Sabtu, 18 Juni 2011

Orang Beragama atau Orang Baik?
Seorang lelaki berniat untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Seorang nenek yang merasa iba melihat kehidupannya membantunya dengan membuatkan sebuah pondok kecil dan memberinya makan, sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.
Setelah berjalan selama 20 tahun, si nenek ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik. ''Masuklah ke dalam pondok,'' katanya kepada wanita itu, ''Peluklah ia dan katakan 'Apa yang akan kita lakukan sekarang'?''
Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya.
Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi marah. ''Percuma saya memberi makan orang itu selama 20 tahun,'' serunya. ''Ia tidak menunjukkan bahwa ia memahami kebutuhanmu, tidak bersedia untuk membantumu ke luar dari kesalahanmu. Ia tidak perlu menyerah pada nafsu, namun sekurang-kurangnya setelah sekian lama beribadah seharusnya ia memiliki rasa kasih pada sesama.''
Apa yang menarik dari cerita diatas? Ternyata ada kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang.
Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan disini. Anda pasti sudah sering mendengar cerita mengenai guru mengaji yang suka memperkosa muridnya. Seorang kawan yang rajin shalat lima waktu baru-baru ini di PHK dari kantornya karena memalsukan dokumen. Seorang kawan yang berjilbab rapih ternyata suka berselingkuh. Kawan yang lain sangat rajin ikut pengajian tapi tak henti-hentinya menyakiti orang lain. Adapula kawan yang berkali-kali menunaikan haji dan umrah tetapi terus melakukan korupsi di kantornya.
Lantas dimana letak kesalahannya? Saya kira persoalan utamanya adalah pada kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan melagukan (bukannya membaca) Alquran. Padahal esensi beragama bukan disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia.
Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking).
Agama seharusnya dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia. Kita tidak beribadah karena surga dan neraka tetapi karena kita lapar secara rohani. Kita beribadah karena kita menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada taranya. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya bersekolah di London dulu. Kali ini berkaitan dengan polisi. Berbeda dengan di Indonesia, bertemu dengan polisi disana akan membuat perasaan kita aman dan tenteram. Bahkan masyarakat Inggris memanggil polisi dengan panggilan kesayangan: Bobby.
Suatu ketika dompet saya yang berisi surat-surat penting dan sejumlah uang hilang. Kemungkinan tertinggal di dalam taksi. Ini tentu membuat saya agak panik, apalagi hal itu terjadi pada hari-hari pertama saya tinggal di London. Tapi setelah memblokir kartu kredit dan sebagainya, sayapun perlahan-lahan melupakan kejadian tersebut. Yang menarik, beberapa hari kemudian, keluarga saya di Jakarta menerima surat dari kepolisian London yang menyatakan bahwa saya dapat mengambil dompet tersebut di kantor kepolisian setempat.
Ketika datang kesana, saya dilayani dengan ramah. Polisi memberikan dompet yang ternyata isinya masih lengkap. Ia juga memberikan kuitansi resmi berisi biaya yang harus saya bayar sekitar 2,5 pound. Saking gembiranya, saya memberikan selembar uang 5 pound sambil mengatakan, ''Ambil saja kembalinya.'' Anehnya, si polisi hanya tersenyum dan memberikan uang kembalinya kepada saya seraya mengatakan bahwa itu bukan haknya. Sebelum saya pergi, ia bahkan meminta saya untuk mengecek dompet itu baik-baik seraya mengatakan bahwa kalau ada barang yang hilang ia bersedia membantu saya untuk menemukannya.
Hakekat keberagamaan sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu orang yang ''beragama'' seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan untuk menolong dan melayani sesama manusia.
Biarkan Cahaya itu Masuk
Seorang tua yang kaya raya sedang berbaring di tempat tidur menunggu maut datang menjemput. Di saat-saat terakhir, ia mengumpulkan keempat istrinya. Ia ingin mengajak mereka untuk menemaninya sampai ke alam baqa.

Dipanggillah istrinya satu persatu. Dimulai dari istri keempatnya, yang paling muda sekaligus paling cantik. Istri ini berkata, ''Maafkan aku. Tentu saja aku sangat sedih memikirkan kepergianmu, tapi aku masih memiliki banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku tak dapat menemanimu.'' Kecewa dengan jawaban itu, si lelaki memanggil istri ketiganya, namun istrinya ini mengatakan, ''Aku hanya dapat menemanimu sampai engkau menghembuskan nafasmu yang terakhir.''

Istri keduanyapun dipanggil. ''Aku akan menemanimu, tetapi hanya sampai di pemakaman saja,'' ujarnya. Hampir putus asa, akhirnya ia memanggil istri pertamanya. Dengan mantap si istri berkata, ''Aku akan menyertaimu kemanapun engkau pergi.''

Cerita inspiratif ini sebenarnya adalah gambaran kehidupan kita sendiri. Istri keempat adalah analogi dari harta yang kita kumpulkan selama kita hidup. Istri ketiga adalah tubuh kasar kita yang amat kita perhatikan dan selalu kita rawat. Istri kedua adalah analogi dari keluarga kita. Istri pertama yang paling setia adalah gambaran tubuh halus kita, jiwa dan spiritualitas kita. Inilah yang akan menyertai kita kemanapun kita pergi.

Ironisnya, selama hidup, kita telah menghabiskan waktu dan energi yang tidak sedikit untuk urusan harta, badan, dan keluarga kita. Padahal cepat atau lambat mereka akan meninggalkan kita. ''Harta'' satu-satunya yang paling setia yaitu jiwa kita justru sering kita abaikan.

Kesalahan terbesar yang sering kita lakukan adalah menyangka bahwa kita adalah makhluk fisik. Banyak orang beranggapan bahwa ''Aku adalah tubuhku.'' Karena itu, seluruh hidupnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Mereka mengumpulkan harta dan memenuhi nafsu badannya seakan-akan mereka akan hidup untuk selama-lamanya.

Perlombaan mengumpulkan harta ini melahirkan keserakahan dan korupsi. Manusia-manusia semacam ini banyak sekali jumlahnya di negeri kita. Celakanya lagi merekalah yang memegang kekuasaan hampir di segala lapisan. Orang-orang ini tak pernah melewatkan kesempatan sekecil apapun. Kekuasaan bagi mereka adalah mesin uang yang amat efektif.

Padahal manusia sama sekali bukan makhluk fisik. Manusia adalah makhluk spiritual. Kita bukanlah tubuh kita, kita adalah jiwa kita. Sejak pertama kali diciptakan, kita adalah makhluk spiritual, dan sampai kapanpun kita tetap makhluk spiritual.

Hanya ketika berada di dunialah jiwa kita membutuhkan badan sebagai rumah kita. Tapi, badan ini lama kelamaan akan rusak dan aus. Pada akhirnya badan tak dapat lagi kita gunakan. Kita menyebutnya meninggal dunia. Namun, ini tidak sama dengan kematian. Kita hanya meninggalkan dunia tetapi kita masih tetap hidup.

Kalau kita menyadari akan kenyataan sederhana ini, kita tak akan menjadi manusia yang rakus dan serakah. Kita akan sadar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara saja. Memang benar, kita tak dapat hidup tanpa memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik kita seperti sandang, pangan, dan papan. Tapi, kita tahu bahwa di balik wujud kasar kita ada jiwa yang merupakan milik kita selama-lamanya. Karena itu, kita tak ingin merusak jiwa ini untuk memenuhi kebutuhan fisik kita yang sangat sementara itu.

Orang yang korupsi dan serakah sebetulnya memiliki satu tujuan: kebahagiaan. Namun, karena mereka menganggap dirinya hanya makhluk fisik, maka kebahagiaan itu diterjemahkan menjadi: mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Padahal harta yang mereka kumpulkan tak akan pernah membuat mereka puas, tetapi hanya membuat mereka bertambah haus. Mereka tak sadar bahwa sumber kebahagiaan yang abadi terdapat di dalam jiwa mereka sendiri. Mereka tak pernah menyelami kekayaan terbesar yang mereka miliki itu

Keserakahan terhadap dunia telah merusak dan menggerogoti jiwa mereka. Keserakahan ini juga telah menutupi seluruh hati mereka sehingga mereka seakan-akan tak pernah mendapatkan ''cahaya'' dari Tuhan. Mereka tak pernah sadar pada sumber kebahagiaan yang tersedia dalam jiwa mereka yang sebenarnya dapat mereka akses setiap saat.

Sebagai penutup, saya ingin mengemukakan cerita seorang bijak yang bertanya pada murid-muridnya, ''Dimana Tuhan ada?'' Murid-muridnya yang keheranan itu dengan tangkas menjawab, ''Di mana-mana.'' Namun, orang bijak itu mengatakan, ''Tidak. Tuhan hanya ada ketika manusia membiarkanNya masuk.''

Orang bijak ini benar. Orang-orang yang tamak dan serakah telah menutup seluruh ruangan hati mereka dengan harta benda. Tak ada lagi tempat yang dibiarkannya tersisa untuk cahaya Ilahi. Untuk itulah sebetulnya kita perlu berpuasa karena berpuasa adalah sebuah terapi untuk mengurangi ketergantungan kita pada dunia fisik dan membuka pintu pada dunia spiritual. Lapar yang kita rasakan pada hakikatnya adalah upaya memberikan ruangan pada cahaya Ilahi untuk masuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar