Jumat, 17 Juni 2011

HM. Izzat Abidy
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel

Membicarakan pahlawan, sontak pikiran kita melayang pada sosok gagah, tak takut mati, kukuh mempertahankan harga diri, dan membela kebenaran. Lebih spesifik lagi, ingatan kita tertuju pada fase-fase perjuangan melawan kolonialisme, pada babakan mewujudkan kemerdekaan. Ada benarnya, memang. Sebab, konteks zaman saat itu menghendaki demikian.

Lalu, bagaimanakah jika hal ini direlevansikan dengan konteks kekinian? Apakah sosok pahlawan masih memiliki citra patriotik yang “berdarah-darah”? Dari sinilah, kiranya, kita pantas merefleksikan dan me-refresh visualisasi sosok pahlawan.

Jika kita membicarakan hari pahlawan 10 Nopember, tentunya harus dikaitkan dengan pertempuran 10 Nopember 1945, di mana saat itu para pejuang bertempur habis-habisan mempertahankan kedaulatan RI. Untuk merebut kota Surabaya Bung Tomo tidak henti-hentinya menyulut semangat juang arek-arek Surabaya lebih-lebih para pemuda. Gelegar takbir nya mampu menggetarkan pemuda Surabaya yang berada di Jogjakarta untuk saling bahu-membahu menumpaskan penjajah sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 30 ayat 1 yang berbunyi “ Ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara”. Kita tetap menyadari sepenuhnya bahwa mereka yang gugur dalam mempertahakan harga diri bangsa Indonesia bisa disebut sebagai pahlawan. Dan, kita juga menyadari sepenuhnya bahwa pahlawan tetap dibutuhkan untuk menyatukan elemen kebangsaan di tengah silang sengkarut perpolitikan nasional.

Disadari atau tidak, kemerdekaan yang kita rasakan saat ini adalah warisan pejuang tempo dulu. Kemerdekaan kita bukanlah kemerdekaan “temuan“ atau pemberian tanpa bersusah payah mendapatkan, namun kemerdekaan kita merupakan kemerdekaan yang direbut dari tangah penjajah. Dari itu kita sebagai bangsa Indonesia selayaknya dan sepantasnya mensyukuri nikmat kemerdekaan yang sekarang kita rasakan.

Pemuda dan Jiwa Patriotisme

Sungguh menarik apabila kita melihat kalender yang memampang Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober) berdekatan dengan Hari Pahlawan (10 Nopember). Ini bukan kebetulan yang nirmakna, namun memiliki makna yang dalam. Pada 28 Oktober 1928, terjad peristiwa monumental yang menandakan terjadinya kaukus yang menihilkan sekat ideologis-sektarian, mengaburkan batas kesukuan-primordial, dan melebur dalam entitas ke-Indonesiaaan. Pola semacam ini kemudian berlanjut tatkala meletus The Battle Of Surabaya pada 10 Nopember 1945. Di sana, banyak sekali di antara para pejuang yang masih berusia muda yang rela mempertaruhkan nyawanya demi negara tercinta. Mereka berjuang tanpa melihat perbedaan agama, etnis, budaya dan latarbelakang sosial. Mereka lebur dalam satu kata, Indonesia!

Sungguh menaik apabila mengkaji peristiwa 10 Nopember 1945 dalam perspektif teori sosiologi. Dalam konsepsinya, Peter L. Berger (2003) merumuskan konsep dialektika fundamental dari sebuah masyarakat yang terdiri dari eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Proses eksternalisasi adalah sebuah proses pengekspresian, pelepasan segala uneg-uneg secara berkelanjutan di dalam lingkup sosial budaya, baik berupa fisik maupun psikis. Apa yang terjadi pada 10 Nopember 1945 adalah proses dimana segala keluh kesah bangsa terjajah mendapatkan tempat penyaluran hasrat menuju kemerdekaan.

Sedangkan objektivikasi adalah keadaan realitas atau praksis yang terjadi di lapangan di mana individu maupun kelompok mencoba beradaptasi dengan kultur masyarakat sekitar yang notabene berbeda dengan mereka. Dalam pertempuran 10 Nopember 1945, kelompok masyarakat yang berbeda latarbelakang melakukan peleburan dan penyatuan entitas. Tak ada lagi unsur primodialistik, semua lebur dan bersatu melawan penjajah. Proses objektivikasi di sini terjadi saat elemen-elemen kebangsaan ini memiliki common enemy tentara Sekutu yang membonceng serdadu NICA.

Sedangkan proses internalisasi merupakan sebuah fenomena peresapan realitas oleh manusia. Gagasan-gagasan yang telah ada (maupun disepakati) kemudian direinterpretasikan dan ditransformasikan secara praksis. Peristiwa 10 Nopember adalah sebuah internalisasi nilai yang dilakukan oleh segenap elemen masyarakat Indonesia yang melebur dalam satu entitas; bangsa Indonesia.

Patriotisme-Nasionalisme yang telah dipancang pada peristiwa itu, menjadi modal penting mempertahakan kemerdekaan dan proses mengisi kemerdekaan. Sebab, persatuan tercapai jika tanpa ada rasa pengorbanan meleburkan identitas priomordial dalam identitas keindonesiaan. Pertanyaan mendasar yang paling penting diungkapkan di sini adalah, masihkah para pemuda yang kini seusia para pejuang 10 Nopember (yang menurut Roeslan Abdoelgani berkisar 20-35 tahun) itu memiliki kecintaan dan rasa pengorbanan terhadap tanah air Indonesia?

Jika ditelisik, Penulis kurang yakin ruh-ruh kegemilangan generasi masa lalu yang bangga memakai identitas keindonesiaan, masih dilestarikan oleh generasi muda. Hal ini sesungguhnya telah ditandai dengan pengaruh modernitas hingga rapuhnya mentalitas generasi muda.
Apa Kabar, Generasi
“Keong Racun”?

Kita mafhum, modernitas telah melahirkan orok globalisasi. Pada tataran budaya, globalisasi, tanpa bermaksud menafikan sumbangsihnya, telah mengakibatkan hilangnya identitas diri kawula muda dan pudarnya pesona nasionalisme. Budaya pop anak muda ditandai dengan adanya ikon, idola dari dunia selebritas, gaya hidup, musik dan junk-food. Seorang anak dikatakan gaul jika tahu atau paham musik-musik pop, up to date terhadap mode berbusana maupun gaya rambut serta nongkrong di mall atau kafe. Generasi anak muda sekarang dapat dikatakan sebagai generasi MTV, atau generasi Keong Racun (sebagaimana lirik lagunya yang menggambarkan pergaulan anak muda sekarang). Tampilan luar dan citra yang dibangun adalah sama dengan anak muda dari kota-kota besar di Amerika Serikat maupun Eropa. Tapi apakah gaya yang mengglobal tersebut diimbangi dengan kemampuan yang juga mengglobal? Belum tentu.

Faktor reproduksi mekanik melalui insdutri media yang sifatnya global memang sangat signifikan. Media merupakan salah satu unsur pendukung terhadap terciptanya mass culture (budaya massa) yang sanggup menyebar ke seluruh dunia. Dan, media eletronik menjadi proyektor sekaligus agigator dahsyat yang menyihir kawula muda mengikuti tren-tren dunia yang belum tentu cocok dengan identitas sebagai bangsa Indonesia.

Nasionalisme yang murai runtuh, di antaranya, ditandai dengan penggunaan istilah-istilah asing (baca: Inggris) dalam percakapan dan pergaulan, agar dianggap gaul. Padahal, generasi pencetus Sumpah Pemuda telah bersusah payah mencari sintesis bahasa terbaik di antara yang baik, yaitu bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan.

Karakteristik lainnya adalah perubahan pola pikir ke arah pragmatisme. Hal ini ditandai dengan minimnya kepedulian melestarikan warisan leluhur, seperti nilai-nilai budaya etika, maupun produk kesenian. Apa yang dianggap masa lalu, harus dimasukkan ke "recycle bin" sejarah. Indikasinya, berapa banyak di antara kita, para pemuda, yang mau bersusah payah belajar kesenian-kesenian daerah. Ya, sebagai generasi Keong Racun, produk-produk Barat (musik, life style, mode, dll) lebih memesona ketimbang warisan adiluhung kekek moyang kita. Para pemuda, sedikit banyak telah mengalami guncangan citra diri (disturbance of self image). Padahal, bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai dan merawat warisan leluhur, kata Franklin D. Rosevelt. Mungkin, nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme para pemimpin masa depan pantas dipertanyakan ulang.

Tentu, tak layak menggeneralisir bahwa generasi muda saat ini telah kehilangan identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Masih ada beberapa dari mereka yang mampu mempertahankan identitas kebangsaannya, sekaligus merekonstruksi makna nasionalisme ala kawula muda. Tetapi, sebagaimana kata pepatah Arab, syubbanul yaum rijalul ghad (pemuda saat ini adalah pemimpin di masa depan), perlu upaya keras mengembalikan jiwa nasionalisme dan spirit generasi muda agar mampu meneladani dan menapak jejak kegemilangan para pejuang pada 10 Nopember 1945 dulu.

Bila dulu nasionalisme cenderung artifisial (dibuat-buat) dan superfisial (permukaan saja), chauvinistic, bersifat emosional, primordial, dan simbolik, maka sekarang nasionalisme harus bersifat substantif, agar para pemuda mampu memaknai ulang spirit perjuangan para pendahulu agar lebih rasional, aktual, substansial, dan tentu saja nasionalisme yang "gaul".

Makna Kemerdekaan

Melihat hal itu, akankah kita akan mendustai warisan kemerdekaan para pejuang? ataukah pula kita akan melupakan momentum hari pahlawan? Bagi rakyat banyak, makna kemerdekaan boleh jadi menyangkut tentang perjuangan meningkatkan kesejahteraan, melepaskan diri dari kungkungan kesulitan ekonomi, memerangi kemiskinan dan kebodohan. Bila dilihat dari kondisi kehidupan sosial dan ekonomi, tidak sedikit di antara kita masih merasa belum berada dalam alam kemerdekaan. Belum lagi bila dilihat dari perjuangan memberantas korupsi, penegakan hukum dan upaya meraih keadilan, kita semua masih merasa harus terus berbuat banyak untuk hal ini.

Nah tak pelak lagi, selagi perjuangan masih harus kita lakukan, kata pahlawan harus selalu ada dalam diri setiap kita. Pahlawan adalah orang terdepan yang siap berjuang untuk memenangkan segala pertempuran atau peperangan. Mereka adalah orang yang berjuang, mau berkorban, siap menghadapi segala masalah, rintangan dan tantangan untuk mencapai cita-cita atau suatu tujuan. Pahlawan adalah orang-orang yang mengedepankan tanggungjawab demi untuk kepentingan orang lain. Kita kini memang tidak lagi bertempur atau berperang dalam bentuk fisik seperti masa awal kemerdekaan 1945 tetapi bentuknya dapat berupa berfikir dan kerja keras dalam berbagai medan perjuangan kehidupan. Secara fisik memang berbeda tetapi dalam hal semangat boleh jadi sama dan masing-masing tidak kalah serunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar