi, maka cepat atau lambat akan muncul perlawanan dari pihak yang mengalami depresi atau ketergantungan. Menyusul kemudian konflik antara pihak yang menguasai dan pihak yang merasa dikuasai, yang apabila mengalami eskalasi, dapat berkembang menjadi kekerasan (Kleden, 1999:152 153). Masalah konflik antar etnik di Indonesia adalah masalah yang lebih banyak berhubungan dengan kebijakan pemerintah, dan bukannya masalah sentimen antar etnik. Sentimen etnik ini memang mudah ditiup tiupkan oleh pihak yang hendak mengambil keuntungan, karena perbedaan etnik relatif menjadi kriteria perbedaan kekuatan ekonomi, dan sampai tingkat tertentu, juga kekuatan politik.
Konflik antar etnik, khususnya di Indonesia , bukan merupakan masalah etnik semata, tetapi lebih menyangkut hubungan kekuatan ekonomi politik. Orang atau kelompok yang mempunyai kekuatan politik bisa mempertukarkan kekuatan politiknya dengan keuntungan ekonomi. Seballknya, pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi dapat mempertukarkan kekuatan ekonominya untuk mendapatkan perlindungan dan kemudahan politik. Kerjasama di kalangan kelompok kelompok dominan ini jelas menguntungkan mereka.
2. Pribumi dan Nonpribumi
Dapat dijelaskan bahwa terdapat dua golongan besar etnis di Indonesia yaitu golongan etnis pribumi dan golongan etnis pendatang (Eropa, India, Cina) (Sanjatmiko, 1999). Merujuk pada Turnin (1968) maka kelompok etnis pendatang merupakan kelompok etnis yang amat berbeda dengan etnis yang berada di wilayah Hindia Belanda (atau Republik Indonesia saat ini). Dalam penelitian ini yang akan disorot secara khusus adalah golongan etnis pribumi (yang selanjutnya disebut golongan pribumi) dan golongan etnis pendatang (selanjutnya secara khusus disebut golongan etnis Dina). Untuk memudahkan makna dan arti, bahwa yang disebut sebagai golongan pribumi adalah golongan masyarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia selain etnis Cina sementara golongan etnis Cina adalah golongan masyarakat yang memang keturunan Cina ataupun salah satu dari kedua orangtuanya berasal dari etnis Cina.
Seperti diketahui bahwa masyarakat etnis Cina bukanlah "etnis pribumi" seperti hainya bangsa Eropa. Kedatangan mereka di bumi nusantara diperkirakan pada abad ke 16. Kala itu di nusantara telah berdiri kerajaan kerajaan yang sudah melakukan kegiatan ekonomi antarwilayah kekuasaannya. Akan halnya perpindahan penduduk Cina di Nusantara juga merupakan akibat tak langsung dari kegiatan perekonomian. Pada saat itu perpindahan penduduk bukan berarti perpindahan keluarga layaknya transmigrasi keluarga petani Jawa ke pulau lainnya. Saat itu biasanya hanya kaum pria yang pindah ke rantau. Nantinya dalam perkembangan kemasyarakatan Indonesia, para perantau inilah yang disebut sebagai Cina peranakan. Disebut demikian karena setelah mereka menetap selama beberapa waktu, mereka akhirnya menikah dengan perempuan pribumi. Dan ketika mereka memiliki keturunan maka mereka disebut sebagai Cina peranakan.
Lain halnya dengan golongan Cina Totok. Diperkirakan mereka adalah para pendatang dari Cina pada kurun waktu akhir abad 19 sampai awal abad 20. Tujuannya pun berbeda. Jika pendatang gelombang pertama tadi datang karena masalah perdagangan maka untuk gelombang kedua berkaitan dengan masalah 06". Keadaan kekaisaran Cina waktu itu kurang menguntungkan bagi rakyatnya sehingga ada sebagian warganya yang pindah mencari tempat tinggal baru. Mereka ini datang bersama dengan keluarganya sehingga berbeda dengan saudaranya yang datang pada gelombang pertama ketika sampai di nusantara mereka secara fisik tidak mengadakan proses asimilasi. Dan karena mereka tetap mempertahankan gaya hidupnya maka mereka disebut sebagai golongan Cina totok.

3. Kondisi Mayoritas Minoritas
Hubungan antarkelompok memiliki banyak bentuk. Salah satunya yang akan dibahas adalah bentuk mayoritas minoritas. Sering kita mendengar kata mayoritas minoritas. Secara awam mayoritas dianggap sebagai "yang berjumlah lebih besar" dan minoritas berarti "yang berjumlah lebih kecil". Kinloch (1979, dalam Sunarto, 1999), sosiolog mencoba mendefinisikan konsep mayoritas minoritas dengan mengajukan pemahaman mayoritas sebagai:
" any power group that defines itself as normal and superior and others as abnormal and inferior on the basis of certain perceived characteristics and exploits or discriminantes against them in consequence. "
Berangkat dan pemahaman tersebut maka mayoritas berarti suatu kelompok kekuasaan. Kelompok tersebut menganggap dirinya normal sementara kelompok lainnya (yang oleh Kinloch selanjutnya disebut sebagai minoritas) dianggap tidak normal serta lebih rendah karena dinilai karakteristik tertentu (semisal fisik, budaya, tingkah laku, d1l.). Akibat dari anggapan itulah maka acapkali kelompok minoritas mengalami macam macam bentuk eksploitasi dan diskriminasi.
Sebagai tambahan bahwa kondisi mayoritas (yang ditandai dengan "kelebihan" kekuasaan) tidak senantiasa dikaitkan dengan jumlah anggota kelompok. Bisa saja ada kelompok kecil tapi menguasai kelompok yang lebih besar (baca Sunarto, 1999 dan Suryadinata, 1999).

C. Fenomena Hubungan Masyarakat Pribumi dengan Masyarakat Etnis Cina
Banyak fakta di tengah masyarakat yang menunjukkan hubungan antara masyarakat pribumi dengan masyarakat etnis Cina diwarnai oleh prasangka, ketegangan dan pertentangan. Kondisi ini sangatlah berbeda dengan stereotip bangsa Indonesia yang dikatakan relijius, mudah membantu sesamanya atau gotong royong, saling toleran, ramah penuh semangat kekeluargaan dan lain lain. Benih benih pertentangan sudah mulai disebarkan sejak zaman penjajahan Belanda, di mana pihak penguasa memberlakukan peraturan yang bertujuan untuk memecah belah masyarakat. Saat itu pemerintah kolonial memberlakukan kebijakan kebijakan yang diantaranya wijkenstelsel (1835) dimana warga etnis Cina ditempatkan pada satu tempat pemukiman, memberikan status yang lebih tinggi ketimbang masyarakat pribumi yakni sebagai golongan "Timur Asing" (status sosial ini terletak pada posisi kedua setelah golongan Eropa sementara masyarakat pribumi diletakkan pada posisi ketiga dengan sebutan inlanders).
Adapun kondisi seperti ini menimbulkan rasa perbedaan etnis, budaya dan sosial diantara kedua masyarakat ini (masyarakat pribumi dan masyarakat etnis Cina) semakin mengental. Terlebih dengan timbuinya perasaan superior di kalangan etnis Cina yang disebabkan karena perlakuan khusus terutama di bidang ekonomi seperti memberikan hak pada beberapa orang dari etnis Cina untuk menaikkan pajak atas rakyat pribumi dengan restu pemerintah kolonial. Belum lagi masalah pemukiman yang memang diatur berdasarkan etnis atau kelompok sehingga jurang pemisah antara dua kelompok masyarakat tersebut semakin lebar.
Akhirnya ketegangan yang ada di antara kedua kelompok ini meletus dalam beberapa konflik terbuka. Pada tahun 1911 timbul kegiatan anti Cina sebagai upaya masyarakat pribumi untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh masyarakat Cina di Indonesia (Husodo dalam Murti, 1999). Di lain waktu tepatnya tahun 1918 di Kudus terjadi huru hara anti Cina yang melibatkan beberapa pimpinan Serikat Islam (SI) (Suryadianata, 1992). Insiden ini dapat diredakan dengan persetujuan perdamaian antara pimpinan kedua golongan masyarakat tadi. Konflik lainnya yang turut mengisi lembar kelabu sejarah bangsa Indonesia adalah kerusuhan massal tanggal 5 Agustus 1973 di Bandung, tahun 1984 di Tanjung Priok Jakarta dan terakhir peristiwa kerusuhan 13 15 Mei 1998.
Tingkah laku kedua masyarakat ini di beberapa daerah di Indonesia menyimpulkan bahwa hubungan kedua masyarakat ini secara umum diwarnai oleh ketegangan rasa saling curiga. Ada juga yang menunjukkan bahwa persepsi masyarakat pribumi (terutama pemimpinnya) terhadap masyarakat etnis Cina cenderung negatif, dimana mereka dipersepsikan sebagai satu golongan yang berkuasa atas perekonomian Indonesia serta memiliki loyalitas yang tipis terhadap negara Indonesia dan cenderung berafiliasi ke negeri leluhurnya (daratan Cina).
Sehingga disimpulkan; Pertama, masyarakat Cina cenderung dianggap sebagai bangsa (ras) yang terpisah yakni bangsa Cina. Kedua, posisi masyarakat Cina yang diuntungkan dalam struktur sosial pada pemerintahan kolonial Belanda dimana mereka dimungkinkan untuk menjadi kekuatan ekonomi yang dominan. Ketiga, struktur sosial yang diskriminatif mengakibatkan mayoritas masyarakat etnis Cina mengidentifikasikan dirinya dengan bangsa Belanda. Keempat, masyarakat etnis Clina dilihat sebagai kelompok yang tidak mungkin berubah dan akan selau mempertahankan nilai nilai budayanya di manapun mereka berada. Dan yang terakhir, masyarakat etnis Cina dilihat sebagai kelompok yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri, khususnya kepentingan ekonomi (Sukma dalam Wibowo, 1999).
Fenomena masyarakat Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gambaran umum masyarakat pribumi di Malaysia. Kecurigaan dan ketidaksukaan antarkelompok etnis di Malaysia (Suryadinata, 1999) sedikit berbeda. Di sana ada semacam hukum yang secara eksplisit menjamin hak hak bangsa Melayu yang tidak dimiliki oleh etnis "pendatang" seperti Cina dan India. Maka tak heran jika pelaksanaan "diskriminasi" ini terasa lebih jelas (fair) dibandingkan dengan sistem yang berlaku di Indonesia yang secara teoritis tidak mengakui adanya diskriminasi tapi dalam pelaksanaannya justru dilakukan (Suryadinata, 1999).
Isu terpenting yang perlu dibahas di sini apabila kita berbicara tentang prasangka dan diskriminasi adalah stereotyping, yaitu suatu kecenderungan untuk mengidentifikasi dan mengeneralisasi setiap individu, benda dan sebagainya ke dalam katagori-katagori yang sudah dikenal. Stereotyping terhadap warga etnis Tionghoa di Indonesia, seperti yang kita semua telah ketahui, mempunyai akar sejarah yang panjang karena katagori-katagori yang kita kenal itu pada awalnya dibuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda, walaupun setelah itu masih terjadi proses modifikasi yang terus-menerus sampai hari ini.
Ada beberapa kategori dasar yang bisa kita diskusikan di sini. Pertama, katagori `asing’ yang melekat pada penggolongan warga etnis Tionghoa--bersama-sama warga etnis Arab dan India-- sebagai golongan Timur Asing. Kategori ini menempatkan warga etnis Tionghoa sebagai orang yang berasal dari luar atau pendatang yang berbeda dengan penduduk asli (yang oleh Belanda dikatagorikan sebagai Inlanders). Itu sebabnya mengapa sampai hari ini kita masih menghadapi persoalan asli versus pendatang, walaupun sebagian dari kita sudah berbicara tentang kewarganegaraan, tentang hak-hak yang sama dari setiap warga negara. Contoh yang paling jelas yang menggambarkan hal ini adalah penggunaan kata huaqiao atau Huakiao, yang artinya Orang Cina (di) Perantauan atau dalam bahasa Inggris Overseas Chinese, untuk mengacu kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia, walaupun yang bersangkutan sudah menjadi warganegara Indonesia. Kategorisasi inilah, yang pada babakan berikutnya menimbulkan labeling pribumi dan non-pribumi. Di berbagai media masaa, masih cukup banyak digunakan “non-pribumi” yang berasosiasi pada etnis Tionghoa.
Kedua, berkaitan dengan jenis pekerjaan yang umumnya digeluti warga etnis Tionghoa yang sejak semula cenderung ke arah perdagangan. Persoalan inilah yang membawa bias pandangan tentang warga etnis Tionghoa sebagai `economic animal’ yang seringkali kita dengar ketika pekerjaan yang mereka lakukan meluas pula ke bidang-bidang kegiatan ekonomi yang lain, seperti manufaktur dan jasa. Pandangan yang menganggap keahlian berbisnis sebagai salah satu karakteristik yang berhubungan dengan gen dan kultur warga etnis Tionghoa adalah salah satu turunan dari bias tersebut.
Maka, saat ekonomi Indonesia ambruk pada akhir 1998, segolongan kecil konglomerat Cina, yang dianggap menguasai ekonomi dalam negeri, dituduh sebagai penyebab krisis ini. Hubungan antar etnis (golongan Cina dan non Cina) kembali memanas. Masyarakat menganggap bahwa etnis Cina merupakan penyebab ambruknya tatanan ekonomi Indonesia, akibat ulah beberapa konglomerat hitam yang melarikan modal ke luar negeri. Di sini, menggunakan teori Simon Cosby, etnis Cina adalah yang dikambing hitamkan atas krisis tyang terjadi di Indonesia. Cosby menyebutnya sebagai masyarakat kambing hitam (scapegoat theory). Teori ini menyatakan, prasangka yang dilakukan seseorang selalu berdasarkan keyakinan bahwa dalam setiap masyarakat, selalu ada orang atau kelompok yang dikorbankan untuk mendapat perlakuan tidak adil (Liliweri: 2004, 228). Jadi, meminjam teori Cosby di atas, dalam realitas ambruknya ekonomi Indonesia, masyarakat Tionghoa telah dikambinghitamkan.
Ketiga, mengacu pada persoalan orientasi politik yang berkaitan dengan asal-usul warga etnis Tionghoa yang dihadapkan dengan kepentingan penguasa kolonial Belanda atas subyeknya (dalam hal ini warga etnis Tionghoa), dan dengan isu nasionalisme Indonesia yang sedang bertumbuh saat itu.
Sampai hari ini persoalan orientasi politik ini selalu menjadi masalah yang mengganjal dalam sikap penerimaan warga Indonesia lainnya atas status warga etnis Tionghoa sebagai Warganegara Indonesia yang disahkan oleh undang-undang (melalui kepemilikan SBKRI). Keraguan terhadap kesetiaan warga etnis Tionghoa kepada negara-bangsa Indonesia ini adalah salah satu bentuk prasangka yang masih belum bisa terhapuskan. Keraguan ini kian diperkuat oleh peristiwa tahun 1965 yang dikenal sebagai peristiwa G-30-S/PKI yang diduga didalangi oleh pemerintah RRC.
Kecurigaan terhadap orang Tionghoa sebagai `koloni kelima’ yang selalu bisa dimanfaatkan oleh RRC, dan ketakutan terhadap kemungkinan bersatunya semua orang Tionghoa di dunia yang pernah diserukan di Hongkong pada tahun 1990-an oleh para pengusaha asal etnis Tionghoa dari berbagai negara, adalah dua dari prasangka-prasangka yang masih ada di dalam pikiran sebagian warga Indonesia non-Tionghoa sampai hari ini, sehingga sepertinya sulit sekali untuk bisa melihat bahwa banyak juga warga etnis Tionghoa yang bisa setia kepada negara-bangsa Indonesia.
Proses depolitisasi yang dilakukan oleh Orde Baru, menimbulkan kecenderungan trauma politik bagi etnis Tionghoa. Hingga saat ini, hanya beberapa nama Tionghoa yang terjun ke dunia politik. Padahal, dulu negara kita memiliki politisi dan negarawan peranakan Cina. Tan Kiem Liong (menteri Urusan pendapatan, pembiayaan, dan pengawasan, anggota NU), Oei Tjoe tat (menteri Negara, anggota Partindo) dan David G. Cheng (menteri Cipta Karya dan Konstruksi), Oeng Eng Die (menteri keuangan, anggota PNI) dan Lie Kiat tang (Menteri Kesehatan, anggota PSII) (Suryadinata, 2002: 83). Sebelumnya, di zaman kemerdekaan ada negosiator ulung Tjoa Siek In yang menjadi delegasi perundingan USS-Renville, dan Sim Kie Ay sebagai anggota delegasi dan penasihat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) (Mahfud: 2007). Namun, ada beberapa nama tionghoa yang cukup representatif mewakili golongannnya untuk berkiprah dalam pemerintahan, seperti Kwik Kian Gie, Marie Elka Pangestu, dll.
Keempat berkaitan dengan perbedaan budaya, bahwa kebudayaan Tionghoa yang bersumber pada kebudayaan leluhurnya di RRC dianggap tidak pernah bisa bertemu dengan kebudayaan mayoritas warga Indonesia yang beragama Islam, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan makanan yang mengandung babi yang amat tabu bagi Muslim.
Lebih dari itu, meski jauh dari tanah leluhur, masyarakat tionghoa tetap memegang teguh adat istiadat leluhurnya mengenai agama dan tata susila. Kepercayaan yang biasa dikenal oleh masyarakat tionghoa yaitu agama Buddha, taoisme, dan konfusianisme (Hariyono, 1993: 19). Di Indonesia, terjadi semacam sinkretisme di antara ketiga kepercayaan tersebut yang kemudian dikembangkan oleh perkumpulan Sam Kauw Hwee atau yang biasa dikenal dengan Budha Tridharma (Gondomono, 1996:12).
Kelima, bertautan dengan proses kehidupan sosial. Tampaknya faktor terakhir inilah yang banyak menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat. Perbedaan segi fisik dan warna kulit, membuat proses pembauran yang sudah berlangsung sekian ratus tahun, masih mengalami hambatan. Secara sosial-ekonomi, posisi ekonomi yang kuat dari WNI keturunan Cina telah berhadapan dengan ketertinggalan warga Negara Indonesia asli (Habib, 2004 : 23).
Jurang perbedaan ini semakin lebar jika dikaitkan dengan eksklusif yang diperagakan beberapa orang Cina. Meski harus dipahami bahwa eksklusifitas ini hanya imbas dari pembatasan akses yang dilakukan oleh pemerintah masa lalu. Di bidang pendidikan, misalnya, masih tampak adanya kecenderungan elitisme yang diperagakan. Kampus-kampus elit yang berbiaya mahal, mayoritas didominasi oleh etnis Tionghoa, demikian biasanya anggapan sebagaian masyarakat.
Bidang olah raga hanyalah merupakan salah satu contoh kecil. Pada tahun 1940-an hingga akhir 1960-an banyak pemain sepak bola nasional beretnis Cina seperti Thio Him Tjiang, Peng Hong, Kwi Kiat Sek, Thio Him Toen, Alai, hingga Andi Slamet, kini hampir tak ada keturuan Cina yang berminat seperti mereka. Etnis Cina hanya mendominasi olahraga kelas atas seperti tenis, bulu tangkis, dan basket.
Uniknya, eksklusifitas ini ternyata menimbulkan semacam hak-hak istimewa [privileged] yang tak tertulis. Hal ini bisa ditemui dalam kehidupan ekonomi-kapital. Dalam bidang ini, etnis Cina seolah tak mengalami diskriminasi seperti di bidang lain. Di Bank dan bandara, misalnya, terjadis semacam kesepakatan tak tertulis, bahwa etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan istimewa. Di banding kaum pribumi (jika kita setuju menggunakan istilah ini), mereka mendapatkan nakses yang lebih mudah. Secara kognitif, terbentuk anggapan bahwa etnis Tionghoa merupakan orang-orang kaya. Jadi, dalam bidang ekonomi, justru yang terdiskriminasi adalah mereka yang merupakan kaum pribumi.
Berbagai faktor di atas, jika dianalisa lebih lanjut, tampaknya merupakan sebuah konklusi yang diakibatkan oleh adanya strereotyping yang ada di masyarakat. Stereotip merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukkan kategori: (1) ’kami” dengan ”mereka”, dimana ”kami” selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok in group dan ”mereka” yang inferior sebagai kelompok out group; (2)proses kategori sosial yang menghasilkan ”kami” dengNM ”mereka”, atau in group dan out group. In group biasanya cenderung menyenangkan kelompok sendiri, dan sebaliknya berusaha mengevaluasi orang lain berdasarkjan cara pandang dari kelompok “kami” (Liliweri, 2004: 207).
Verdevber (1986) berpendapat bahwa strereotip adalah sikap dan bahkan karakter yang dimiliki seseorang untuk menilaikarakteristik, sifat-sifat negatif atau positif orang lain berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu. Maka melihat relasi hubungan pribumi non pribumi, jelas menunjukkan adanya stereotip yang diarahkan kelompok etnis satu terhadap kelompok lainnya. Etnis Cina, yang masih dianggap asing, distereotipkan sebagai tamak, individual, kikir, dan pandangan negative lainnya. Meski, lagi-lagi lebelling ini menunjukkan belum adanya proses saling memahami dan mengenal antar kelompok etnis.
Di sisi lain, meminjam teori yang dikemukakan oleh Hamilton dan Carmicel (sebagaimana dikutip oleh Liliweri, 2005: 221), ada diskriminasi individual dan diskriminasi institusional yang dialami etnis Cina. Teori ini selaras dengan “rasisme individual” (diskrinasi mikro) dan “rasisme institusi” (diskriminasi makro) dalam analisa psikolog Essed. Diskriminasi individual, ialah tindakan membatasi suatu wilayah tertentu, seperti pemukiman, jenis pekerjaan, fasilitas umum dan semacamnya, bagi ras/ etnis tertentu. Sedangkan diskrimnasi insttusional dilaksanakan melalui penciptaan kebijakan-kebijakan yang menghalangi ras/ etnik tertentu untuk berhubungan secara bebas dengan kelompok/ etnis lain.
Dalam konteks kehidupan bernegara, tiga presiden sebelum SBY sebenarnya telah memelopori lahirnya berbagai produk hukum yang antidiskriminatif. Diawali pada 16 September 1998, BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) 26/ 1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi/non-pribumi. Habibie juga mengeluarkan Inpres 4/1999 tentang penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), dan diperbolehkannya pelajaran Bahasa Mandarin.
Menindaklanjuti kebijakan progresif tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) 6/ 2000 tentang pencabutan Inpres 14/1967 yang mengatur penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China, tanpa memerlukan izin khusus. Sedikit lebih maju, Presiden Megawati menerbitkan Kepres 19/2002 yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional.
Puncak dari langkah revolusioner itu adalah lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan yang disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 11 Juli 2006. Dengan pengesahan UU ini, negara atau pemerintah berupaya mencabut produk hukum yang diskriminatif yang selama ini diterapkan. UU ini menjamin dan menegaskanbahwa para pejabat negara yang berani melakukan praktik diskriminasi, seperti birokrat di imigrasi yang meminta SBKRI, bisa dikenai sanksi hukum satu tahun penjara.
Sayangnya, meski berbagai undang-undang telah menjanjikan hilangnya diskriminasi, tetapi perilaku itu faktanya masih tidak sulit dijumpai, khususnya dalam bentuk stereotip. Sejak era penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi, disadari atau tidak, etnis ini selalu ditempatkan sebagai "masalah".
D. Teori Konflik
Baik berdasarkan tinjauan teoretik formal sosiologik, substantif hubungan antar etnik, maupun hasil hasil penelitian substantif etnik Cina di Indonesia, tampak bahwa kebanyakan teori dan kajian terhadap etnisitas menggunakan pendekatan makro struktural. Padahal, warna kulit dan perawakan satu atau sekelompok orang, misainya sebenarnya tidak memiliki makna biologik unik, tetapi lebih menunjuk pada konstruksi sosial.
Suatu identitas kelompok etnik bukan sesuatu yang diakibatkan oleh sifat fisik alamiah, melainkan suatu kategori sosial yang dikenakan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok lain dan ditetapkan secara inter subjektif (Feagin and Feagin, 1990:103). Karena itu, menurut pertimbangan penulis, ini berarti bertanggung jawab terhadap persoalan persoalan antar kelompok etnik juga penting untuk didekati berdasarkan perspektif teorerik interaksi sosial.
Menurut Johnson (1986:252), salah satu ahli terkemuka yang mempelajari proses interaksi sosial di tingkat mikro adalah George Simmel. Juga dikemukakan bahwa posisi Simmel, berada di antara kedua ekstrim realisme Durkheimian dan nominalisme Weberian. Berkenaan dengan pemikiran Simmel tentang masyarakat, dikemukakfan sebagai berikut, " Posisi Simmel yang berada di antara kedua ekstrem itu melihat bahwa masyarakat lebih daripada hanya sekedar suatu kumpulan individu serta pola perilakunya; namun masyarakat tidak independen dari individu yang membentuknya. Sebaliknya, masyarakat menunjuk pada pola pola interaksi timbal balik antar individu" (Johnson, 1986:252).
Sosiasi (sociation), yang secara sederhana berarti proses dimana masyarakat itu terjadi, meliputi interaksi timbal balik. Melalui proses ini, individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi, sehingga masyarakat itu sendiri muncul, Pra kondisi keberadaan suatu masyarakat, menurut Simmel adalah kesadaran pada sebagian individu yang menyatakan bahwa mereka itu terikat dengan individu lain.
Lebih lanjut, lapangan kajian ilmu ilmu sosial, khususnya sosiologi, menurut Simmel harus memusatkan perhatina pada bentuk bentuk interaksi sosial, yang diartikan sebagai pola perilaku universal dan berulang ulang melalui mana berbagai isi diungkapkan. Isi kehidupan sosial mencakup antara lain naluri erotik, kepentingan objektif, dorongan keagamaan, bantuan atau perintah dan lain lain. Keseluruhan isi ini, menurut Simmel, menyebabkan orang hidup bersama orang lain, bertindak terhadap mereka, bersama mereka, mempengaruhi dan dipengaruhi mereka dan bahkan untuk melawan mereka (Johnson, 1986:258).
Selain menekankan pentingnya isi kehidupan sosial, Simmel juga menekankan pentingnya bentuk sosiasi. Bentuk sosiasi adalah mode mode interaksi di kalangan individu melalui mana, isi kehidupan sosial mengemuka dalam kenyataan sosial (Waters, 1994:22). Berbagai bentuk sosiasi yang dikemukakan oleh Simmel antara lain superordinasi dan subordinasi, kompetisi, pembagian kerja, pembentukan partai, perwakilan, solidaritas ke dalam dan permusuhan keluar dan sebagainya (Johnson, 1986:259).
Walaupun dari sudut pandang tertentu, Simmel bersama sama Weber bisa digolongkan sebagai teoritisi klasik kontruksionisme (Waters, 1994:7), perspektif teoretik Simmel tidak berhenti pada persoalan konstruksi sosial, tetapi juga menjadi salah satu cikal bakal perspektif teori konflik non Marxian (Turner, 1986:138). Salah satu keunikan pemikiran Simmel tentang konflik sosial tampak dari kecenderungan untuk lebih memusatkan perhatian pada konsekuensi konflik bagi keberlangsungan daripada perubahan sosial.
Berdasarkan pengamatan dan pembacaan terha dap bahan bahan sejarah konflik sosial, Simmel mengembangkan sejumlah proposisi. Dalam rangkaian proposisinya, Simmel menegaskan konflik sebagai suatu variabel yang menampilkan derajat intensitas interaksi.
Karena itu, kompetisi dan pertarunganpun dia simpulkan sebagai ujung ekstrim dari kontinum interaksi sosial (Turner, 1986:140). Kompetisi menyertakan usaha keras pihak pihak yang terlibat dalam cara cara yang lebih teratur dan bersifat paralel demi mencapai tujuan eksklusif, sedangkan pertarungan lebih menunjuk pada pertikaian yang hampir tanpa aturan dan lebih bersifat saling berhadapan satu sama lain.
Berkenaan dengan konflik sosial, Simmel mengembangkan tiga perangkat proposisi tentang intensitas politik, fungsi konflik bagi pihak yang terlibat, dan fungsi konflik bagi sistem keseluruhan. Dalam perangkat proposisi tentang intensitas konflik, Simmel mengemukakan bahwa semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam suatu konflik, maka semakin kaut kecenderungan untuk mengarah pada kekerasan. Dalam konteks ini, ada korelasi positif antara solidaritas antar anggota dalam suatu kelompok konflik, dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada korelasi positif antara harmoni awal (pervious harmony) antar anggota kelompok bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin suatu konflik dipandang oleh para anggota kelompok bertikai telah merintangai pencapaian tujuan dan kepentinga individu, maka konflik itu cenderung menjadi kekerasan. Akhirnya, semakin suatu konflik dipandang suatu cara pencapaian tujuan yang jelas, maka semakin menurut kemungkinan kemungkinan koflik tersebut menjadi kekerasan (Turner, 1986:141).
Bila proposisi ini diterapkan pada konflik antara kelompok etnik Jawa dengan etnik Cina, maka diduga kuat bahwa etnisitas juga merupakan salah satu pembentuk solidaritas dalam masingmasing kelompok. Pada gifirannya, solidaritas internal ini akan meningkatkan keterlibatan emosional para anggota kelompok yang bertikai. Secara praktis, etnisitas mungkin dan bisa dimanfaatkan oleh masing masing "pimpinan" kelompok bertikai untuk membangun solidaritas ke dalam, yang bila ini mengental akan mengarahkan konflik pada bentuk bentuk kekerasan.
Dalam perangkat proposisi tentang fungsi konflik bagi masing masing kelompok bertikai, Simmel menegaskan antara lain bahwa semakin suatu konflik menjadi bentuk bentuk kekerasan, maka semakin meningkat derajat solidaritas internal dalam masing masing kelompok. Pemikiran tentang fungsi konflik ini, tampaknya menjadi salah satu gagasan yang pada perkembangan berikutnya mempengaruhi pemikiran Lewis Coser (Turner, 1986:167). Bila pemikiran ini digunakan untuk menyoroti interaksi antar etnik Jawa dengan etnik Cina di pedesaan, bisa diduga bahwa apabila solidaritas dalam suatu kelomok etnk begitu menguat, maka salah satu penyebabnya adalah tingkat kekerasan konflik yang mereka alami.
Berkenaan dengan proposisi tentang fungsi konflik terhadap keseluruhan sistem sosial, Simmel mengemukakan bahwa: (1) semakin rendah derajat kekerasan suatu konflik, maka semakin besar kemungkinan konflik tersebut mengarahkan pada integrasi keseluruhan sistem, (2) semakin tinggi derajat kekerasan dan maka lama suatu konflik antar kelompok terjadi, maka semakin mungkin terjadi koalisi di antara berbagai kelompok yang sebelumnya tidak terkait dalam suatu sistem, dan (3) semakin lama ancaman konflik kekerasan antar kelompok berlangsung, maka semakin bertahan koalisi dari masing masing kelompok yang terlibat konflik.
Bertolak belakang dengan pemikiran Marx yang menghipotesiskan bahwa pada akhirnya konflik yang keras akan mengakibatkan perubahan sosial yang sangat radikal dalam sistem sosial, menurut Simmel konflik demikian justru mengarahkan pada penurunan ketegangan dan munculnya terhadap stabilitas sistem sosial. Karena itu, konflik sosial menurut Simmel seolah olah sudah dirancang untuk memecahkan dilema dualisme. Konflik merupakan suatu cara untuk mencapai kesatuan, walaupun mungkin dicapai dengan menghilangkan salah satu dari pihak yang bertikai. Konflik sosial diibaratkan sebagai gejala gejala penyakit yang sebenarnya malah menunjukkan terjadinya usaha dari organisme (sosial) untuk membebaskan diri dari gangguan dan kehancuran yang disebabkan oleh penyakit tersebut.
E. Prasangka Dalam Konflik Antar Entik
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik.
Apakah sebenarnya konflik antar etnik itu? Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konflik adalah ekpresi perjuangan diantara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan.
Definisi konflik di atas mencakup segala tindakan yang merupakan efek dari perjuangan mencapai tujuan, seperti saling memaki atau permusuhan verbal, menghindari pertemuan, perkelahian, perang, dan lainnya. Konflik bisa dalam skala besar bisa juga kecil. Memaki pihak lawan ketika bertemu di jalan mungkin hanya merupakan konflik skala kecil. Tapi itupun tergantung konteksnya, karena kalau yang bertemu dan saling memaki itu merupakan pemimpin dua belah pihak yang sedang berkonflik, efeknya bisa sangat besar. Kita semua hampir selalu mengidentikkan konflik dengan pertentangan. Akan tetapi pertentangan tidak selalu bermakna konflik. Tidak semua pertentangan menciptakan konflik. Pertentangan yang terjadi antara dua pihak dalam forum diskusi misalnya, jarang sekali menimbulkan konflik. Menurut Gurr (1980) kriteria agar sebuah pertentangan bisa dikatakan sebagai sebuah konflik adalah :
1. Sebuah konflik melibatkan minimal dua pihak atau lebih.
2. Pihak pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi saling memusuhi
3. Mereka cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan.
4. Hubungan pertentangan diantara pihak pihak itu berada dalam keadaan yang tegas karena peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Konflik antar etnik berarti dua pihak yang berlawanan adalah dua atau lebih kelompok etnik. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnik dan bisa juga tidak. Demikan juga lawan dalam konflik bisa disebutkan mengatasnamakan etnik bisa juga tidak. Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana. Seringkali terjadi segerombolan pemuda etnik tertentu berkelahi dengan gerombolan pemuda etnik lain karena memperebutkan seorang gadis. Apakah hal ini juga bisa disebut konflik antar etnik? Apabila tidak melibatkan struktur dalam etnik masing masing dalam konflik, maka perkelahian itu tidak bisa disebut konflik antar etnik. Perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing masing.
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomipolitik yang menghimpit mereka. Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda.
Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial. Terkait dengan resolusi konflik, karena konflik dimunculkan salah satunya karena adanya identitas budaya, yang mengandaikan adanya perbedaan dalam memahami realitas, maka sangatlah penting untuk membuat suatu resolusi konflik yang mempertimbangkan asal budaya (Kumolohadi & Andrianto, 2002). Seringkali pelaksana resolusi konflik gagal menjalankan perannya dalam menghentikan konflik antaretnik karena metode yang dipakai mengharuskan adanya sikap dan persepsi tertentu dari mereka yang bertikai, tapi sementara itu mereka yang bertikai memiliki sikap dan persepsi terhadap konflik yang beragam akibat perbedaan budaya.
Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik merupakan sesuatu yang tak terbantah, meskipun tentu tidak semua konflik antar etnik ditimbulkan karena persoalan ekonomi belaka. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial.
Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.
Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.
Faktor pemicu dengan sendirinya mengandaikan telah adanya faktor faktor yang potensial mencipta konflik. Berbagai sebab konflik seperti yang dikemukakan Faturochman diatas, diandaikan telah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Faktor prasangka sendiri seperti yang telah dibahas dalam bab tiga, bisa dimunculkan oleh lima sebab lainnya. Sehingga sangat beralasan kalau dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar.
Konflik antar etnik yang paling sering terjadi di Indonesia melibatkan etnik Cina sebagai korban, dan etnik lainnya sebagai pemegang inisiatif. Beberapa konflik menunjukkan skala yang luas dan berat, sementara yang lain berskala lebih kecil dan lokal. Menurut Arifin (1998) konflik antar etnik yang melibatkan etnik Cina tidak banyak terkait dengan dengan soal rasial dan pengakuan masyarakat terhadap mereka. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa pada umumnya sasaran kerusuhan dan amuk massa berbentuk perusakan, penjarahan, dan pembakaran terhadap hak milik, dan bukan dalam bentuk rasa permusuhan terhadap etnis Cina, dan pembunuhan jiwa. Setelah tahun 70 an kerusuhan lebih banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kerusuhan di Medan (1995), di Situbondo (1996), di Jakarta (14 15 Mei 1998) dan di Solo (1998) lebih dipicu oleh persoalan dominasi ekonomi dan kolusi oleh kelompok kelompok elit WNI etnis Cina dengan kekuasaan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya etnis Cina merupakan penggerak perekonomian Indonesia yang utama. Mereka menguasai sebagian besar sektor perekonomian sehingga memiliki sumber daya ekonomi paling besar. Sayangnya, keberhasilan etnis Cina itu tidak berbarengan dengan keberhasilan etnis lain dalam mencapai kemakmuran. Dalam bahasa ekstrim, etnis Cina merupakan pemenang kompetisi perebutan sumber daya sementara etnis lain sebagai pihak yang dikalahkan. Sayangnya pula kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan etnis lain cukup besar, bahkan makin melebar dari waktu ke waktu. Kenyataan ini mendorong adanya deprivasi relatif, dimana seseorang merasa tidak mendapatkan kemakmuran yang ingin dicapai meskipun telah berupaya keras mendapatkan (menurutnya). Deprivasi ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan sumber dari adanya prasangka dan konflik. Jadi, etnik bukanlah merupakan sumber konflik. Kesenjanganlah yang menjadi sumber konflik utama hal mana telah memunculkan prasangka, sedangkan etnik sebagai sebab sebab yang memadai.
Selain adanya pihak pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa untuk melakukan perusuhan terhadap etnis Cina (disinyalir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta massa di kerahkan pihak pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Baca "Kapok Jadi Nonpri', terbitan Zaman Wacana Mulia). Nampaknya jelas bahwa kerusuhan yang melibatkan etnis Cina lebih merupakan persoalan ekonomis. Adapun darl persoalan persoalan ekonomi itu terciptalah berbagai prasangka yang menciptakan jarak sosial yang lebar antar etnis. Dan dalam konflik, prasangka digunakan untuk menjustifikasi tindakan destruktif yang dilakukan terhadap etnis Cina.
Siahaan (2002) menunjukkan bahwa berbagai prasangka, generalisasi, stereotip, serta tuduhan yang secara konvensional dialamatkan kepada etnik Cina ternyata tidak selalu faktual (tidak didukung fakta). Terbukti bahwa segala asumsi dan tesis mengenai Cina di tingkat makro (nasional) tidak selalu koheren dengan realitas lapangan (lokal). Misalnya dalam tingkat makro selalu didengung dengungkan etnis Tonghoa bertindak secara eksklusif dan tidak mau bergaul dengan etnis lain, pada kenyataannya di tingkat lokal justru banyak sekali etnis Cina yang sudah sulit dibedakan identitas kecinannya. Mereka melebur dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam sebuah penelitian di Kalimantan Barat, Siahaan (2002) menemukan bahwa secara empiris terbukti bahwa sukses dan dominasi ekonomi Cina bukan merupakan fungsi ras serta bakat, dan juga bukan semata mata berkait konsesi dan privilese, tetapi hasil pemanfaatan peluang setempat secara tepat, cepat, efisien, dan efektif. Dalam sejarah, semangat dan etos kerja, daya juang, dan keuletan perantau cenderung menjadi determinan yang memungkinkan keunggulan dan keberhasilan kelompok perantau itu di atas penduduk lokal. 'Keterasingan dan kesendirian' sang perantau di negeri seberang, jauh dari sanak saudara dan sahabat yang dapat dimintai bantuan, lebih besar peranannya sebagai pendukung motivasi dan semangat kerja daripada faktor faktor bawaan seperti bakat, budaya, dan ras.
Namun sementara itu prasangka yang berkembang terhadap mereka, beberapa juga melandaskan pada kesuksesan yang diraih etnis Cina. Seperti misalnya berkembang anggapan bahwa dalam berbisnis etnis Cina sering bermain curang dan suka menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi ekonomi. Halmana membuat mereka cepat sekali sukses. Lalu jika ada etnis Cina datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka segera akan mendatangkan rekan rekannya sesama etnis Cina untuk berbisnis di daerah itu dan akan mematikan bisnis warga setempat. Maka akibatnya dibanyak tempat bisa ditemui dimana etnis Cina dilarang melakukan perdagangan.
Sebenarnya konflik antar etnis yang melibatkan etnis Cina sesuatu yang memang sangat mungkin terus terjadi bahkan untuk waktu waktu mendatang. Menurut analisis Amy Chua, seorang profesor dari Yale University, dimana ada sekelompok minoritas etnis yang mendominasi pasar dan sekaligus ada sistem politik yang menganut demokrasi, bisa diramalkan akan terjadi serangan terhadap kelompok minoritas Menurutnya terjadinya konflik bukan persoalan membaur atau tidak membaurnya etnik minoritas dengan etnik mayoritas, sebagaimana yang secara konvensional kita pahami. Masalahnya ada pada terdapatnya market dominant minorities, yaitu keberadaan kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat ekonomi pasar. Sistem pasar pada saat ini sudah menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, justru sistem yang dipuji puji inilah yang melahirkan sekelompok kecil yang kebetulan adalah kelompok minoritas etnis yang memiliki kekayaan menonjol. Oleh karena hal itu tumbuhlah iri hati kelompok mayoritas.
Lalu bagaimana menyalurkan kemarahan itu ? Lewat proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Maka, tidak mengherankan justru ketika proses demokratisasi dimulai, dimulai juga serangan terhadap kelompok market dominant minorities (untuk Indonesia etnis Cina). Kemenangan kelompok mayoritas dalam pemilu menjadi leg'itimasi untuk menetapkan kebijakan dan peraturan yang membatasi, bahkan memangkas hak hak dari kelompok market dominant minorities. Padahal demokrasi merupakan dogma wajib pada saat ini. Kesimpulannya, selama sistem ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan diterapkan maka kekerasan terhadap market dominant minorities akan terus berlanjut.
Untuk konteks Indonesia, etnis Cina diramalkan akan terus menghadapi tantangan kekerasan terhadap mereka (Paragraf ini meringkas dari Review Buku Prof. Amy Chua, oleh I Budiman dalam kompas 20 maret 2004, h.45). Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Semua kasus diatas dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.
F. Kesimpulan
Sepanjang tatanan sosial-politik dan hukum masih rapuh dan ekonomi masih merosot, maka ketegangan yang bermuara pada konflik masih terus berlanjut di negeri ini. Sepanjang Pancasila yang menjunjung tinggi pluralitas dan kebangsaan itu belum dihayati secara tulus oleh masyarakat, maka Tionghoa akan tetap menjadi "target operasi" massa yang kalap. Dari uraian panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan :
1. Beberapa kali bentrokan—lebih tepatnya penyerbuan—pada etnis Cina, merupakan "buah" dari politik diskriminasi dan segregasi sosial/politik yang diterapkan rezim selama ini -sejak kolonial Belanda, dan puncaknya pada masa Orde Baru, ketika orang-orang Tionghoa hanya diposisikan sebagai sapi (perah), kambing (hitam) dan kelinci (percobaan).
2. Dinamika etnisitas pun sekarang ini jauh lebih kompleks dari sekadar penjelasan tentang asal-usul ras manusia. Karena ternyata ia juga terkait dengan sumber-sumber identitas lainnya seperti agama, pekerjaan, pendidikan, dan afiliasi politik. Ditambah lagi dengan munculnya prasangka stereotipik yang cukup ”mencemaskan” seperti penyebutan orang China adalah ”pedagang”, orang Batak itu ”Kristen”, orang Padang ”perantau”, orang Bugis ”nelayan”, dan sebagainya. Prasangka semacam ini kerap kali menjadi sumber terjadinya konflik antar-etnik di negeri ini. Maka sudah seharusnya setiap strategi penanggulangan konflik berbasis etnisitas mensyaratkan dialog intensif. Di mana gambaran tentang identitas etnis lain tak lagi berdasar prasangka, namun lantaran pengenalan dan pemahaman.
3. Meskipun pemerintah mengeluarkan peraturan yang menegaskan etnis Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia, namun di tingkat grass root masih terdapat jarak antara “kami” (pribumi) dengan “mereka” (non –pribumi). Proses penguatan in group solidarity ini merupakan warisan sejarah yang membuat proses pembauran terhambat. Hal ini terkait faktor prasangka (stereotype) dan labeling pada setiap etnis. Uniknya, diskriminasi yang terjadi di bidang sosial, agama, dan politik, justrau tak tampak di bidang ekonomi. Justru di bidang ini, etnis Cina tampak dominan dan seolah-oleh memiliki privilege (hak istimewa) dibandingkan dengan etnis lain.
4. Tanpa sadar, masyarakat menciptakan streotip bahwa Cina itu pelit, individual, serakah dll. Stigma ini turut merenggangkan harmoni sosial. Akan tetapi, stereotip tersebut lambat laun tertutupi oleh etos kerja yang tinggi, sikap enterpreneuer, dan sikap hemat, yang dimiliki oleh etnis Cina. Perpaduan stereotype yang unik ini, lambat laun membuat in gruoup solidarity dalam komunitas Cina meningkat. Inilah yang kemudian menyebabkan mereka tampak eksklusif.
5. Kala terjadi krisis ekonomi, komunitas Cina gampang dikambinghitamkan sebagai penyebab. Beberapa demonstrasi anti-Cina—yang berujung pada pengrusakan fasilitas milik orang Cina--di beberapa daerah merupakan puncaknya. Kerusuhan Mei 1998 merupakan tragedi yang paling memperlihatkan sikap anti-Cina.
6. Negara ikut serta dalam menciptakan diskriminasi individual maupun diskriminasi institusional, melalui serangkaian peraturan yang dibuat. Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/1966 mengenai pergantian nama, sehingga mulai saat itu masyarakat etnis Cina harus memakai nama khas Indonesia bukan nama khas Cina. Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan dan adat istiadat keturunan Cina. Akibatnya setiap warga etnis Cina harus masuk dalam agama agama yang resmi diakui oleh pemerintah. Inpres ini juga mengatur pagelaran seni seperti tari Barongsai dilarang dipertontonkan di depan khalayak umum (dicabut oleh pemerintah berdasarkan Keppres No. 6/2000). Peraturan lainnya seperti keputusan Presiden No. 240/1967 mengenai kebijakan pokok yang menyangkut Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/1967 tentang kebijakan pokok penyelesaian masalah Cina) turut memperkuat kebijakan asimilasi tadi. Hasil nyata dari beberapa peraturan tadi adalah berkurangnya tampilan budaya Cina dalam kehidupan sehari hari.
7. Dalam skala makro, dialog antarbudaya dianggap sebagai sebuah cultural complex: rangkaian proses yang memotivasi setiap orang untuk menyaring, menyusun, memisahkan, memilih, dan mengaktifkan tanda-tanda kultural supaya pertemuan kebudayaan yang berbeda lebih produktif dan bermakna (Gurnah, 1997:123). Melalui pertemuan dan pertukaran budaya, diharapkan akan berkembang makna-makna kultural baru, yang dapat menciptakan kartografi makna kultural yang kompleks. Dan, pada setiap titik pertemuan ini, terjadi pula reposisi makna, nilai, dan identitas.
















DAFTAR PUSTAKA

Augoustinos, Martha; Walker Iain. (1995). Social Cognition An Integrative Introduction. Sage Publication.
Azwar, Saifuddin. (1998). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Edisi kedua. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Baron, Robert A., Byrne, Donn. (1994). Social Psychology: Understanding Human Interaction (7 1h ed.). Allyn & Bacon.
Blusse, Leonard. (1988). Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (terjemahan). PT Penerbit Pustalet Perkasa: Jakarta.
Coppel, Charles A. (1994). Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Penerbit Sinar Harapan: Jakarta.
Crapps, Robert W. (1993). Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James hingga Gordon W Allport (terjemahan). Penerbit Kanisius: Jakarta.
Eisinga, Rob., Albert, Felling., Peters, Jan. (1990). Religious, Belief, Church Involvement and Ethnocentrism In Netherlands. Journal for the Scientific Study of Religion, 29 (1): 54 65 (1990).
Gondomono, (1996) Membanting Tulang Menyembah Arwah: Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina Pustaka Firdaus: Jakarta
Gurnah, Ahmed, (Alan Scott (ed.), (1997) The Limits of Globalization,
Greif, Stuart W. (1994). WNI: Problematik Orang Indonesia Asal Cina (terjemahan). Pustaka Utama Grafiti.
Habib, Ahmad. (2004), Konflik Antar Etnik Di Pedesaan; Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa, LKiS: Jogjakarta
Hariyono, P. (1993). Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural. PT. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
Isaacs, Harold R. (1993). Pemujaan terhadap Kelompok Etnis Kelompok dan Perubahan (terjemahan). Yayasan Obor Indonesia:Jakarta.
Kidder, Louise H., Judd, Charles M. (1986). Research Methods In Social Relations. CBS Collge Publishing. Japan.
Koentjaraningrat. (1990), Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta (cetakan kedelapan).
Liliweri, Alo, (2005), Prasangka & Konflik; Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, LKiS: Jogjakarta
Purdue, Charles W., Dovidio John F., Gurtman, Michael B., Tyler, Richard B. (1990). Us and them: Social categorization and the process of intergroup bias. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 59, (3), 475 486.
Sanjatmiko, Prihandoko. (1999). Orang keturunan Cina di Tangerang: Suatu kajian tentang faktor faktor yang mendorong dan menghambat asimilasi antara penduduk golongan etnik pribumi. Makara Jurnal Penelitian Universitas Indonesia, No. 3 seri C, Agustus 1999. ISSN 14102595.

Sarwono, Sarlito W. (1999). Psikologi sosial: Psikologi kelompok dan psikologi terapan. Balai Pustaka: Jakarta.
Sears, David 0., Freedman, Jonathan L., Peplau, L Anne. (1985). Psikologi sosial (terjemahan edisi kelima jilid dua). Penerbit Erlangga.
Soeboer, Rubiana (1990). Prasangka dan diskriminasi. Jurnal Psikologi Sosial No. 4/TH. III/Oktober 1990. Fakultas Psikologi UI jurusan Psikologi Sosial: Depok.
Suryadinata, Leo. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa (terjemahan). Pustaka LP3ES: Jakarta.
______________, (2002), Negara dan Etnis Tionghoa; Kasus Indonesia, p[ustaka LP3ES: Jakarta
Wibowo, I. (Editor). (1999). Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. PT Pustaka Gramedia: Jakarta.
Mahfud, Choirul, Mengikis Praktik Diskriminasi Etnis Tionghoa, Harian Surya, 09 Agustus 2007

2 komentar:

  1. kalau mau lihat disertasi ini yang aslinya (bukan dalam bentuk blog) tanpa harus ke universitas airlangga surabaya dimana ya? mohon bantuannya, untuk referensi skripsi juga nih. terimakasih

    BalasHapus